10. Mimpi Buruk

837 Words
Lisna menatap nanar pria yang sedang berdiri di hadapan. Mata tampak berkaca-kaca. "Mas talak aku?" tanyanya dengan suara bergetar dan hati remuk redam. "Maaf, Lisna. Aku gak punya pilihan lain. Papa menahan Damar. Papa gak kasih aku izin untuk bertemu Damar selama aku gak ngikutin keinginan papa. Aku gak tega lihat anak kita histeris manggil kita," lirih Darwin dengan hati yang sama hancurnya. "Jadi, Mas akhirnya memilih salah satu di antara anak-anak?" "Bukan!" sangkal Darwin dengan segera, "aku gak lagi milih salah satu di antara dua anakku. Tapi Damar lebih butuh aku, Lis." "Lalu, menurut Mas, Aga gak butuh ayahnya? Gitu?" "Bukan, Lisna. Bukan begitu maksud aku. Damar gak punya siapa-siapa lagi. Mamanya sudah meninggal. Kalau aku gak menuruti keinginan papa, Damar akan kehilangan ibu dan papa setelah kehilangan mamanya. Karena itu aku terpaksa mengikuti keinginan papa. Dengan begitu, Damar dan Aga masih memiliki orangtua lengkap meskipun kita sudah berpisah," jelas Darwin. Lisna diam. Meski apa yang pria itu katakan benar adanya, tetapi sebagai istri hatinya tetap saja sakit karena suami menjatuhkan talak tanpa ia melakukan kesalahan. "Maaf, Lisna. Ini semua salah aku. Aku yang lemah. Sebagai seorang suami aku gak bisa membahagiakan kamu," ujar Darwin lagi, penuh sesal. Lisna masih diam. Sesekali ia mengusap air mata yang meleleh di pipi. "Kamu tinggal saja di sini sama Aga. Rumah ini juga sudah atas nama kamu. Aku akan kembali ke rumah papa dan nemenin Damar. Aku akan sering-sering ajak Damar ke sini karena dia juga pasti nanyain kamu," ujar Darwin lagi. Lisna masih diam. Darwin melangkah maju. Hanya satu langkah karena melihat mantan istrinya mundur menjauh. "Sekali lagi aku minta maaf. Ini adalah jalan terbaik untuk kita semua," lirihnya. Lisna masih tidak berucap satu patah kata pun. Darwin membuang napas panjang. "Aku mau ke rumah papa. Damar pasti sendirian di sana." Sebelum pergi, ia sempatkan dulu pergi ke kamar untuk melihat putra Aga yang masih tidur pulas. Tidak biasa anak itu tidur hingga matahari naik. Biasanya anak-anak itu bangun pagi-pagi sekali hingga sejak mssih gelap pun rumah sudah ramai dengan tawa riang mereka. Darwin mengecup kening putranya. "Maafin papa, Nak. Papa janji, papa akan sering main sama Ade meskipun Ade udah gak tinggal sama papa lagi," gumannya dengan sende sembari membelai kepala Aga dengan penuh kasih sayang. Darwin keluar dari kamar anaknya. Dilihatnya mantan istri yang masih berdiri di tempat semula. "Aku pamit. Titip Aga. Kalau ada apa-apa, kamu hubungi aku," ujarnya kemudian berlalu dengan hati sama remuknya tanpa menunggu jawaban wanita itu. Lisna yang sejak tadi berusaha untuk tetap tegar, akhirnya luruh juga. Kaki seakan melunak hingga tidak mampu menopang tubuhnya sendiri. Air mata mulai mengucur deras. "Ibu ... kakak mana?" Aga yang baru saja bangun dan tidak mendapati sang kakak, keluar dari kamar dan menghampiri ibunya yang sedang duduk di atas lantai di ruang tamu. Lisna tidak kuasa menahan tangis. Ia pun menangis sesenggukan sambil memeluk putranya. Semuanya masih terasa seperti mimpi dan ia berharap itu memang hanya mimpi burruk semata. "Ibu kenapa nangis? Kakak sama papa mana, Bu?" Aga bertanya lagi, bingung melihat ibu yang menangis sambil memeluknya. *** "Papa!" Darwin merasa lega karena saat tiba di rumah, Damar menyambut. Itu berarti sang ayah menepati janji untuk melepaskan anaknnya setelah ia menceraikan Lisna. Sebuah kesepakatan yang harus ia bayar mahal karena untuk mendapatkan sang anak ia harus melepaskan istri yang dicintai. "Kakak gak apa-apa?" "Enggak, Papa. Kakak baik-baik aja," jawab Damar. "Syukurlah. Kakak udah makan?" Anak itu mengangguk. "Udah, Papa." "Sudah papa bilang, Damar akan baik-baik aja meskipun jauh dari wanita itu," sambar Iswara, menghampiri anak dan cucu. "Papa angkat dulu telepon, Kakak duduk dulu di sini," ujar Darwin saat ponselnya berdering. Damar hanya mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. Duduk di kursi ruang tamu, menunggu sang ayah yang sedang menerima telepon. Tak lama, Darwin kembali lalu mendekati anaknya. "Kakak, papa ada kerjaan dulu di kantor. Sebentar kok. Abis itu papa kembali. Kakak tunggu papa, ya?" Damar menatap wajah sang ayah. Ia sebenarnya enggan hanya dengan sang kakek di rumah. Tetapi juga tidak bisa melarang ayahnya untuk pergi. "Damar nanti di rumah sama Bibi. Kakek mau ke rumah sakit nemenin nenek," ujar Iswara yang juga ada di ruang tamu. "Papa usahakan pulang secepatnya. Kakak tunggu di rumah sama Bibi, ya?" ujar Darwin. Sebenarnya ia khawatir dengan keadaan anaknya, tetapi tidak bisa menunda lagi rapat yang sempat diundur tadi. "Iya, Papa. Kakak tunggu Papa di kamar," ujar anak itu lalu beranjak dari sana, pergi menuju kamarnya. *** "Maaf Pak Wildan atas kejadian tadi pagi," ujar Darwin saat sudah berada di ruang rapat sebuah perusahaan besar yang akan bekerja sama dengan perusahaannya. "Tidak masalah, Pak. Bagaimana sekarang keadaan anaknya?" balas Wildan. "Alhamdulillah, Pak," sahut Darwin. "Syukurlah. Kalau begitu kita mulai saja?" Darwin mengangguk. Beberapa orang yang ada di sana pun membicarakan pekerjaan hingga lebih dari satu jam kemudian pembicaraan itu berakhir dengan kesepakatan. "Ini berkas kerjasamanya, Bapak bisa periksa kembali sebelum ditandatangani. Owner perusahaan kami pun sudah menandatanganinya," ujar Wildan sambil membuka halaman paling akhir. Darwin mengernyit ketika melihat nama Lisna Adriana tertulis sebagai pemilik perusahaan. Mungkin hanya kebetulan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD