Begitu mendapatkan kabar dari orang kepercayaannya, Keith langsung bergegas menuju ke kerajaan. Tentunya untuk melindungi Caroline. Pria itu tidak menyangka kalau dia akan melakukan tindakan secepat roll coaster.
Sepertinya Caroline memang tak ingin membuang waktu, dan ingin menyelesaikan semuanya secepat mungkin. “Aku harap kau baik-baik saja.” Ada penyesalahan dalam dirinya, karena telah memberikan peta itu dengan sangat mudah. Tapi, ia juga tak ingin melihat gadis tersebut bersedih.
Dan sekarang, Caroline mulai memasuki kerajaan melewati lorong rahasia. Sesuai dengan arahan peta, ia berjalan selangkah demi selangkah hingga sampai di dua jalur. Satu jalur buntu, satu lagi jalan pintas.
“Aku terlalu cemas memikirkannya.” Suasana begitu gelap, dan hanya terdengar suara tikus ber-decit. Kondisi lorong yang lembab juga memicu keadaan udara sekitar yang menjadi semakin dingin.
“Tenang..., aku bisa melaluinya dengan mudah.” Gadis itu memilih lorong kedua, tapi semua tak semudah yang dipikirkan. Jika dilihat, lorong itu sangat ganjil.
“Tidak mungkin aku salah jalan, karena aku sudah mengingatnya dengan jelas.” Keraguannya pun muncul, tapi samar-samar ia mendengar suara orang bicara, ternyata dinding lorong begitu tipis.
“Mereka tepat berada di atasku,” kata Caroline sambil menelan ludah, menatap langit lorong.
“Yang Mulia..., jangan keras kepala. Kita harus segera mencari dokter hebat untuk penyakit Anda. Berapa lama Anda akan sadar? Kita tak tahu apa yang terjaid selanjutnya.Bisa saja dia berbuat diluar kendali.”
“Veto!” geram Eugene tertahan. “Jika kita mencari tabib sekarang, semua menteri akan curiga. Aku tak bisa melakukan ini, aku bisa turun dari posisiku.”
“Saya tetap akan mencari dokter untuk Anda, Yang Mulia!” jawab Veto bersekeras.
“Aku pusing... kepalaku sakit berdebat denganmu seperti ini.” Eugene sediri tak tahu, kapan penyakitnya akan sembuh.
“Maafkan saya, Yang Mulia,” ucap Veto menyesal, membantu Eugene untuk berbaring di ranjang.
“Jika dia menelan kesadaranku lagi, kau harus melindunginya. Tapi, jangan melakukan apapun permintaan buruk dari Varlos.” Eugene mulai menutup matanya perlahan, tenggelam masuk ke dalam mimpi. Jujur, ia lelah karena Varlos menelannya selama dua minggu lebih, terhitung sejak pertemuannya dengan gadis yang dibawa Keith.
Sementara itu, Caroline yang baru saja mendnegar percakapan kedua pria itu kebingungan. “Apa penyakit yang diderita pria gila itu? Sepertinya sangat serius. Ah..., bukan urursanku.”
Gadis itu terus berjalan melewati lorong hingga sampai pada gang buntu. “Sial! Aku salah memilih lorong.” Caroline mendongak ke atap, merasakan angin yang berhembus perlahan menerpa kulitnya.
Caroline menyentuh atap tersebut dengan kedua tangannya, meraba-raba untuk melihat kekohohan dinding. Ternyata ada etalase udara tak jauh darinya berdiri. Tapi, kenapa tampak begitu gelap?
Gadis itu berusaha membuka etalase dengan peralatan yang dipunya. Untung saja ia membawa meskipun seadanya. “Sangat sulit membuka benda besi ini.” Selang beberapa menit, akhirnya besi itu terbuka lebar, ia mengetuk lagi benda yang ada di atasnya. “Kayu..., pasti ini lemari.”
Caroline melompat-lompat, menunju lemari itu hingga retak. “Tak apa, hanya luka sedikit.” Kegiatan itu terus dilakukan sampai lemari kayu bagian bawah rusak.
“Huh... cukup menguras tenaga.” Gadis itu langsung naik ke atas, hingga berhasil berada di dalam lemari tersebut. “Kosong, tidak ada apa-apa. Kenapa disimpan di dalam ruangan.”
Yang dilihat nya hanya sebuah pedang cukup besar di pojokan. Karena merasa butuh udara segar, Caroline membuka pintu pelan, sangat pelan tapi tetap menimbulkan suara.
“Hais,” katanya sambil mendesah ringan. Begitu pintu terbuka, gadis itu tampak terkejut hingga tak bisa berkata-kata lagi.
Sepanjang hidupnya, baru pertama kali melihat sesuatu yang sangat gila sampai membuat tubuh terpaku ditempat. “A-apakah Eugene punya hobi seperti ini? Benar-benar tak bisa ditebak sama sekali.”
Caroline terus memandangi hal yang menurutnya sangat menyeramkan, sebuah tengkorak manusia lengkap ditempel di tembok. Tidaknya hanya itu, seluruh tubuhnya dirantai. Meski mengenakan pakaian bagus, tapi tetap saja menyeramkan.
“Kasihan sekali dia. Meninggal tanpa penghormatan.” Caroline keluar dari lemari, berjalan mendekati kerangka manusia itu. Mata gadis itu tak lepas dari simbol yang ada disekitar rangka manusia tersebut.
“Ini,” katanya dengan bibir bergetar. Setelah sekian lama, akhirnya ada petunjuk juga. Sebuah simbol yang selalu saja ditulis ayahnya, berbentuk lingkaran. Polanya begitu rumit, sampai Caroline sendiri tak bisa memperlajarinya.
“Kenapa ada simbol aneh seperti ini?” Gadis itu meraba simbol itu, sontak sesuatu yang ada dibalik jubah tengkorak menyala berwarna biru. Tangan gadis itu bergerak sendiri, menyikap lengan jubah tersebut.
“Batu safir biru!” pekiknya tertahan tak percaya bahwa batu itu berada dipergelangan tangan tengkorak itu. Tanpa pikir panjang, Caroline segera melepaskan batu itu. Tiba-tiba mata tengkorak itu berwarna biru, sontak ia langsung mundur kebelakang.
Cahaya biru itu terus meluas, hingga menyebar ke seluruh ruangan, lebih meluas lagi sampai menyelimuti sebagian kerajaan. Eugene yang semula tidur, langsung membuka kedua matanya seketika.
“Penyusup mana yang membuatku kesal!” teriaknya cukup keras. Biosa dipastikan dia adalah Varlos, karena kepribadiannya begitu kasar. Tapi, dimata semua orang dia adalah Eugene.
Begitu cahaya biru menyala, Keith yang sedang berada tak jauh dari kerajaan langsung bergegas memacu kudanya.
Dan disaat yang bersamaan pula, kedua mata Audrey juga berubah menjadi biru. “Caroline.” Gadis itu bangkit, membuat pola sihir berbetuk lingkaran. “Tempat Caroline.” Namun naas, pola itu tak berhasil dimasuki, karena dia terpental jauh hingga batuk seteguk darah.
“Aku harus menyelamatkannya.” Audrey berusaha keras untuk bangkit kembali, tapi kekuatannya tak banyak tersisa. Tubuhnya lemah, tidak bertenaga sama sekali. mata gadis itu perlahan mulai menutup, tapi ia masih menyadari jika ada seseroang yang masuk ke dalam ruangannya.
“Apa yang terjadi padamu?”
Kata itu masih didengar, tapi karena tubuhnya lemah ia hanya diam tak menjawab sama sekali. Sampai akhirnya, kesadarannya benar-benar hilang.
Sementara itu, Eugene tampak bahagia ketika melihat cahaya biru itu keluar dari ruang rahasianya. “Sarah kembali!” tawanya pecah seketika. “Bodoh! Dia tak mungkin kembali. Pasti ada
Pria itu pun bergegas menuju ke lorong rahasia. Begitu pintu terbuka, matanya langsung membola sempurna. “Itu kau! Kenapa kau bisa ada di sini?” teriak pria itu cukup keras.
Caroline yang masih diam terpaku, belum sadar karena cahaya biru secara mendadak itu tak memeprdulikan Eugene sama sekali. Kedua telinga seakan tertutup oleh sesuatu, dan pandnagannya benar-benar kosong. Sementara batu safir biru yang dipegangnya melayang di udara.
Kembali ke Eugene yang semakin tertawa menggila, menggelegar di seluruh ruangan. “Pantas saja aku sangat tertarik padamu! Ternyata kau keturunannya. Oh Sarah..., tidak mendapatkanmu tapi mendapatkan anakmu!”
Eugene sangat bahagia, betapa indahnya hidup yang dimiliki saat ini karena mendapatkan hal sempurna. Kecantikan dan keindahan maha karya yang tiada tandingannya.
Pria itu mendekati Caroline, sambil setengah memuja seperti orang gila. Bahkan matanya dipenuhi oleh hasrat seperti iblis.
Bersambung