Syarat

1045 Words
Part 11 Hari ini Kak Jenny dan kedua lelakinya berangkat pulang ke Jakarta. Aku dan keluarga Lista mengantarkan hingga ke depan rumah. Memperhatikan hingga mobil yang mereka tumpangi menjadi titik di kejauhan. Aku melangkah masuk ke rumah, memindai sekeliling ruang tamu dan seketika merasakan kekosongan dalam hati. Sebelum berangkat tadi Kak Jenny sudah membersihkan rumah. Aku melanjutkan mengelap perabotan dan jendela. Setelah selesai, aku masuk ke kamar dan membereskan perlengkapan untuk bekerja esok hari. Menyetrika pakaian hingga rapi. Menyemir sepatu sampai mengilat. Selanjutnya aku menyibukkan diri dengan memasak. Siapa bilang laki-laki tidak bisa masak? Aku bisa. Minimal masak air dan mie kesukaan, seperti yang sekarang sedang kulakukan. Mie tabur cabai rawit, kol dan telur sudah siap disantap. Aku memulai acara makan siang kepagian dengan mengucapkan doa. Suara obrolan para pelakon di tayangan televisi menemani acara bersantap. Sesekali mata melirik ke benda bulat di dinding, menghitung waktu untuk menjemput kekasih hati. Setelah selesai makan, aku bergegas menunaikan salat empat rakaat. Dilanjutkan dengan mengganti pakaian dengan yang lebih rapi. Sudah yakin tampil oke, aku berangkat menjemput perempuan berkepang satu yang tadi pagi kuantarkan ke taman bermain ehh kampusnya. Seperti halnya kemarin, hari ini empat bidadari itu kembali jalan mendekat. Ketiga perempuan itu melakukan berbagai cara untuk menggodaku. Tak peduli Lista mengeratkan pegangan di lengan kanan. "Akang Iko, nanti malam kutunggu di. rumah, ya," ucap Dea, sang gadis berambut sebahu dan bertubuh paling tinggi di antara keempat bidadari. "Mau ngajak kencan?" tanyaku pura-pura lugu. "Bukan, mau ngajak karaoke. Kata Lista, Akang suaranya merdu," jelasnya dengan mata sendu. Aku mengusap rambut dan tertawa kecil. Merasa bangga diriku dipuji Lista. "Jangan mau, Ayang, suara Dea mah bikin sakit telinga," sela Yuni, perempuan berkacamata yang berwajah manis. Dea mengerucutkan bibir saat teman-temannya menertawakannya. "Kalian ini, ya, benar-benar ganjen. Suamiku digodain mulu!" protes Lista. "Namanya juga usaha, Lis. Aku mau kok dijadiin yang kedua," seloroh Feli, gadis manis berlesung pipi dua. Tawa ketiganya semakin menjadi-jadi. Mereka melambaikan tangan sambil jalan menjauh. "Mas, jangan diladenin atuhlah," ujar Lista sambil memasang si hello kitty di kepala. "Becanda," sahutku. "Kenapa, cemburu?" tanyaku dengan tatapan menggoda. Lista tidak menjawab, dia langsung menaiki motor dan melingkarkan tangannya di pinggangku. Senyuman di wajahku melebar. Satu langkah untuk mendapatkan hatinya sudah terlewati. Motor melaju dengan kecepatan sedang. Menikmati sejuknya udara kota kembang bersama pujaan hati. Sesampainya di rumah, kami dipanggil Bunda dari balik tembok pembatas. "Makan, yuk!" ajak beliau saat kami mendekat. Kami mengikuti ajakan dan mengekor di belakang. Sesampainya di meja makan, aku terperangah saat melihat banyaknya lauk yang disajikan. "Bunda, masaknya banyak amat?" tanya Lista. "Tadi udah keburu masak banyak, taunya teman-teman bunda nggak jadi datang," jelas beliau dengan raut wajah sedih. "Emang tadinya mau ngadain acara apa?" tanyaku sambil mulai makan. "Mau ngumpul buat bikin panitia acara reunian. Tahunya salah tiga dari mereka pada sakit. Ya udah, daripada nanti ngumpul rapat diulang, mending dibatalin," jelas beliau. "Cuma segini aja atau masih banyak lauknya?" Aku bertanya kembali. "Masih banyak, Kay. Itu di dapur masih penuh wajan dan pancinya." "Ya udah, habis ini kita bungkusin. Buat seporsi-seporsi." "Terus?" tanya Lista dengan raut wajah bingung. "Tenang, mas punya ide," sahutku. *** Tepat pukul 3 sore, aku membonceng istri, berangkat menuju sebuah tempat. Sesampainya di kantor, aku meminta izin pada Pak Bambang, penjaga keamanan untuk menggelar lapak di tempat parkir. Dengan santai aku merapikan susunan aneka lauk pauk sehingga menarik. Tak lupa meletakkan karton bertuliskan kalimat promosi di bagian paling depan. Pedagang bakso dan gorengan yang sudah lebih dulu mangkal hanya melirik sekilas. Mungkin merasa tersaingi. Tenang, Mang. Dagang kayak begini cuma hari ini saja. Besok-besok aku bawa yang lebih banyak dan jualan di dalam. (Tertawa jahat) Sambil menunggu para karyawan bubar, aku menghubungi teman-teman satu divisi melalui aplikasi hijau keputihan. Tak lupa mempromosikan dagangan di grup chat. Beberapa orang menanggapi dengan emotikon jempol. Hingga masuklah satu per satu orderan. "Lis, tolong siapin pesanan Mbak Retno dan Mbak Erni. Mas mau nyiapin pesanan Pak Burhan dan yang lainnya," pintaku pada Lista yang menanggapinya dengan senyuman. Aku juga membungkus masing-masing dua porsi dan memasukkannya ke dalam sebuah kantung plastik. Menyimpannya di samping helmku. Mendekati jam bubar, pesanan semakin bertambah banyak. Aku tersenyum lebar, puas rasanya bisa mengusahakan agar makanan ini bisa terjual. Saat para pelanggan menyerbu lapak kami, Lista tak hentinya tersenyum. Mungkin dia juga sama bahagianya denganku. "Besok jualan lagi nggak, Kay?" tanya Mbak Retno saat membayar pesanannya. "Mungkin berdasarkan orderan aja, Mbak. Karena besok aku udah mulai kerja lagi," jawabku. "Oke, nanti mbak chat, ya. Jualan kayak gini itu membantu para Ibu yang bekerja, kayak mbak gini. Nggak perlu repot masak kan," ucapnya. "Apalagi mbak tahu kalau mertuamu jago masak, yang ini pasti enak," sambungnya yang membuat senyumanku melebar. "Siap, Mbak. Besok dibawakan pesanannya, dan terima kasih sudah berbelanja banyak hari ini," ucapku tulus. "Sama-sama, Kay. Mbak pamit, ya." Perempuan dewasa itu melambaikan tangan sambil jalan menjauh. Setelah selesai dagang, kami mengemasi lapak yang hanya tersisa karton promosi. Aku mengambil bungkusan yang telah kusiapkan tadi, dan memberikannya pada Pak Bambang yang sedang berkemas hendak pulang. "Matur nuwun, Mas. Alhamdulillah, bisa ngasih anak-anak makan dengan lebih layak hari ini," ujarnya dengan mata yang berkaca-kaca. Aku tidak bisa berucap apa-apa menanggapi perkataan beliau barusan. Hanya bisa mengangguk untuk menanggapi ucapannya. Sangat paham dengan kondisinya yang mungkin tidak seberuntung kami. Sepanjang perjalanan pulang, Lista lebih banyak diam. Yang terasa hanya pegangannya yang mengencang di pinggang. Bunda menyambut kami dengan wajah yang sumringah. Walaupun masakannya tadi dijual murah, beliau tetap merasa bersyukur karena tidak jadi terbuang sia-sia. Malam harinya, aku hanya bisa mengelus d**a dan berusaha menyabarkan diri, saat istri cantikku itu merajuk. Lista mengubah ekspresi wajah dengan raut yang sangat sedih saat diminta untuk membereskan pakaiannya. "Kita itu harus mandiri, Lista. Sudah menikah nggak boleh terus tinggal dengan orang tua. Lagian cuma sebelahan, tinggal ngesot juga nyampe," jelasku saat dia masih mengerucutkan bibir. "Kasihan bunda, Mas. Pasti kesepian," sahutnya. "Anak bunda masih ada dua. Ditambah lagi sepupu kamu nanti mau tinggal di sini buat nerusin kuliah. Rumah bakal rame lagi." "Semalam lagi aja, ya? Please!" pintanya dengan mata berembun. Aih, pintar banget aktingnya. Cocok buat jadi aktris sinetron di televisi burung terbang. "Oke, deh. Semalam lagi, tapi ada syaratnya." Lista memandangiku dengan alis berbaris. "Tidurnya pelukan sampai pagi."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD