Aura permusuhan terlihat jelas di sekitar tubuh Audrey karena seseorang yang membangkitkannya. Gadis itu tak menyangka kalau Eugene dengan lancang datang ke mansion keluarga Griffin.
“Sialan!” geram Audrey tertahan, berdiri di depan pintu kamar Caroline. Ekspresinya pun berubah menjadi ceria dan lembut seketika. “Nona,” panggilnya sambil membuka pintu.
Caroline yang sedang berganti pakaian pun tersnetak kaget. “Dimasa depan, ketuklah pintu dulu.”
Audrey nyengir kuda, “Karena aku tak sabar ingin berdua dengan nona.” Gadis tersebut meletakkan makanan ringan itu di atas meja.
“Malam ini aku harus pergi ke perpustakaan,” ucap Caroline dengan wajah serius. “Aku sangat curiga dengan tempat itu.”
“Apakah nona ingin sekali bertemu dengannya?” Audrey duduk dengan tenang sambil menatap makanan ringan di atas meja.
“Sepuluh tahun dia pergi meninggalkanku. Aku ingin bicara dengannya dan bertanya alasan dari dia pergi.” Caroline mengambil nafas panjang. “Aku juga butuh kejelasan mengenai identitas ibu.”
Audrey tampak memandang sesuatu dengan kosong, ke arah lain. Caroline yang merasa diabaikan langsung mengambil kue, lalu dimasukan ke dalam mulut gadis itu. “Jangan bengong. Malam ini kau harus membantuku. Cukup tidur di atas ranjang menjadi diriku.”
Caroline takut kalau Keith akan datang menemuinya di malam hari. Makanya ia harus antisipasi dalam setiap keadaan, baik atau buruknya pikir nanti. Yang jelas ada persiapan.
“Baiklah..., tapi jangan lama-lama,” kata Audrey menyetujui permintaan Caroline.
Di lain sisi, Devon berjalan dengan cepat menuju ke ruangan Keith sambil membawa pesanan yang diminta. Begitu memasuki ruangan, pria itu disuguhi aura tak sedap.
“Apakah aku datang di saat yang tidak tepat?” cicit Devon tapi masih didengar oleh Keith yang memiliki aura gelap, seakan menelan cahaya ruangan.
“Sepertinya, kau sudah mendapatkan topeng itu.” Keith menatap sengit ke arah pintu. “Eugene ingin bertemu dengan Caroline. Aku yakin dia akan bersikeras menemuinya.” Meskipun ia menunda pertemuan mereka, cepat atau lambat mereka pasti akan bertemu.
“Semakin rumit saja. Kenapa kau tak melepaskannya?”
“Tidak!” tolak Keith mentah-mentah. “Caroline sedari awal milikku, bukan milik Augene.
“Dia manusia, bukan barang. Kau tak ada hak untuk mengklaimnya, bahkan Eugene sekalipun. Dia punya kaki, punya mata, telinga, dan tangan. Dia bebas seperti burung. Jangan memaksa cinta yang tak mungkin kau dapatkan,” nasehat Devon panjang lebar.
PRANG!
Bunyi cangkir di lempar tepat di depan Devon. Sontak pria itu terkejut seketika karena tindakan dari Keith. “T-tenangkan dirimu,” katanya sambil mengangkat kedua tangannya.
“Kau tak tahu, kalau dia adalah psiko! Dia telah membunuh penyihir berusia ratusan tahun hanya karena kecantikan! Meskipun aku tak memiliki Caroline nanti, setidaknya aku melindunginya!” teriak Keith sambil terengah-engah. Jika mengingat beberapa tahun lalu, tubuh pria itu sontak langsung gemetar Seorang penyihir di arak ke tengah alun-alun, di hukum dengan membakarnya hidup-hidup. Belum habis tubuhnya terbakar, Eugene mengambil tubuh itu kembali dan menyembunyikannya disuatu tempat.
“Aku tak bisa tinggal diam,” kata Keith setengah putus asa melihat kekejaman Eugene. Makanya ia bersekeras naik pangkat demi melindungi apa yang dimiliki.
Bukankah kau juga sama psikonya? Menebas leher orang tanpa ampun.
Terkadang Devon tak mengerti sama sekali dengan jalan pikiran Keith. Dalam pandangan kedua matanya, kedua pria itu sama-sama gila. Jika digabungkan dengan Derich, maka totalnya ada tiga pria gila.
Mengingat Derich, Devon jadi ingat kejadian beberapa bulan lalu di Rumah Madu (tempat bordir). Rumah para gadis cantik yang siap untuk melayani semua pria. Namun rumah itu sebenarnya adalah sebuah sarang, sarang milik organisasi gelap.
Orang yang memimpin organisasi gelap adalah Tuan K. Dan sampai sekarang, Devon sedang mencari tahu, siapa Tuan K yang dibicarakan para orang bayaran.
Ngomong-ngomong tentang topeng kulit manusia, Devon mendapatkannya dari salah satu orang bayaran yang dikenal. Selain bekerja dibidang jasa, mereka juga menghasilkan banyak barang canggih. Takutnya para orang bayaran nanti akan menjadi musuh besar Hazelmut.
Kabar beredar kalau orang bayaran berasal dari para tawanan kerajaan lainnya. Dan Devon masih terus menggali informasi lebih dalam lagi.
“Aku pergi,” pamit Devon secepatnya, tak ingin membuang wkatu bersama singa seperti Keith.
“Jangan kemari lagi jika kau pergi dari sini!” ancam Keith terang-terangan. Langkah kaki Devon berhenti, menoleh dengan pandangan begitu tajam.
“Sialan! Kau mengancamku! Aku sudah bersamamu dari kecil, Keith.”
Keith berdecih, sangat acuh dengan wajah memelas dari Devon. “Siapa suruh kau kembali dari perbatasan.”
Ah, ingin rasanya Devon membukam mulut Keith yang kejam itu. Bukan hanya mulutnya, tapi perangainya juga sama. “Oke... aku menemanimu.”
Akhirnya Devon pasrah, memilih duduk untuk menemani Keith. “Apa yang kau inginkan dariku?”
Keith menyeringai puas, “Cari informasi mengenai Audrey. Aku merasa dia bukan gadis biasa.”
“Sangat sulit mencari orang yang tak dikenal, apalagi orang itu bukan bagian dari Hazelmuth.” Devon menghela nafas panjang dan berat. “Orang bayaran sekalipun juga tak akan bisa mendapatkan informasi dengan mudah.”
“Maka dari itu, kau cari informasi di luar Hazelmuth. Aku mengandalkanmu.”
Devon ingin menolak, tapi tak bisa mengingat mereka bersama sejak kecil. “Oke... aku akan melakukannya. Namun, aku belum yakin akan mendapatkan hasilnya dengan cepat.”
“Kau boleh pergi...” usir Keith sambil mengibaskan tangan kanannya. Devon pun menganga lebar karena merasakan kalau dimanfaatlah.
Sudahlah... anggap saja mempererat tali pertemanan.
Akhirnya, Devon keluar dari ruangan Keith dengan wajah kesal setengah mati. “Aku rasa, dia hanya menganggapku sampah.”
Kalau bukan karena jasa keluarga Griffin, Devon ogah sekali harus jadi jongos dari Keith. Namun kembali lagi pada sumpah mendiang ayahnya. “Tak apalah..., lagian aku juga penasaran dengan gadis itu.”
Mengingat tentang Audrey, ia jadi penasaran dengan identitas Caroline. “Apakah aku juga harus mencari tahu tentangnya?”
Jika Keith tahu, pasti ia akan digantung. “Ah... lupakan. Aku lebih suka leherku utuh.” Devon pun mulai melangkahkan kakinya, begitu sampai di depan kamar Caroline, ia bertemu dengan Audrey.
“Oh..., landak yang sangat beracun,” ejek Devon terang-terangan.
“Jika aku landak, maka kau adalah ulat yang harus dibasmi dengan racun,” sindir Audrey. Gadis kecil dibawah umur itu ternyata memiliki mulut sangat tajam.
“Kau hanya pelayan, tak perlu berkata kasar!” sentak Devon tak terima.
“Tapi, aku juga tak mau di tindas olehmu,” bela Audrey tidak mau kalah oleh sindirian Devon.
“Cih, dasar pelayan rendahan!” Entah kenapa Devon tak bisa mengendalikan emosinya di depan gadis belia itu.
“Dari pada kau, seorang pelayan balas budi. Seumur hidup, kau akan tetap berada di kakinya,” olok Audrey dengan sarkasme.
Hati Daveon tertohok, begitu sakit hingga tak bisa lagi berkata-kata, bahkan mulutnya bungkam. “Lihat saja! Aku akan membalasmu! Huh!” Ia pun memilih pergi, membawa emosi yang bertumpu di seluruh tubuhnya.
Dari mana bocah itu tahu. Menyebabkan! batin Devon sambil mengomel tak jelas.
“Pergi... cari semua yang kau inginkan. Kau tak akan mendapatkannya,” gumam Audrey tersenyum devil.
Gadis itu melangkahkan kakinya menuju ke halaman belakang mansion. Ia berdiri di depan pohon beringin besar, menatap ukiran ‘Js’ yang tertulis di sana. “Penyesalan dalam hidupku adalah terlibat denganmu, dan aku tak ingin dia mengalami hal serupa.”
Bersambung