Dalam hidup Eugene, tak ada penolakan untuk kedua kalinya. Cukup Sarah seorang yang telah memberikan penolakan. Dan sekarang, ia mendapatkan kabar kalau semua hadiah yang dikirm telah diberikan kepada para pelayan.
Bahkan seorang gadis rendahan seperti Audrey, dengan lancang mengambil keputusan itu. Hal yang terduga lagi, Carol tak barkata apa-apa sama sekali.
Eugene marah, hingga menghukum beberapa pelayan yang tidak bersalah sama sekali. Meskipun kepribadiannya di didik sebagai seorang raja, tapi tetap saja mengendalikan amarah adalah hal yang cukup sulit.
“Aku tak harus marah hanya karena penolakan itu.” Beberapa hari lalu, emosinya tak terkendali sama sekali, dan itu membuat imagenya sebagai raja turun. Meskipun ia punya hobi aneh, setidaknya casing harus sebaik mungkin.
“Lalu, apa yang harus saya lakukan, Yang Mulia?” tanya Veto siap melakukan apa saja untuk Eugene.
“Keith sudah pergi, tak masalah dengan rencana yang gagal. Aku akan membuat rencana lebih baik lagi untuk mendapatkan mereka. Aku tak boleh bertindak gegabah.”
Eugene tahu betul kepribadian Keith karena mereka berteman cukup lama. Salah ia karena tak bisa menngontrol keinginan dengan baik. “Untuk saat ini, biarkan mereka terlebih dulu.” Pria itu akan menekan obsesinya sementara waktu.
“Saya akan meminta orang untuk mengawasi mereka,” ujar Veto memberi masukan.
“Juga kirim orang untuk memata-matai Keith. Seharusnya, dia tak akan kembali dalam waktu singkat.”
Sebelum Keith kembali, kedua orang yang diinginkan harus didapatkan. “Apakah Devon masih berada di Mansion Griffin?”
“Saya menjawab, Yang mulia. Dia ditugaskan mengurus segalanya.” Veto masih setia berdiri di depan Eugene meskipun diperintahkan untuk duduk.
“Bagaimana dengan Derich? Bocah biang onar itu tak ada kabar sama sekali.” Karena fokusnya teralih pada Caroline dan Audrey, urusan sekitar yang lebih penting jadi terabaikan. “Akhir-akhir ini, aku tak bisa mengontrolnya.”
“Saya akan mengundang dokter hebat, Yang Mulia.” Veto berharap, penyakit pria itu bisa sembuh seperti sedia kala.
Iya, Eugene menderita sebuah penyakit aneh sejak mengalami hal pahit dalam hidupnya. Siapa yang menduga kepribadian baru terbentuk sampai berani berbuat hal kejam, seperti membunuh raja sebelumnya.
“Aku rasa, ini tak akan sembuh dengan mudah.” Eugene menatap telapak tangannya, mengepalkan begitu kuat. Tangan yang digunakan, adalah tangan pembunuh. Dia membunuh ayah kandung dan juga wanita yang begitu berharga.
“Jika aku melakukan hal diluar kendali, kau harus mencegahnya, Veto.” Sekali lagi, Eugene selalu menyalahkan dirinya sendiri.
“Maafkan saya, Yang Mulia. Saya tak bisa melakukan tugas dengan benar.” Veto tak berani menolak keiinginan kepribadian yang lain itu.
“Varlos, sampai kapan dia membuatku kesulitan seperti ini?” Eugene bangkit dari kursi, menatap ke arah jendela. Ada perbedaan dengan dirinya dan Varlos, yaitu sebutan atau kesukaan panggilan.
Varlos lebih menyukai panggilan raja dari pada yan mulia, begitu sebaliknya. Tidak hanya itu sorot mata dan kepribadian mereka bertolak belaka. Istilah kedokterannya adalah penyakit kepribadian ganda atau bisa dikenal dengan sebutan DID (dissociative identity disorder).
Munculnya keperibadian ganda adalah karena gangguan berulang pada masa kecil seseorang, yang mengakhibatkan trauma mendalam.
Bisa dipastikan bahwa Eugene telah mengalami insiden dimasa lalu, dan hanya orang terdekat atau kepercayaannya yang tahu. “Karena aku sudah sadar, aku akan menyelesaikan semuanya.”
Mengirim Keith ke perbatasan adalah rencananya sedari awal, tapi tidak secepat itu karena menunggu waktu yang tepat.
Sayangnya, Valros bertindak gegabah karena sudah tak bisa menahan obsesinya. Iya walaupun mereka mempunyai kesukaan yang sama, tapi dalam pengendalian hasrat, Eugene lebih unggul.
Membicarakan Keith, pria itu sedang bersantai untuk kedua kalinya dalam hidup. Manfaat dari dikirmnya ke perbatasan adalah ia bebas bergerak. Namun sisi negatif adalahnya, harus selalu menutupi identitasnya.
Keith mengirim seseorang terpecaya untuk pergi ke Mansion Ghriffin, mengawasi Caroline tentunya. Dan sekarang yang dilakukan adah menunggu kabar. Tidak lama kemudian, ornag suruhannya datang.
“Salam, Tuan.” Orang itu membuka jubah hitam miliknya.
“Ada kabar apa?” tanya Keith penasaran.
“Raja telah mengirim banyak hadiah, tapi Audrey menolaknya begitu saja.” Pria itu melirik sekilas ke arah Keith, telihat wajahnya tampak bahagia.
“Aku cukup lega mendengarnya. Jadi, bagaimana dengan Eugene?” Keith berdiri menatap jendela.
“Raja sedang berdiskusi dengan Veto di ruang kerjanya. Beberapa hari lalu, raja begitu marah hingga membuat semua orang terkejut.”
Tidak satu atau dua kali, Eugene kehilangan kendali atas imagenya yang baik. Bahkan pertemuan mereka yang semula tak ada permusuhan, mendadak beberapa hari lalu berubah menjadi sengit.
“Dia semakin sulit dikendalikan. Aku yakin, Eugene kesusahan menangani hal itu.” Keith tahu tentang penyakit Eugene, tapi tidak dengan Derich. Meskipun ketiganya bersama sejak kecil, tapi Eugene lebih dekat dengan Keith.
Membahas tentang Eugene, membuatnya kesal. Bagiamanpun sisi negatif dari pria itu membuat sesisi mansion terguncang. “Kau boleh pergi,” usur Keith dengan wajah lesunya. Ketika bawahan itu hendak pergi, pria tersebut berteriak. “Apakah tak ada kabaar dari Carlos?”
Langkah kaki bawahan langsung berhenti, “Dia mengunci diri di kamar setelah mendengar kepergian jenderal emas.”
“Awasi dia. Jangan sampai lengah.” Keith tak menyangka bahwa Caroline akan terpuruk seperti itu atas kepergiannya. Apakah dia sudah jatuh cinta dengannya? Ah, semua menjadi merah, seluruh wajahnya sangat merah hingga menjalar ke tengkuk leher.
“Aku menantikan kabar darimu, Caroline.”
Sedari awal, Keith sudah menaruh hati pada Caroline. Sebab setiap hari, ayah Caroline selalu saja membicarakannya. Dia mengangap gadis itu adalah dunia dan tujuan hidupnya.
“Andai saja aku bisa mencegah kepergian Jason, pasti semua ini tak akan sulit.” Keith menyesal, karena tak melangkah sejak awal. Sekarang yang hanya bisa dilakukan adalah mencari pria itu bersama Caroline.
Lalu, bagaimana dengan gadis itu? Apa yang dilakukan sekarang? Peta yang dipelajarinya dalam waktu sehari begitu menguras tenaga, tapi Caroline tak menyerah sama sekali. Ia bangkit dari kursi menuju ke jendela kamar, menatap matahari yang mulai kelelahan. Begitu mataahri turun, yang dilakukannya adalah segera pergi dari mansion.
“Kali ini, aku tak akan melibatkan Audrey.” Caroline takut jika Audrey terlibat, maka dia dalam posisi berbahaya. Lantas apabila rencannya gagal, ia masih bisa menanggungnya sendiri.
“Untuk ayahku, aku rela melakukan apa saja,” gumam Caroline mempersiapkan diri.
Waktu terus bergulir, tapi hati Caroline masih ditempat. Rasa gelisah dan cemas tentu saja menjadi racun dalam tubuhnya. Meskipun ia pernah menginjakkan kakinya ke kerajaan, tapi tetap saja tempat itu penuh misteri, apalagi awam baginya.
Caroline manatap jam yang ada di dinding, menunjukkan pukul sembilan malam. Semua pelayan mulai istirahat, begitu juga Devon. Karena Keith tak ada ditempat, penjagaan sekitar mansion diperketat. Akan tetapi bukan berarti gadis itu tak bisa keluar dengan mudah, justru ia dengan lihainya bisa menerobos penjaga handal milik keluarga Griffin.
Meskipun seni bela dirinya hanya dasar yang dimiliki, Caroline masih bisa melindungi diri. Sikap tegas, keras kepala, dan juga kecepatannya dalam bertindak adalah bentuk pelindungan diri yang di miliki.
Akankah Caroline berhasil mendapatkan batu safir biru itu? Karena tidak mudah masuk ke kerajaan, si raja Eugene yang sudah sadar, dan Keith yang menunggu kabar dari bawahannya merasa gelisah.
Bulan dan bintang yang bersinar terang, tapi tidak bercahaya di hati mereka bertiga. Caroline, Eugene dan Keith sama–sama tenggelam dalam kecemasan yang mendalam.
Bersambung