Part 12
Ide yang tercetus begitu saja, ternyata membawa petaka di malam ini. Jangankan untuk tidur, untuk menenangkan jantung yang aktif jumpalitan pun ternyata sangat sulit.
Lista pun sepertinya demikian. Dia hanya berpura-pura tidur. Padahal aku tahu bahwa dia masih terjaga, karena kelopak matanya masih bergerak dan napasnya belum teratur.
"Ehm, Lis," bisikku.
Lista bergeming.
"Pelukannya dilepas aja, ya. Mas kegerahan," sambungku. Menahan rasa malu dengan berdehem.
Perempuan yang mengenakan setelan piyama berwarna kuning tersebut, membuka sebelah mata dan memandangiku yang sedang menata perasaan.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, kekasih halalku itu menarik tangan dan membalikkan tubuhnya ke kiri.
Aku menghela napas lega. Butiran keringat di punggung akhirnya mereda. Aku membalikkan tubuh ke kanan dan memeluk guling yang dingin.
Dalam hati merutuki diri yang bergaya menantang istri, padahal ujung-ujungnya hatiku yang jadi enggak karuan.
***
Pagi hari menyapa dengan suara nyanyian Bunda dari tengah rumah. Gemericik air yang mengalir di kamar mandi, menandakan Lista sedang bercengkrama dengan sabun.
Setelah selesai salat Subuh tadi aku kembali tertidur. Mengganti waktu tidur yang tertunda kemarin malam.
Perutku tiba-tiba terasa sakit. Sudah tidak bisa ditawar lagi dan harus segera menuntaskan hajat. Tanpa gerakan peregangan otot yang biasa dilakukan, aku langsung bangun dan berdiri. Jalan cepat dan menggedor pintu kamar mandi.
"Lista, buruan!" teriakku.
Tak berapa lama kemudian pintu terbuka. Tanpa menunggunya keluar, aku segera menerobos masuk.
"Ihh! p***o!" jeritnya sambil menutup wajah dan lari ke luar sambil menutup pintu.
Aku tidak menghiraukan kehebohannya karena sedang fokus bertelur.
"Nggak sopan!" hardiknya saat aku selesai membersihkan diri.
"Tadi itu udah kebelet," balasku sambil membuka ransel dan mengeluarkan pakaian kerja.
Mengenakannya setelah membalikkan tubuh dan menghadiahkan bagian belakang pada Lista yang sontak menjerit.
"Mas!"
"Hmmm."
"Meni teu sopan pisan!" (Tidak sopan banget)
"Bonus itu. Seksi kan."
Setelah selesai berpakaian, aku bergerak ke depan cermin, menggeser badannya yang sejak tadi menguasai meja rias seorang diri.
"Yakin nanti bisa bawain pesanan sendiri?" tanyaku sambil mengenakan dasi.
"Bisa dong, kan pakai ojek. Nggak banyak ini," jawabnya sembari menyisir untuk yang keseratus kalinya.
"Jangan lupa, pakaianmu dibereskan. Habis Magrib kita pindahan."
Lista membuka mulutnya sedikit, tapi kemudian ditutup kembali. Dia mengangguk pelan dan kembali memasang ekspresi andalan, merengut bak mangga busuk.
Aku mengangkat tangan kanan untuk memberi kode, bahwa dia sudah tidak bisa lagi menolak.
Saat aku berpamitan, Lista menyalamiku dengan ragu-ragu. Mencium punggung tangan dan seketika membuatku terharu.
Tanpa mampu menahan, aku memajukan tubuh dan mengecup dahinya dengan lembut. Diiringi tepuk tangan Bunda yang sontak membuat kami terkejut dan salah tingkah.
***
Tepat pukul 4 sore, aku jalan ke luar kantor. Istriku yang cantik itu melambaikan tangan dengan tersenyum riang dari depan gerbang.
Ada rasa lega dalam hati saat bisa melihatnya lagi. Padahal baru berpisah selama beberapa jam, tapi aku sudah sangat merindukannya.
Berlebihan?
Enggak apa-apa deh.
Namanya juga orang lagi jatuh cinta.
"Udah lama?" tanyaku saat Lista menyalami dan mencium punggung tanganku.
"Baru lima menitan. Mau ngirim pesan ke Mas, tapi ternyata aku lupa bawa ponsel," jawabnya sambil meringis.
"Kok bisa lupa?"
"Tadi pas nunggu ojek itu sambil diisi daya. Ojeknya nyampe aku main langsung ke luar aja," jelasnya.
"Pesanan sudah dipisah-pisahkan?" tanyaku lagi sembari duduk di undakan dekat gerbang.
"Udah, Juragan. Tadi sama bunda udah ditulisin nama di tiap kantung plastik."
Tak berapa lama kemudian, satu per satu pelanggan ke luar dan mengambil pesanan mereka.
"Besok menunya apa, Kay?" tanya Mbak Ratih.
"Nanti kuinfoin ya, Mbak. Lupa tadi mau nanya ke bunda," jawabku.
"Kalau boleh saran, mending menunya dibuat per lima hari gitu Senin sampai Jum'at aja, sesuai jam kantor. Mbak pasti mesen tiap hari. Masakannya enak," puji Mbak Ratih seraya mengacungkan jempol.
"Siap, Mbak!" Aku dan Lista menjawab bersamaan.
Kami saling beradu pandang dan mengulum senyum. Aku berusaha menahan diri untuk memajukan tubuh dan mengecup pipinya yang ranum.
"Ayo, kita pulang," ajakku setelah pelanggan terakhir mengambil pesanannya.
Kami jalan bersisian memasuki halaman kantor. Aku berbelok ke kiri untuk mengambil motor di tempat parkir. Sementara Lista nyangkut di pos satuan pengamanan dan memberikan kantung plastik yang berisikan lauk pauk kepada Pak Bambang.
Perjalanan pulang kali ini terasa menyenangkan. Lista tidak menolak saat aku meraih tangannya yang melingkar di pinggang.
Menggenggam erat jemari yang halus dan sesekali mengelusnya. Lista membalasnya dengan cubitan di paha. Benar-benar romantis.
Sesuai perjanjian, setelah selesai salat Magrib dan makan malam, kami pindah ke rumahku dengan diiringi hujan air mata Bunda.
Afgan dan Akhtar yang ikut membantu mengangkut barang-barang kakaknya, hanya menggeleng saat melihat adegan sedih antara Bunda dan Lista.
"Apaan sih, Bun? Kakak cuma pindah ke sebelah doang," sela Afgan.
"Ho oh, kayak anaknya pindah ke Turki aja," timpal Akhtar yang mendapatkan anggukan persetujuan dari Afgan.
"Kalian itu nggak ngerti rasanya pisah sama anak," ucap Bunda di sela-sela tangisan.
Aku tidak menghiraukan pertengkaran di keluarga tersebut, dan memilih melanjutkan acara pemindahan barang-barang milikku ke kamar belakang yang lebih besar daripada kamarku sebelumnya.
Setelah selesai mengatur barang dengan rapi, aku menghempaskan diri ke kasur. Tangan dilipat ke belakang kepala. Kaki kiri ditumpangkan di atas lutut kaki kanan.
Pandangan menerawang tanpa batas. Mengingat sosok Ayah dan Ibu yang telah berpulang. Sejumput rasa rindu itu menyeruak ke permukaan. Tanpa sadar lamunan semakin melebar.
"Kay, bunda pulang, ya," ujar Bunda yang tiba-tiba sudah melongok dari pintu.
Aku bangun dan berdiri, jalan mendekati beliau dan ikut mengantarkannya sampai pagar.
"Besok pagi ditunggu buat sarapan," ucap Bunda dengan tatapan mengancam. Sekilas mirip dengan tatapan permaisuriku.
"Iya, Bun. Jangan lupa bikin daftar menu. Pagi-pagi mau mas bagikan ke pelanggan," ujarku sambil melambaikan tangan.
Satu jam selanjutnya diisi dengan mengheningkan cipta. Lista sibuk merapikan lemari, menyusun ulang pakaiannya sesuai warna.
Sedangkan aku menghabiskan waktu dengan mengerjakan laporan. Cuti tiga hari ternyata dipergunakan manajerku untuk menumpuk pekerjaan, mungkin sebagai kado pernikahan.
"Ehm, Mas," panggil Lista.
Aku menoleh.
"Bajuku nggak muat nih," tunjuknya pada sebuah tas travel berwarna merah di dekat lemari.
"Yang di sini buat dipakai sehari-hari aja. Baju yang jarang dipakai, taruh di kamar mas aja," sahutku.
"Apa nggak sebaiknya lemari di kamar sana dipindahkan ke sini?"
"Entar kamar jadi penuh lemari, sumpek."
Lista manggut-manggut.
"Lagian, nanti bajunya juga jadi jarang dipakai."
"Kenapa?" tanyanya dengan wajah polos.
"Karena mas lebih suka isinya daripada bajunya," jawabku sambil menaik turunkan alis.