Pengusiran

1516 Words
Bu Ulfa yang berada di depan Bu Rere dengan tatapannya yang tajam, membuat Bu Rere hilang kontrol. Bibirnya sulit untuk berkata lebih lanjut tentang apa yang mau Bu Rere utarakan. Bu Rere menelan ludahnya berkali-kali berharap ketenangan itu berpihak padanya. “Gimana Bu Rere? Saya sudah menunggu pernyataan dari Bu Rere. Saya tidak punya banyak waktu buat meladeni orang lain di tengah-tengah kesibukan saya sebagai dosen sekaligus ketua jurusan di sini,” ujar Bu Ulfa yang merasa Bu Rere terlalu lama membicarakan keinginannya. “Hmm … baik, Bu,” balas Bu Rere. Bukannya ingin mengulur waktu dan ingin menghabiskan waktu Bu Ulfa pada hari ini, akan tetapi Bu Rere pun mempunyai hati yang ikut bergeming ketika pernyataan itu keluar dari mulutnya. Kasus itu menjadi hal yang tidak mengenakan di hati Bu Rere, tapi ia tetap harus mengonfirmasi kasus tersebut. “Jadi Bu Rere jangan membuang waktu saya untuk hal yang tidak penting. Nanti saya menyuruh Bu Rere untuk keluar dari ruangan saya,” tegas Bu Ulfa. “Eh, jangan Bu,” Bu Rere mencegah. “Baik saya akan memberi sebuah pernyataan, saya meminta tolong Bu Ulfa untuk mengafirmasi apakah pernyataan yang saya ucapkan ini benar adanya,” kata Bu Rere yang ingin mempercepat ucapannya, daripada diusir dan tidak dapat infomasi sama sekali ya kan. “Iya, silakan,” ujar Bu Ulfa. “Begini Bu, saya mendapatkan informasi atas kasus yang menyeret seorang dosen di kampus ini. Kinan, alumni dari jurusan ini mendapatkan perlakuan tidak senonoh dari seorang di dosen. Kinan pun berterus terang kepada saya kalau dirinya sudah melaporkan kejadian ini kepada Bu Ulfa sebagai ketua jurusan pada saat itu. Namun, sayangnya laporan yang ditegaskan Kinan itu tidak mendapatkan respon apa-apa dari Bu Ulfa. Lalu—“ “Maaf Bu Rere, kalau berbicara itu yang detail dan jelas. Saya tidak mengerti maksud Ibu Rere yang mengatakan dalam tanda kutip “mendapatkan perlakuan tidak senonoh?” apa maksud dari demikian? Saya sebagai orang berpendidikan, gak terima dengan informasi yang kurang jelas seperti itu,” Bu Ulfa tiba-tiba menghentikan ucapan Bu Rere. “Sebenarnya saya memberikan tanda kutip itu karena saya mengerti kalau Bu Ulfa juga paham maksud saya. AKan tetapi ya sudahlah saya akan memperjelas kembali. Kinan mendapatkan perlakuan pelecehan seksual oleh seorang dosen X ketika bimbingan skripsi. Dosen X mengintimidasi Kinan untuk melayani dirinya, dan berusaha menjamah bibir Kinan. Intinya seperti itu, Bu,” terang Bu Rere. Bu Ulfa menaikan kedua alisnya dan kemudian terkekeh menutup mulutnya, “Aduh Bu Rere … itu informasi dari mana, sih? Saya juga tidak mau menerima informasi yang asal-asalan ya,” tukas Bu Ulfa yang membuat Bu Rere mengerutkan dahinya. “Jadi maksud Ibu Ulfa, saya menyampaikan informasi yang asal-asalan begitu?” balas Bu Rere. Bu Ulfa menganggukan kepalanya. “Iya, saya yakin itu informasi yang tidak ada kebenarannya. Sangat tidak mungkin dosen di kampus ini, apalagi dosen di jurusan ini ya, melakukan hal yang buruk seperti itu. Bu Rere, dosen kita di sini dididik untuk bisa menyampaikan ilmu yang berguna bagi mahasiswanya. Gak mungkin sekali kalau dosen di sini melakukan hal demikian,” tepis Bu Ulfa. Hati Bu Rere bergejolak. “Bu, saya ini menyampaikan berita yang benar-benar valid. Saya sebagai pembimbing pers juga gak mungkin ambil berita yang membohongi orang lain. Saya mendapatkan penjelasan ini dari narasumber langsung, Bu … “ tegas Bu Rere. Bu Ulfa mengetuk mejanya, “Bu Rere bangun dong … jangan sampai Bu Rere termakan dengan pengakuan yang hanya merugikan satu orang, apalagi ini bisa merugikan satu institusi loh, kampus kita. Saya mewanti-wanti hal itu terjadi,” Bu Ulfa masih saja mengelak. “Bu Ulfa … “ Bu Rere ikut-ikutan mengetuk mejanya. “Harusnya Bu Ulfa yang bangun …  dan sebenarnya nih ya—“ bibir Bu Rere jadi membisu. Bu Rere tidak ingin berlama-lama di dalam ruangan Bu Ulfa yang sama sekali sudah menepis pernyataannya. Bu Rere pun tidak ingin membuat suasana menjadi panas, dan ujung-ujungnya malah dirinya tidak bisa mendapatkan informasi lebih. Jadi, untuk kesehatan raga, pikirannya, dan mentalnya, Bu Rere mencoba menahan emosinya. Uh, kalau Bu Rere masih bersikeras membuat Bu Ulfa mengaku, bahkan ada keributan yang bisa masuk ke akun lambe turah nih. “Jadi sekarang, Bu Rere silakan keluar dari ruangan saya. Tolong kalau mau menyampaikan informasi ke saya, ditelaah baik-baik dulu ya, Bu. Jangan asal nyeplos kayak orang-orang demo tapi tidak punya solusi,” ujar Bu Ulfa seraya menggelengkan kepalanya. Ujung bibir Bu Ulfa terangkat dengan sengaja seperti meremehkan Bu Rere. Sialan banget ini orang, bilang aja kamu mau menyembunyikan aib dosen yang jelas-jelas masih berkeliaran dan semena-mena dengan mahasiswa lain. Batin Bu Rere terus bergemuruh, seperti ada petir yang menyala-nyala dan ingin menghantamkan bumi dengan hujan badai. Bu Rere mengeraskan kedua tangannya dengan maksud memperkuat hatinya pula karena telah diusir oleh Bu Ulfa secara halus. “Baik, saya akan keluar dari ruangan Bu Ulfa kalau memang disuruh. Dan saya ingin memberikan pesan ke Bu Ulfa, jangan coba-coba untuk melindungi pelaku kekerasan seksual di kampus, hanya karena pelaku itu mempunyai peran penting atau hanya iming-iming nama baik kampus saja. Ingat! Ibu tadi bilang kalau Ibu adalah orang yang berpendidikan, jangan sampai itu diragukan orang lain kalau Ibu masih berlaku jahat ke mahasiswanya dan tidak mengakui kesalahan. Maaf sekali, saya sudah meragukan kependidikan Bu Ulfa itu. Terima kasih banyak, Bu atas waktu dan kesempatannya, saya pergi,” terang Bu Rere seraya menahan amarahnya yang begitu sesak di dadanya. Bu Rere memundurkan langkahnya sambil menatap tajam Bu Ulfa yang masih bersila tangan di atas mejanya. “Ingat ya Bu … “ tukas Bu Rere dan kemudian keluar pintu. *** Karena emosi di ruang Bu Ulfa tadi, membuat perut Bu Rere lapar tak karuan. Perutnya berbunyi-bunyi padahal satu jam yang lalu sudah makan enak di ruangannya. Bu Rere memegangi perutnya yang keroncongan itu dan menelik suasana kantin di jam-jam makan siang. “Duh, kalau jam segini makan di kantin mahasiswa pasti ramai banget dan hanya dapat sisa-sisanya saja,” ucap Bu Ulfa. Bu Rere pun setengah mengurungkan niatnya karena melihat beberapa mahasiswa berebutan untuk mengambil gorengan, pentol, siomay, dan makanan lainnya. “Seperti sangat tidak kondusif kalau aku makan di sini,” ungkap Bu Rere pelan. “BU! BU RERE!!!!!” suara seorang remaja wanita memanggil nama Bu Rere. Bu Rere mencari ke sekitar, terlihat seorang perempuan yang melambaikan tangannya ke Bu Rere. Bu Rere menyipitkan kedua matanya untuk memperjelas siapa pemilik suara itu lantaran mata Bu Rere ini minus dua namun ogah untuk menggunakan kacamata minus. “Di sini Bu, Ellen!!!” seru suara itu sekali lagi dengan lambaian tangannya yang masih mengangkat. Bu Rere menjentikan jarinya, “Oh Ellen!” Bu Rere segera menghampiri Ellen yang sudah lebih dulu duduk di kantin yang terbilang cukup ramai itu. “Kamu sendirian aja, Len?” tanya Bu Rere sambil mengambil kursi kosong dan duduk di depan Ellen. “Iya, Bu. Ibu kan tahu sendiri kalau aku ini gak suka bareng sama teman kalau kemana-mana,” jawab Ellen. Bu Rere tersenyum paham. “Bu Rere mau makan apa?” tawar Ellen yang dimejanya sudah ada siomay berbumbu kacang manis. “Siomay aja kali ya biar mirip kayak kamu, hehehe,” ujar Bu Rere dan Ellen segera meminta pada pelayan kantin. Sembari menunggu makanannya datang, Ellen tak akan membiarkan suasana makannya bersama Bu Rere itu hambar. “Ibu habis dari mana? Tumben main-main ke jurusan ini,” tanya Ellen sambil menyuapkan siomay ke dalam mulutnya. “Biasa, ke ruangan Bu Ulfa,” jawab Bu Rere. “Ngapain?” Ellen menyeritkan dahinya. “Bahas masalah lama, kamu pasti ngerti,” jawab Bu Rere santai. Ellen menghentikan makannya dan meletakan garpu serta sendoknya. “Soal Kinan?” tanyanya berbisik. Bu Rere mengangguk pelan, “Tapi … saya gak terima dengan jawaban Bu Ulfa,” Bu Rere menghela napasnya. Kalau diingat-ingat kejadian beberapa menit yang lalu, hanya membuat dirinya semakin marah, kecewa, dan cacing-cacing di perutnya ini makin brutal menari-nari. “Sudah aku duga, sih … Bu Rere perlu bantuan?” tawar Ellen. “Emangnya kamu bisa membantu? Kamu loh hanya mahasiswa yang bakal dianggap anak kemarin sore sama dosen-dosen kamu,” tepis Bu Rere. “Jangan pesimis dulu dong Bu, aku bisa bantu kok, sebisa aku sih. Karena kan di sini aku juga korban,” kata Ellen yang memelankan suaranya kembali. Bu Rere menelan ludahnya. “Len, kamu itu korban, jadi biarkan kami saja yang bekerja untuk keadilan kamu,” tukas Bu Rere seraya memegang bahu Ellen.  Ellen menundukan kepalanya dan memikirkan kembali niat yang baru saja ia lontarkan ke Bu Rere. "Ya gak masalah kan Bu?" ucap Ellen. "Lagipula biar kasus ini langsung terungkap dan tidak ada lagi korban lainnya yang tidak seperti aku," lanjut Ellen. "Tenangkan diri kamu terlebih dahulu, kamu istirahat saja dulu. Jangan berpikiran yang maca-macam, bantu doa saja agar kasus ini ditindaklanjuti oleh yang berwewenang," Bu Rere kembali menegasi Ellen. "Hmm, ya udahlah. Tapi beneran loh Bu, kalau Bu Rere butuh apa-apa bisa kontak aku, aku bisa bantu sesuai yang aku bisa," ucap Ellen sekali lagi mengenai bantuannya. Bu Rere menganggukan kepalanya sambil tersenyum. Di situ pula bertepatan siomay pesanan Bu Rere sudah tiba. "Yuk, makan bareng!" pungkas Bu Rere.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD