bc

Kunikahi Dia Karena Janji

book_age16+
2.7K
FOLLOW
21.3K
READ
family
love after marriage
arranged marriage
independent
neighbor
sweet
husband
like
intro-logo
Blurb

Kunikahi Dia Karena Janji.

Itu yang harus dilakukan Kayana Aldari. Dia menikahi Haira Felista, gadis muda tetangga sebelah rumah.

Kisah romantis yang dibumbui komedi, sangat unik dan lucu.

Menghibur tanpa batas, menemani tanpa sekat.

chap-preview
Free preview
Naksir Kamu
Part 1 Canda tawa memenuhi ruangan yang tidak seberapa luas ini. Setiap sudut nyaris dipenuhi orang-orang yang sedang berkumpul. Mengobrol dengan seru sekaligus menikmati makan sore hari yang hangat. Tidak tampak sedikit pun raut kegerahan di wajah mereka. Hal yang sangat berbeda sekali dengan yang kurasakan saat ini. Sejak selesai acara akad nikah setengah jam yang lalu, keringat seolah enggan untuk pergi meninggalkanku. Kaus lengan pendek ketat berwarna putih yang membungkus tubuh, seolah sudah tidak mampu menahan bulir keringat yang menerobos melalui pori-pori di sekujur badanku yang gagah. Padahal kancing jas sudah kubuka semua. Kancing kemeja juga dibuka di dua bagian teratas. Kalau dibuka semua, nanti orang-orang akan terkejut melihat perut berototku yang mirip roti empuk. Sapu tangan berwarna coklat bermotif polkadot yang sejak tadi kugenggam juga sudah basah kuyup. Sepertinya dia sudah menyerah untuk menyeka cairan yang mengguyur diri. Gadis berwajah oval yang duduk di sebelah kiriku tetap terlihat tenang. Tidak tampak sedikit pun dia kegerahan karena rasa panas yang kurasakan saat ini. "Ehm, Lis," panggilku pelan. Lista menoleh. "Kipas anginnya bisa diputar aja nggak? Mas meleleh nih," pintaku. Gadis itu melipat dahi, menelusuri diriku dari atas kopiah sampai ujung sepatu. Kemudian, berdiri dan jalan dengan pelan untuk memutar kipas angin. Aku menghela napas lega. Mengulaskan senyuman terindah untuk dirinya yang bersedia berbagi kipas. Setelah lebih dari setengah jam menguasai benda berputar itu sendirian. Angin yang berembus ringan membuat udara terasa sedikit sejuk. Perlahan keringatku mulai berkurang. Namun, baju yang sudah telanjur basah terpaksa tetap dikenakan. Beberapa puluh menit kemudian, akhirnya para tamu membubarkan diri. Aku mengusap d**a dan sekali lagi menghela napas lega. Satu tahap pemenuhan janji pada almarhum ayahnya Lista sudah dilewati. Selebihnya aku hanya perlu menjadi penjaga Lista, kedua adiknya serta ibunya, Bunda Meliana. Perempuan dewasa itu membantu sang putri untuk beranjak masuk ke kamar. Aku mengikuti dengan langkah yang sedikit ragu. Mbak Meli, panggilan akrabku sejak dulu itu menyambutku dengan senyuman lebar. Beliau memintaku duduk di atas kasur yang sudah dihiasi dengan indah. Beliau menarik tangan kiriku dan tangan kanan Lista. Menyatukannya secara bertumpuk di pinggir kasur. Sekilas tampak seperti roti dengan bagian gosong di bawah. "Kay, mulai sekarang, tugas menjaga dan merawat Lista menjadi tanggung jawabmu. Mbak, ehh, Bunda, hanya akan menjadi pemantau," ujar beliau dengan suara bergetar. Manik mata berwarna hitam itu tampak dihiasi awan mendung yang sebentar lagi akan memuntahkan bulir bening. "Tolong jaga Lista baik-baik, Kay. Cintai dan sayangi dia sepenuh hati dan jiwa. Tuntun dia agar menjadi istri yang baik." "Bunda sangat berharap, sepuluh bulan dari sekarang sudah bisa menggendong cucu pertama," pintanya dengan senyuman lebar dan hujan air mata yang membasahi pipi. Lista melepaskan tanganku dan merengkuh pundak bundanya. Mereka berpelukan sambil menangis. Mirip adegan sinetron di televisi ayam terbang. "Bun, cucunya dipending, ya. Lista mau nerusin kuliah dulu," pinta sang putri yang berwajah mirip dengan bundanya. "Jadi nunggu satu tahun dari sekarang?" tanya Bunda. "Bukan, Bun. Tunggu dua tahun lagi," jawab Lista sambil melepaskan pelukan. "Ihhh, jangan kelamaan. Nanti Kay berkarat nungguin kamu," sahut sang Bunda yang membuatku mengernyitkan dahi. "Om Kay udah tahu, kok, kan ini sudah menjadi perjanjian kami. Iya, kan, Om?" Lista menatapku dengan alis terangkat. Aku mengangguk mengiyakan. Malas untuk berdebat. Terutama karena panggilan Om tadi membuatku sedikit tidak percaya diri. Sebetulnya perbedaan usia kami itu cuma delapan tahun. Lista sekarang berusia dua puluh tahun. Sedangkan aku berusia dua puluh tujuh tahun delapan bulan. Sedikit lagi menuju dua puluh delapan tahun. Usia yang terhitung dewasa untuk seorang pria. Akan tetapi, karena aku berteman akrab dengan almarhum ayahnya, Mas Didi yang merupakan seniorku di kantor, menjadikan Lista dan kedua adiknya menyematkan panggilan Om itu di depan namaku. Merasa sangat tua dipanggil seperti itu! *** Tiga bulan yang lalu. "Om, bantuin pasang gas dong," teriak Lista, seorang gadis muda yang tinggal di sebelah rumah. Seperti biasa, dia akan mengintip dari jendela. Wajahnya ditempelkan hingga mirip hewan berwarna pink yang ekornya seperti cacing pita. "Om!" teriaknya karena aku bergerak lamban untuk membukakan pintu. "Iya, tunggu bentar!" balasku sambil berteriak juga. "Buruan! Bunda mau bikin nasi bakar pesanan orang!" imbuhnya dengan mengerucutkan bibir saat aku sudah membuka pintu. Aku mengabaikan sikapnya yang memang sedikit manja. Mungkin, terlalu manja. Maklum, menurut cerita almarhum ayahnya, mereka bisa mendapatkan Lista itu setelah lima tahun usia pernikahan. Jadi, begitulah. Putri pertama tapi diperlakukan bak putri bungsu. Kedua adiknya yaitu Afgan dan Afkar, si kembar beda indung telur itu lebih banyak bersabar dengan kelakuan sang kakak. Kami jalan beriringan seperti kereta api. Tentu saja tidak sambil bernyanyi lagu naik delman. Sesampainya di rumah Mbak Meli, perempuan dewasa itu menyambutku dengan senyuman riang. Bak menyambut pahlawan devisa yang baru pulang dari negeri seberang. "Sorry, Kay. Ngeganggu terus nih. Habisnya bunda takut kalau gasnya meledak," ucapnya sambil berpindah ke ujung dapur. Dia meninggalkanku sendirian menghadapi dua tabung gas berwarna hijau terang, dengan hanya bersenjatakan gunting. Seraut wajah cantik anaknya pun ikut mengintip dari balik tirai pembatas dapur dan ruang makan. "Om," panggil Lista. Aku menoleh. "Semangat!" ucapnya sambil mengacungkan tangan yang terkepal. Aduh! Dikata mau menjinakkan bom! Dua menit kemudian, kedua tabung gas sudah terpasang dengan baik. Sang Bunda mendekat dan membuka jendela dan pintu yang menuju tempat cuci itu lebar-lebar. Tangannya digerakkan seperti mengusir nyamuk. Lengkap dengan suara gerutuan yang khas dengan logat sundanya yang sangat fasih. "Makasih, ya, Kay. Nanti dapat jatah sebungkus nasi bakar, tapi ayamnya bayar, ya," ujar Mbak Meli dengan seulas senyuman memikat. Aku manggut-manggut menanggapi ucapannya. Sangat paham itu salah satu trik dagang uniknya. Semenjak Mas Didi wafat hampir satu tahun yang lalu, Mbak Meli berusaha keras untuk menghidupi ketiga anaknya dengan cara membuka tempat makan kecil, yang terletak di rumah toko depan komplek perumahan yang kami tempati. Berkat kerja keras dan ketekunannya, beliau berhasil mengembangkan tempat makan itu dengan cukup baik. Aku beranjak masuk ke ruang tengah. Menghempaskan b****g ke sofa dan ikut menonton bersama anak kembar tak serupa. Lista ikut duduk di sebelah kiriku. Menggeser tubuh hingga berhadapan denganku. "Om," panggilnya. "Hmmm." "Aku mau nanya sesuatu sama Om." "Boleh." "Om naksir sama Bunda?" Sontak aku menoleh dengan mata membeliak. Menggeleng keras setelah sekian detik berpikir. "Kalau begitu, kenapa Om baik banget sama kami?" tanyanya dengan mata dipicingkan. "Karena om naksir kamu," jawabku asal.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

(Bukan) Istri Pengganti

read
49.6K
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
61.4K
bc

Sacred Lotus [Indonesia]

read
51.6K
bc

Broken

read
7.2K
bc

A Piece of Pain || Indonesia

read
88.6K
bc

Mentari Tak Harus Bersinar (Dokter-Dokter)

read
55.2K
bc

Dua Cincin CEO

read
232.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook