Seperti yang telah direncanakan, Caroline pergi ke perpustakaan di malam hari, dan Audrey yang menggantikannya tidur di dalam kamarnya. Kini, gadis itu sudah berada di perpustakaan dalam keadaan utuh, tanpa ada seorang pun yang tahu.
Langsung saja, Caroline menuju ke buku atlas miliknya. Segera ia menarik buku itu, tampak sebuah pola menonjol berbentuk segitiga. Saat gadis itu menekannya, sesuatu dari rak buku yang ada dibelakangnya bergeser pelan.
“Dugaanku tak pernah meleset.” Caroline masuk dengan hati-hati. Hal pertama yang dilihat adalah sebuah papan berukuran satu meter yang banyak tulisannya, tapi bukan tulisan Jason.
Disisi kanan ada rak buku dan juga foto. Mata gadis itu terkejut saat melihat foto Jason dan Keith beserta beberapa orang yang tak dikenalnya.
“Ayah,” gumam Caroline dengan terharu. Akhirnya, ia menemukan titik terang mengenai keberadaan sang ayah. Dan untuk menggali informasi lagi, gadis itu akan tetap tinggal di sana. Belum puas melihat foto itu, ada suara langkah kaki seseorang.
Caroline bergegas keluar ruang rahasia, otomatis rak pun bergeser kembali ke tempat semula. Gadis itu bersembunyi di tempat yang cukup gelap. “Tenang... aku tak akan ketahuan.”
Ia bersembunyi di pojokon sambil meringkuk, tampak jelas ada orang yang sedang berjalan ke rak buku nomor dua. Caroline yang mengintip pun tersentak melihat Reta sedang patroli.
“Mungkin hanya perasaanku,” kata Reta bergegas pergi. Sementara Caroline bernafas lega, karena tidak ketahuan.
“Aku akan lebih berhati-hati nanti di masa depan.” Gadis itu bangkit, menuju ke pintu keluar. Tak lupa selimut tebal menutupi seluruh tubuhnya. Namun ketika hampir sampai ke kamar, gadis itu melihat Keith masuk. “Astaga...!” pekiknya tertahan bersembunyi dibalik tembok.
Jantung Caroline berdegup kencang, takut kalau ketahuan. Tanpa sadar ia menggigit jarinya begitu cemas, wajah tak luput dari pucat pasi, putih layaknya kertas tak bertinta sama sekali.
“Aku benar-benar dalam situasi yang buruk.” Caroline hanya berharap, bahwa Audrey bisa melewati segala rintangan malam ini. Kenapa juga prediksi yang dipikirkan selalu saja benar.
Lalu, bagaimana dengan kondisi Audrey? Ia meringkuk di dalam selimut tebal yang sudah disiapkan untuk menggantikan Caroline sementara waktu. Saat hendak membuka selimut yang menyiksa itu, pintu ruangan dibuka oleh seseorang.
Seketika itu pula, tangan Audrey refleks menarik selimut kembali. Suara langkah kaki begitu pelan, tapi masih terdengar olehnya. Ada gerakan sesuatu yang di
taruh di atas nakas.
“Aku tak akan pernah melepaskanmu,” gumam seseorang yang suaranya sangat familiar. Audrey yakin bawah orang itu adalah Keith. Ia sangat terkejut saat tangan pria itu menyentuh rambutnya, dengan cepat rambut gadis itu berwarna persis milik Caroline.
“Dengar..., aku akan melindungimu dari Eugene. Tak akan aku biarakan dia merebutmu.”
Ada emosi di balik ucapan Keith, dan Audrey tahu akan hal itu. Ia lega, sekaligus merasa senang bahwa Caroline menemukan pasangan yang tepat.
Setelah bicara seperti itu, Keith pun pergi meninggalkan ruangan. Rambut Audrey langsung berubah kembali menjadi warna aslinya, hitam pekat. Wajah gadis belia tersebut tampak menunjukkan rona bahagianya.
Tidak lama kemudian setelah Keith pergi, Caroline masuk dengan keadaan cemas. “Audrey... apakah kau baik-baik saja?” Ia bergegas menghampiri gadis itu. “Dia tidak bertindak jahat bukan?”
Audrey menggeleng kepala pelan, menunjukkan kotak yang ada di atas nakas. “Karena tugasku selesai, aku kembali ke kamarku, Nona. Mulai besok, kita akan hidup seperti biasa lagi tanpa harus bersembunyi.”
Entah kenapa Caroline begitu terharu dengan perkataan Audrey, langsung saja ia memeluknya dengan erat. “Terimakasih karena tidak ketahuan.”
Audrey senang bisa membantu Caroline. Ia pun undur diri, segera pergi ke kamarnya. Mungkin inilah satunya cara agar bisa mendekati Caroline. Gadis itu sangat berharap suatu hari nanti dia mengetahui seluruh kebenarannya.
“Aku hanya tak ingin kau terluka dengan kenyataannya, Oline.”
Oline, adalah nama panggilan Caroline dari keluarganya. Siapakah Audrey yang sebenarnya? Masih dalam teka-teki yang belum terpecahkan. Yang jelas, dia bukan orang jahat.
Huft, sayang sekali gerak-gerik Audrey di amati oleh seseorang yang merupakan antek dari raja. Seorang pelayan dengan mata buta sebelah kanan. Dia pelayan pria bertugas mengurusi pasokan bahan makanan.
Pria itu pun bergegas pergi meninggalkan tempat persembunyiaan, takut kalau ketahuan oleh seseorang. Audrey yang merasa ada keanehan langsung menoleh ke bekas orang tersebut bersembunyi.
“Mungkin hanya perasaanku saja.” Audrey menggelengkan kepala pelan, berjalan kembali di tengah sepinya koridor. Setiap langkahnya, ia mengingat kebersamaan dengan seseorang di masa lalu. Mungkin karena sudah lama, sosok itu wajahnya tak lagi di ingat.
Sorot mata Audrey yang tajam itu menoleh ke arah pohon beringin besar. Kenapa dari sekian tempat, mansion milik keluarga Griffin yang di datanginya? Seolah mencari perlindungan dari seseorang. Namun, jika itu benar. Jason pasti datang ke kerajaan juga.
Tiba-tiba, Audrey merasakan jantungnya terkoyak saat mengingat tentang kerajaan. Sontak tubuhnya menjadi lemas tak bertenaga. “Aku tak bisa berlama-lama menunda waktu.” Ia berdiri tegak, menuju ke ruangan pelayan bagian dapur.
Mansion Derich
Derich yang tak bisa tidur sama sekali dalam beberapa hari terlihat gelisah. Padahal ia sudha pergi ke Rumah Madu untuk bersenang-senang, bahkan sampai menyewa satu kamar untuk ditiduri. Akan tetapi tetap saja, kegalauan karena rindu dengan Caroline tidak ada obatnya sama sekali.
“Aku sudah mencarinya kesana kemari, tapi dia hilang tanpa jejak.” Derich mengangkat tangan kananya ke udara, meraih bayangan wajah Caroline. Seberapa keras ia mencoba melupakan, tapi perasaan yang dimiliki sangat kuat.
“Aku sangat merindukannya.” Derich bangkit dengan cepat, beberapa kali terdengar desahan berat di mulutnya karena perbuatannya semalam. Dua gadis yang sedang tidur di lantai karena mabuk, beberapa botol dan makanan yang berserakan begitu saja.
Derich lelah, harus berjalan dilembah cinta yang pupus. Tapi, tetap saja rasa rindu yang tidak terbendung kian membesar. Ibarat kata, dia mabuk cinta.
“Apa yang harus aku lakukan?” Derich berjalan melewati kekecauan yang di buatnya, menuju ke pintu keluar.
“Syukurlah anda baik-baik saja,” ucap Fredrick dengan wajah lega.
“Aku cukup buruk, Fred.” Dercih mengibaskan jasnya, berjalan dengan mata penuh kekosongan. Beberapa hari lalu, ia masih bersemangat, berkoar-koar di depan Eugene, tapi sekarang semangat empat lima yang di miliki lenyap sudah.
“Bagaimana kabar Keith?” tanya Derich sambil menaiki keretanya.
“Tuan Keith terlihat tenang, bahkan beberapa hari tak keluar dari mansion. Namun ada kejanggalan yang terdengar di telinga saya.” Fredirch memerintahkan kusir untuk menjalankan kereta kuda.
“Katakan,” ucap Derich penasaran.
“Kabar mengenai uan Keith snagat tak pantas. Katanya, dia gay setelah membawa seornag pria cantik dan mungil.”
Derich langsung batu-batuk saat mendnegar berita itu. “Tidak mungkin! Kau yakin kalau Keith normal dan sehat. Bahkan itunya saja besar, melebihi punyaku!”
Fredich yeng mendengar tanggapan blak-balan dari Derich sangat malu, sampai membuang muka ke arah lain. Padahal, ia tak bersangkutan sama sekali.
“Hais..., besok antar aku ke mansionnya. Aku ingin lihat, pria mana yang bisa membuat Keith terjerat dengan kabar gila itu.”
Sungguh tak masuk akal kalau Keith memiliki seksualitas yang menyimpang. Karena ia tahu betul, bahwa dia benar-benar memiliki pusaka yang gagah perkasa.
Sialan... ! kenapa aku harus peduli dengannya?
Bersambung