Konfirmasi

1246 Words
Rezvan menapakan kedua kakinya menuju ruang kelas, yang berada di samping gedung tempatnya berdiri. Bangunan yang sudah berdiri lebih dari dua puluh dua tahun ini, sudah banyak yang bocor atapnya, keramik yang terlepas dari tempatnya, dan beberapa aliran listrik tidak berjalan sempurna. "Hmm, yang kayak gini aja perbaikannya lama, butuh bertahun-tahun. Gimana mau ngurusin kasus yang lebih berat lagi?" Ujar Rezvan sambil menggelengkan kepalanya. Rezvan pun memasuki gedung itu lagi, melihat banyak sekali orang-orang yang berlalu lalang, sibuk dengan urusannya masing-masing. "Coba lihat, mahasiswanya aja kayak gak peduli gini, yang penting kuliah, belajar, lulus tepat waktu, dan akhirnya kerja. Hmm sangat klasik sekali ..." Ujar Rezvan lagi. Memang benar, banyak sekali orang yang memandang rendah tentang keadaan di sekitarnya. Tidak ada langkah-langkah kondusif untuk memperbaiki apa yang harus diperbaiki. Jangankan langkah kondusif, niat saja tidak ada. Maka tidak heran kalau kampus ini belum sepenuhnya nyaman dan aman bagi mahasiswa. Karenanya, masih banyak yang perlu dibenahi terutama kesadaran. "Rez ..." Seorang perempuan berumur tiga puluh tahunan menepuk pundak Rezvan yang sedang melamun. "Eh? Iya, Bu Rere? Ada apa Bu?" Rezvan sontak menggelengkan pelan kedua kepalanya. "Maaf ya Bu, tadi lagi melamun hehe." "Iya gak apa-apa, saya memaklumi kok kalau kamu banyak pikiran dan selalu saja ada yang kamu permasalahkan. Bisa ikut saya sekarang?" Tanya Bu Rere. "Sekarang? Hmm maaf Bu, saya ada kelasnya Pak Taufan di jam ini," Tolak Rezvan dengan halusnya. "Hah?! Kamu masih bersedia diajarkan sama orang boejat itu?! Kok saya dengar namanya sudah pengen obrak-abrik mukanya ya," Bu Rere keburu emosi, nama seorang Taufan itu menjadi petaka baginya. Sama saja seperti namanya, angin topan yang mampu memporak-porandakan alam sekitar. Ya, begitulah sosok Pak Taufan di mata Bu Rere. Rezvan menghela napasnya, "Ya mau gimana lagi Bu, soalnya di jurusan saya masih banyak mata kuliah yang diajarkan sama dia. Kalaupun saja saya bisa memilih dosen, saya juga tidak sudi mengambil mata kuliah yang diampunya," Terang Rezvan seraya menundukan kepalanya pilu. Kedua matanya menipis, tampak tidak ada semangat sedikitpun. Bu Rere memegang pundak Rezvan lagi, "Yang sabar ya Rez, kamu adalah anak yang mempunyai keinginan dan rasa sosial yang tinggi. Biarpun lingkungan menghantam kamu berturut-turut dan tidak melupakan masalahmu, kamu masih tetap bisa berdiri tegak. Bahkan bertemu dan masuk ke kelas Taufan aja mau," Tatapan Bu Rere ikut nanar. Tidak semestinya Rezvan bertemu dengan Pak Taufan, seseorang yang sudah merenggut kebahagiaan dirinya dan kakaknya, Kinan. Rezvan tersenyum kecil, "Do'ain saja saya bisa tegar terus dan tekad saya terus bertahan," Harapnya. "Pasti! Ya udah kamu pergi ke kelas saja dulu untuk mengikuti kelas Pak Taufan. Nanti kamu hubungi saya lagi kalau sudah free," Pinta Bu Rere. Rezvan pun menganggukan kepalanya, ia lihat jam di tangan kanannya dan mempercepat langkahnya menuju kelas yang dimaksud. *** Bu Rere kembali melanjutkan kerjaannya, untuk menemui ketua jurusan di mana korban dosen X belajar. Mulai saat ini, setelah mendapatkan kekuatan lebih menjadi pembimbing pers dan semangat dari para anggotanya, hasrat Bu Rere untuk menjalankan misi tersebut kian menumpuk. Tertanam sudah di dalam diri Bu Rere, "Yang namanya kebenaran tetap harus diungkap meski rasanya sakit." Tok ... Tok ... Tok ... Pintu berwarna cokelat yang mampu bergeser ke kanan itu terbuka dengan otomatis nya. Rupanya di dalam sana sudah ada ketua jurusan yang ingin ditemui Bu Rere, namanya Bu Ulfa. "Permisi, Bu ... " Ujar Bu Rere seraya melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam. "Halo Bu Rere, senang bertemu dengan Bu Rere untuk pertama kalinya. Selamat datang di kampus sss, gimana perasaannya setelah bergabung di rumah tercinta kami ini?" Sapa Bu Ulfa dengan suka cita, tangannya merentang dan masih duduk di kursi kerjanya. Hah? Ditanya soal perasaannya di kampus sss ini? Yang pastinya tidak begitu senang, lah. Gimana mau senang, kan banyak sekali kasus yang belum terselesaikan di sini terutama soal tindakan tegas dosen dan penanggungjawab untuk kasus pelecehan seksual. Masih saja si terduga pelaku berkeliaran di kampus ini, bahkan mempunyai jam terbang untuk mengajar dan berdiskusi dengan orang penting lebih banyak. Pantas saja kampus ini tidak maju-maju, masih banyak orang jahat di sini yang berani melindungi pelaku kejahatan seksual. "Ehem ... Lumayan menyenangkan sih, Bu." Balas Bu Rere singkat seraya menggaruk hidungnya yang gatal. Bukan karena gatal kena debu atau bulu hidung Bu Rere kepanjangan, tapi karena itu salah satu pernyataan yang berdusta. "Dan yang lebih menyenangkan lagi adalah saya bisa bekerja sama dengan anak-anak pers mahasiswa kampus yang sangat kritis dan semuanya pintar," Tukas Bu Rere kembali dan kali ini benar. "Baiklah kalau begitu. Semoga betahan di sini ya. Kenapa ya Bu Rere siang-siang gini menemui saya?" Tanya Bu Ulfa mengerutkan dahinya. "Hmm, saya ingin mengonfirmasi soal kabar yang saya dapatkan dari salah satu narasumber saya," Kata Bu Rere. "Ada apa? Bu Rere mau meliput keberhasilan dari jurusan ini ya?" Kira Bu Ulfa. "Ah bukan bukan Bu ... " Bu Rere mengelak cepat. "Maaf Bu daripada saya menjelaskan sambil berdiri, bolehkah saya duduk di depan Ibu Ulfa?" Izin Bu Rere seraya menahan kedua kakinya yang bergetar. Ketika ingin mengonfirmasi kasus yang didengarnya itu, kedua kaki Bu Rere mengalami getaran yang luar biasa hingga melemah untuk menapak lebih lama. "Ah ya ampun maafkan saya ya Bu Rere. Bisa-bisanya saya tidak mempersilakan Bu Rere untuk duduk. Mari, silakan duduk," Bu Ulfa mempersilakan Bu Rere untuk duduk di kursi kosong di depannya. Bu Rere mengambil tempat tersebut dan kursi itu menjadi panas. Panas karena hati Bu Rere senang panas juga, sih. Bu Rere menarik napasnya dalam-dalam dan mulai mengatur kata untuk membuka pembicaraannya. "Begini Bu. Sebelumnya saya mau bertanya apakah saudari Kinan adalah alumni di jurusan ini?" Tanya Bu Rere. Bu Ulfa mencoba mengingat kembali, pasalnya untuk nama Kinan itu banyak sekali di jurusan ini baik alumni atau yang masih berkuliah. "Sebentar sebentar, Kinan yang ciri-cirinya bagaimana ya?" Jawab Bu Ulfa seraya melepaskan kaca mata minusnya. Mungkin sudah keburu pusing kali ya makanya kacamatanya sampai dilepas. "Maaf saya tidak pandai mendeskripsikan seseorang secara detail. Kalau boleh saya mengatakan klue lainnya, saya katakan. Kinan adalah kakak dari Rezvan, ketua bem mahasiswa di kampus ini," Terang Bu Rere. "Rezvan yang pernah terjerat kasus korups uang ospek mahasiswa baru, kan?" Terang Bu Rere. Bu Rere menyedihkan dahinya. Seorang Rezvan pernah masuk dalam kubangan korupsi? Waduh, ini informasi baru bagi Bu Rere yang masih awam soal masalah di kampus ini. Tapi, Bu Rere mencoba meredam keanehannya itu. "Saya kurang paham soal berita yang telah lalu itu karena saya baru di sini Bu. Intinya, Kinan adalah kakak dari Rezvan," Bu Rere memperjelas kembali. Bu Ulfa mangut-mangut mengingat sosok Kinan. "Kayaknya saya mengenalnya ... " Ujar Bu Ulfa seraya melipat tangannya dan menatap kedua mata Bu Rere dengan tajam. "Kenapa Bu Rere menanyakan Kinan sementara dia sudah menjadi alumni dari sini?" Bu Rere melihat jelas kedua bola mata Bu Ulfa mulai fokus kepadanya. Tatapan yang penuh dengan emosi, dan tidak menyangka kalau Bu Rere menanyakan alumni tersebut. Bu Rere tertegun dalam hati melihat respon Bu Ulfa yang berubah menjadi manusia dingin setelah diperjelas tentang Kinan yang dimaksud. Ada apa gerangan? Belum saja berbicara untuk mengonfirmasi kasus pelecehan seksual yang menimpa Kinan, respon Bu Ulfa sudah seperti itu. Seperti srigala yang lapar karena daging di sekitarnya sudah tak tersisa. Namun, Bu Rere yang mendapatkan infomasi jauh-jauh hari sebelum menjadi pembimbing pers, harus segera menanyakan kembali tentang pernyataan yang dilontarkan Kinan pada Bu Ulfa. Sebagaimana Bu Ulfa turut andil dalam penanganan kasus pelecehan seksual tempo hari di kampus ini. "Jadi begini Bu, beberapa bulan yang lalu saya bertemu dengan Kinan dan--" Bu Rere tersentak, dadanya mengeras dengan jantungnya yang berdetak lebih kencang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD