2- Suasana Duka

839 Words
Dua tahun yang lalu. Seorang wanita cantik berpakaian serba putih berjongkok di samping pusara yang tanahnya masih basah dan bunga pun terlihat segar. Tergugu sambil menangis memandangi nisan bertuliskan nama Dita Nirmala. Orang-orang yang ikut mengantarkan Dita ke peristirahatan terakhir, satu persatu meninggalkan tempat itu hingga di sana hanya tersisa wanita tadi dan juga pria yang berjongkok di sampingnya. "Lisna, ayo kita pulang," ajak sang pria sambil merangkul bahu wanita yang ternyata adalah Lisna. "Mas pulang duluan aja. Aku masih mau di sini," tanggap wanita itu. "Lis ... jangan kayak gini. Kamu ingat pesan terakhir Dita 'kan? Jangan menangisi kepergiannya seperti ini, dia akan sedih di sana. Lebih baik kita pulang. Anak-anak pasti udah nungguin kita," bujuk Darwin. Lisna diam. "Ayo, Sayang," ajak Darwin lagi, masih merangkul bahu wanita yang berstatus sebagai istrinya tersebut. Kali ini Lisna menurut. Bangkit berdiri dalam bimbingan suami. Sejenak ia diam sambil menatap pusara itu sekali lagi. "Ayo, Sayang. Kasian anak-anak. Mereka pasti nyariin kita," ujar Darwin seraya menggiring istrinya meninggalkan area pemakaman. Lisna tidak membantah. Langkahnya tampak gontai seperti tidak bertenaga. Sesekali ia melihat ke belakang di mana pusara Dita berada. "Kamu harus kuat, Sayang," kata pria itu lagi dengan lembut seraya mengusap bahu istrinya. "Anak-anak di mana, Mas?'' tanya Lisna. "Di rumah. Makanya kita harus cepat pulang, kasihan mereka," jawab Darwin kemudian membukanya pintu mobil untuk istrinya. Tanpa diperintah, Lisna masuk dan duduk di kursi depan sementara Darwin mengitari bagian depan mobil lalu duduk di balik kemudi. Ia kemudian mencondongkan tubuh ke arah sang istri untuk menarik sabuk keselamatan lalu memasangkannya di tubuh wanita itu. "Sudah, Jangan ditangisi terus. Kamu cuma bikin Dita sedih di sana," ujar Darwin sambil mengusap jejak air mata di pipi istrinya kemudian mulai melajukan kendaraan. Sepanjang perjalanan, pasangan suami istri itu tak ada yang bersuara, sibuk dengan pikiran masing-masing hingga beberapa saat kemudian mereka pun tiba di tempat tujuan. "Kita udah sampai." Lisna melihat keluar. Benar, ternyata ia sudah tiba di rumah. Ada beberapa orang tetangga yang masih terlihat di sana. Sejak tadi pikirannya kosong. Rasanya hampa setelah kehilangan sabahat terbaiknya. Darwin turun lebih dahulu kemudian membukakan pintu untuk sang istri yang masih juga tidak beranjak dari kursi. "Sayang, ayo turun!" Diraihnya tangan wanita itu. Lisna lagi-lagi hanya menurut saat sang suami menuntunnya menuju rumah. "Lihat gak tadi, Bu Lisna? Sok sedih banget ya, Bu? Padahal dia pasti seneng tuh Bu Dita udah gak ada. Sekarang kan dia jadi istri Pak Darwin satu-satunya. Kalau masih ada Bu Dita, dia kan cuma istri kedua,'' bisik salah seorang pelayat wanita bertubuh tambun yang sedang berkumpul dengan dua ibu-ibu lainnya. ''Jadi istri satu-satunya? Itu juga kalau Pak Darwin gak cari istri baru,'' sahut wanita lain sambil terkikik. Tetapi kemudian menutup mulut agar tawanya tidak terdengar oleh yang lain selain yang duduk bersamanya. ''Tapi kan kalau Pak Darwin nikah lagi, seenggaknya dia naik pangkat, Bu, jadi istri pertama." "Iya, benar juga. Enak banget ya nikah sama Pak Darwin. Kaya raya, ganteng juga. Pokoknya sempurna banget deh." "Kalau Pak Darwin cari istri lagi, saya juga siap. Gak apa-apa lah jadi istri kedua juga. Udah lama menjanda nih. Butuh pelukan suami orang." "Kalau saya, rela deh nyerahin anak gadis saya." Mereka berbincang sambil sesekali terkikik tanpa menyadari bahwa orang yang mereka bicarakan ada di belakang. Meski berbisik, tetapi suara mereka bisa terdengar dari jarak dekat. "Sudah, jangan dengarkan apa kata mereka. Ayo, masuk!" bisik Darwin sembari menuntun tangan istrinya, melewati ibu-ibu penggosip itu. Lisna memang sudah biasa mendengar cemoohan segelintir orang karena statusnya yang hanya istri kedua. Tetapi ia hanya menanggapinya dengan senyuman. Bukan inginnya menjadi madu dari sahabat sendiri. Tetapi keadaan yang memaksa dan ia tidak bisa mengelak meskipun sudah berusaha sekuat tenaga untuk menolak. "Ibu!" Lisna tersadar dari lamunan saat mendengar suara anaknya memanggil. Mempercepat langkah saat melihat dua orang anak laki-laki sedang berdiri di pintu. "Ibu dari mana? Ade nangis terus dari tadi," adu anak yang lebih tua. "Kakak Damar emang gak jagain ade-nya?" balas Lisna. "Jagain, Ibu. Tapi ade-nya nangis aja. Kakak kan pusing," sahut Damar yang masih berusia tiga tahun. Lisna terkekeh. "Maaf, ya. Ibu tadi ada urusan dulu," ujarnya sambil mengusap kepala anak yang baru saja kehilangan ibu kandungnya tersebut. Damar adalah anak dari suaminya bersama Dita—madu sekaligus sahabatnya. "Ibu, mama mana? Kakak mau ketemu mama. Kakak udah lama gak lihat mama," celoteh Damar yang sejak beberapa hari lalu tidak bertemu mamanya. Ya, Dita harus dilarikan ke rumah sakit karena kesehatan yang terus memburuk hingga akhirnya menghembuskan napas terakhir. "Kakak sama Ade udah makan belum?" tanya Lisna mengalihkan topik pembicaraan. "Belum, Ibu. Kakak mau makan disuapin sama Ibu atau sama mama," jawab Damar dengan gaya khas balita yang lucu dan menggemaskan. Lisna bangkit berdiri dari posisi jongkoknya. "Ya udah. Ayo, ibu suapin Kak—" "Ayo! Damar makan sama kekek aja!" Belum selesai Lisna bicara, seorang pria paruh baya muncul dan mengangkat tubuh Damar lalu membawanya masuk ke dalam. Lisna hanya menghela napas panjang melihat apa yang dilakukan ayah mertua. Entah bagaimana ia akan menghadapi pria itu setelah tidak ada lagi Dita yang selalu membelanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD