bc

Secret Time In Campus

book_age18+
55
FOLLOW
1K
READ
goodgirl
self-improved
comedy
serious
mystery
campus
like
intro-logo
Blurb

Seorang wartawan harus bersikap profesional, sama halnya dengan Andin sebagai wartawan kampus. Hasratnya bergejolak untuk meliput rahasia-rahasia kampus yang buruk dan menimpangi banyak orang. Namun, restu orang tua, cemooh teman-temannya, dan represi dari pihak kampus cukup menekan batin Andin hingga menyebabkan depresi. Sanggupkah Andin melanjutkan liputan rahasia untuk membongkar kejahatan kampusnya? Atau haruskah ia memilih mundur dan bungkam di situasi kampus yang begitu merugikan banyak orang?

chap-preview
Free preview
Mimpi Buruk
Amarah Pak Taufan tampak jelas tergambar dengan matanya yang menyipit dan kedua pipinya yang memerah. Rezvan tau betul mengapa Pak Taufan bisa semarah itu padanya. Enggan menanyakan hal itu lebih lanjut, Rezvan memilih kabur saja. Rezvan bersembunyi di balik pohon beringin yang begitu besar, untuk menghilang dari kejaran Pak Taufan. Rezvan memejamkan matanya dan mencoba sebisa mungkin untuk tidak mengeluarkan suara sedikitpun dari mulutnya. “Bisa mati riwayatku jika Pak Taufan mendapatkanku,” batin Rezvan amburadul, kesalahan yang dibuat Rezvan itu sangat fatal menurut Pak Taufan. Padahal, itu adalah kesalahan yang seharusnya dibongkar secara gamblang. “Hey Rezvan! Dimana kamu?! Jangan harap kamu bisa lari dari cengkramanku, kamu di sini akan binasa karena telah menghancurkan segalanya dari hidupku,” suara yang mendengung jelas di telinga Rezvan, membuat jantung Rezvan berdetak lebih kencang. Rezvan tetap berusaha bersembunyi, entah bagaimana ujungnya. “Ya Tuhan, jika apa yang aku lakukan ini sudah benar, tolong selamatkan aku dari Pak Taufan yang sedang marah besar itu. Dan jika yang aku lakukan ini sangat salah, jadikanlah diriku ini ikhlas mendapatkan akhir yang penuh duka,” Rezvan menenangkan dirinya, kesunyian itu perlahan mulai teratur sembari Rezvan menutup kedua matanya. Suara jangkrik yang akrab di telinga Rezvan itu enggan berhenti. Begitu pula dengan gonggongan anjing yang sedari tadi menemani malam kelam itu. Suara pijakan kaki Pak Taufan yang tadinya berisik, kini mulai mereda dan nyaris tidak terdengar setitik pun. Dengan tidak terdengarnya suara kaki dan napas Pak Taufan itu, Rezvan yakin kalau Pak Taufan tidak berhasil menemukannya di sini. “Ya Tuhan, apakah ini adalah jawaban dari doaku barusan? Aku sudah tidak mendengar suara Pak Taufan sama sekali, jangan-jangan....” Rezvan tersenyum kecil sembari kedua matanya masih menutup. Rezvan sengaja belum membuka matanya yang memejam itu, guna menenangkan dirinya lebih lama lagi. Ia menghela napasnya yang panjang, “Tuhan, aku rasa sudah aman sekarang untuk berlari lebih jauh, aku akan membuka mataku, satu.. dua.. tiga..” Nahas, respon pertama kali saat Rezvan membuka matanya ialah terbelalak kaku. Tangan dan kakinya semakin dingin disertai hembusan angin yang berlalu lalang saat itu. “Mau kemana kamu?” tepat di depan Rezvan, sosok Pak Taufan menatap tajam ke kedua mata Rezvan. Ujung bibirnya terangkat seolah menandakan ia menang dalam penangkapan ini. Kaki Rezvan yang tergetar hebat itu, tidak bisa menginjak tanah. Rasanya, tidak kuat ia untuk menginjak apalagi berdiri untuk menyelamatkan dirinya. Rezvan yang terduduk di depan pohon, tangannya dikunci oleh Pak Taufan dengan tangannya jua. “Le.. le.. lepasin a… aku, Pak!” tak sadar pun bibir Rezvan ikutan bergetar melihat situasi yang menyeramkan itu. “Hahahahahaha,” Pak Taufan tertawa dengan kerasnya dan mengusik telinga Rezvan. Wajah Pak Taufan terlihat bangga karena sudah menemukan Rezvan yang bersembunyi itu. “Kamu mau dilepasin? Tapi ada syaratnya dong,” rupanya Pak Taufan tak ingin membiarkan Rezvan lepas secara cuma-cuma. “I.. i.. iya, Pak. A.. aaa aku akan mengiyakan apapun yang Pak Taufan katakan,” ucap Rezvan, keringatnya semakin mengucur deras ke area pelipisnya. “Kamu hapus semua bukti investigasimu itu dan berhenti meliput hal-hal yang menjelekan nama saya. Mengerti kamu?!” syarat Pak Taufan dengan tatapan memaksa Rezvan akan menyetujuinya. “Hahaha, mohon maaf ya Pak. Kalau soal itu sih, Bapak jangan senang dulu karena aku akan tetap melanjutkan investigasi ini, sebentar lagi akan selesai dan tamatlah riwayat Bapak!” ujaran kesal itu sontak keluar begitu saja dari bibir Rezvan. Rezvan tak peduli bagaimana respon Pak Taufan, yang ada dipikirannya hanyalah keadilan. “Oh kamu melawan saya, ya?!” Pak Taufan meraba-raba kantong belakang celananya dan mengeluarkan sesuatu benda yang tak asing bagi Rezvan. “Pak Pak, tolong jangan!” Rezvan melindungi wajahnya menggunakan kedua tangannya. Pisau pemotong daging besar itu sudah berada di depan Rezvan, digenggam oleh Pak Taufan. Pak Taufan mengelus-elus permukaan pisau yang tajam dan menyinarinya dengan senter di ponselnya. “Kamu tau ini, kan? Apa yang akan terjadi jika benda cantik ini menancap tepat di batang lehermu?!” Pak Taufan menggertak Rezvan. Rezvan makin lemas dan tatapannya sayu sedih. Rezvan menelan ludahnya banyak-banyak dan berharap suatu keajaiban akan terjadi untuknya. “Pak, aku mohon jangan sakiti aku!” kini sekujur tubuh Rezvan kaku tak berdaya, pisau itu semakin digoyang-goyangkan cepat oleh Pak Taufan dan sudah dikekerkan untuk tertancap di leher Rezvan. “Ucapkan kata-kata terakhir kamu yang ingin kamu sampaikan pada kakakmu si Kinan. Cepatlah! Aku memberi waktumu sebentar saja!” nada Pak Taufan yang makin meninggi itu membuat Rezvan sulit untuk mengucapkan satu pun kata. “Tidak, tidak, tolong… tolong… tolong sayaaaaaaa,” Rezvan memilih berteriak sebisanya karena ia menemukan setitik cahaya yang tersorot padanya. Rezvan yakin bahwa itu adalah sebuah……… “Dek! Dek! Eh, Rezvan! Bangun dong Dek, kamu kenapa?!” Kinan duduk di sebelah Rezvan yang sedang tertidur. “Kamu kenapa, Dek? Kok dari tadi teriak-teriak mulu sih? Ayo dong bangun, Dek!” Kinan menggoyang-goyangkan badan Rezvan yang belum membuka matanya itu. “Pergi Pak! Pergi dari hadapanku, aku mohon!” kaki Rezvan mulai menendang-nendang tak karuan. Kinan yang tau bahwa adiknya itu mengigau, segera mengambi secangkir air putih. Pluk.. pluk.. pluk.. disiramkannya sedikit air ke wajah Rezvan. Tak lama, Rezvan pun membuka matanya dan langsung terduduk dengan napasnya yang terengah-engah. “Haffft… haftttt hafftttt,” Rezvan mencoba mengatur napasnya dan spontan menarik gelas yang berisikan air dari tangan Kinan. “Eh eh jangan diminum itu air—” Glek.. glek.. glek.. air itu masuk ke dalam mulut Rezvan dan membasahi jalan-jalan tenggorokannya. “Kran……” lanjut Kinan. Rezvan yang masih setengah sadar tidak sepenuhnya mendengar jelas perkataan Kinan, “apa? Air s**u? Air tajin? Apa air ketuban?” ucap Rezvan dengan matanya yang masih menyipit juga. “Air kran kok, gak terlalu kotor, hehe, ambil di kran belakang tadi, hehe,” balas Kinan dan mulai meraih kembali gelas kosongnya. “Kamu kenapa, Dek? Dari tadi teriak-teriak terus loh, sampai kedengaran ke kamar kakak,” kata Kinan. “Hah? Teriak-teriak? Maksud Kak Kinan aku mengigau, gitu?” Rezvan memperjelas. “Kayaknya sih ngigau ya, matamu saja masih tertutup, tapi mulutmu gak henti-hentinya berteriak,” jelas Kinan lagi. “Ah.. syukurlah kalau itu hanya mengigau dan mimpi belaka,” Rezvan langsung mengelus-elus dadanya yang bidang itu. “Kalau itu kenyataan, habislah aku ini,” lanjutnya. Kinan menyeritkan dahinya, “memangnya kamu mimpi apa sih, Dek? Kayaknya seram sekali ya, ini nih keringatmu gobyos banget,” Kinan mengambilkan sapu tangan dan mengelap seluruh keringat yang memenuhi pelipis dan dahi Rezvan. “Benar, Kak. Tadi itu mimpinya seram sekali. Pak Taufan ingin membunuhku dengan pisau daging, sereeeeeem,” Rezvan menggeliatkan badannya yang masih teringat mimpinya sedikit. “Halah, kamu itu jangan mikirin Pak Taufan terus, jadi kebawa mimpi kan! Mending kamu mikirin skripsimu bagaimana caranya cepat wisuda,” balas Kinan. “Aku itu mikirin Pak Taufan karena ingin mencari cara bagaimana agar ia jera dengan kelakuan tak senonoh yang dilakukannya pada Kakak dan juga Ellen. Aku benar-benar ingin mengungkapkan semuanya,” terang Rezvan. Kinan tertegun, adiknya itu sangat perhatian dan peduli dengan kondisi yang dialami Kinan saat itu. Rezvanlah yang menggebu-gebu agar kasus itu segera dikuak. Padahal, Kinan mencoba ikhlas dengan ikut terapi mental pelan-pelan di psikolog. Memang, trauma yang menjalar di diri Kinan cukup berat, namun ia berusaha untuk bangkit dan menyelesaikannya dengan caranya sendiri. “Kak? Kakak kenapa diam begitu? Bukankah caraku ini bagus, ya?” tanya Rezvan dengan polosnya disaat otak Kinan penuh dengan kebimbangan. “Ah tidak,” Kinan tersenyum. “Kamu jangan sendirian untuk mengungkapkan kasus itu, carilah partner yang bisa membantu kamu dan melindungimu jika ada kejadian buruk menimpamu,” pesan Kinan. Spontan saja Rezvan menjentikan jemarinya, “tenang, Kak. Aku sudah dapat partner yang aku rasa cocok denganku, kok. Dan aku yakin, ia bisa membantuku menyelesaikan ini,” terang Rezvan. “Benarkah? Siapa dia?” Kinan penasaran. Rezvan mendekatkan bibirnya ke telinga Kinan dan mulai berbisik siapa partner partner yang dimaksud oleh Rezvan. “Hah? Kamu yakin?! Apa kamu tidak salah orang, Dek?!” respon Kinan yang terkejut-kejut itu membuat Rezvan berpikir kembali, apakah orang yang telah ia pilih itu adalah orang yang kurang kompeten?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

The CEO's Little Wife

read
650.9K
bc

After That Night

read
13.1K
bc

Hasrat Istri simpanan

read
14.6K
bc

BELENGGU

read
67.7K
bc

Revenge

read
27.1K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
76.6K
bc

Istri Lumpuh Sang CEO

read
3.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook