Audrey dan Caroline sampai di mansion tanpa ketahuan oleh para penjaga. Seperti ada keberuntungan yang menyertai gadis itu, semuanya berjalan mulus dan sangat sempurna. Hanya saja, ia tak tahu segala pergerakannya adalah ulah Keith.
Karena hari hampir pagi, Caroline yang baru saja menikmati empuknya ranjang tak bisa memejamkan kedua matanya. Gadis itu tidak menyangka, bahwa takdrinya harus berurusan dengan Aeugene, si raja yang terkenal tak waras.
“Ayah..., semoga kau dan aku cepat bersama kembali.”
Caroline, anak yang tumbuh tanpa hadirnya seorang ibu. Kedewasaan yang berjalan cukuplah cepat. Selama ditinggal Jason, gadis tak mengeluh sama sekali. Yang dilakukan adalah berupaya untuk menemukan ayahnya.
“Aku harus memperlajari peta itu.” Caroline akhirnya memilih segera memahami peta yang diberikan Tuan K padanya. Begitu peta dibuka, banyak sekali jalur rahasia seperti labirin yang membuatnya pusing.
“Ini lebih rumit dari ruang penelitian Bryan.” Gadis itu meraba peta itu, menatapnya dengan seksama. Jika tidak ingin diketahui penjaga, maka yang dilakukan adalah melewati jalur rahasia.
“Ada ruang mencurigakan disini,” tunjuk Caroline sambil mengerutkan kening. Ruang itu terhubung dengan kamar Eugene. Dan anehnya, ruang itu sangat kecil.
“Kenapa Tuan K bisa mendapatkan peta sedetail ini.” Caroline melipat peta itu, lalu menyimpannya dengan sangat baik. Untuk p********n dimasa depan nanti, ia tak peduli sama sekali.
“Malam ini, aku harus bergerak.” Caroline bangkit, bersiap menuju kandang kuda untuk melakukan aktivitasnya sebagai pelayan. Namun ketika ia membuka pintu, Devon sudah berdiri di depan kamarnya.
“Apa yang kau lakukan disini?” tanya Caroline sambil melirik tas yang dibawa oleh Devon.
“Seperti yang kau pikirkan, aku di minta Keith untuk memberikan tas ini padamu.” Pria itu masih berdiam diri, tak segera beranjak meskipun sudah memberikan tas milik Caroline.
“Baguslah... aku tak perlu menjadi pelayan lagi,” ujar Caroline dengan senang.
“Meskipun begitu, kau tak bisa keluar dari mansion.” Devon segera angkat bicara, “Kau harus berada dibawah pengawasanku karena Keith berada diperbatasan sekarang.”
Rona wajah bahagia Caroline terlihat jelas dimata Devon. “Jangan senang dulu, masih ada aku.”
“Jadi, kesimpulannya aku sudah bebas. Carlos juga tidak ada ditempat, itu artinya aku bukan pelayan lagi!” seru gadis itu kegirangan.
Devon menyesal memberitahu kepergian Keith kepada Caroline. Karena tak ingin gadis itu pergi, takut kalau Keith marah besar, maka yang dilakukan adalah merebut tasnya kembali. “Tas aku sita, sampai Keith kembali.”
“Ini tak adil!” teriak Caroline sangat keras, sampai ayam yang hendak berkokok kaget seketika. Smeua orang yang mendnegar suara melengking gadis itu langsung bangun dari mimpi indahnya.
“Astaga..., kau membuat gendang telingaku rusak.” Devon mengusap daun telinganya berulang kali. “Aku tak mau tahu, kau harus berada di sini, dalam jangkauanku. Kerja atau tidak, bukan urursanku.”
Caroline tersenyum senang, sampai tak menyadari kalau Devon sudah pergi menjauh. Biarlah tas dibawa, yang penting dapat mencari informasi lagi diperpustakan. Lalu untuk buku milik Jason, gadis itu akan memperlajarinya sekarang juga.
Disisi lain, Eugene berdiri termenung menatap matahari yang mulai muncul di ufuk timur. Hati pria itu sangat gelisah, tanpa sebab. Seolah aakan ada hal besar yang terjadi. Semenjak pertemuannya dengan Audrey, perasaan khawatir mulai mengikis dirinya sedikit demi sedikit.
“Aku tak bisa seperti ini. Aku harus membawa mereka berdua ke kerajaanku.” Karena Keith sudah pergi, maka Eugene bisa bergerak bebas. Jika dengan cara lenbut tak bisa, maka dengan cara kasa radalah solusinya.
“Veto!” panggil Eugene dengan nada tinggi. Veto langsung masuk ke dalam ruangan.
“Apa perintah yang mulia?” Veto menunduk hormat, tak berani menatap Eugene sama sekali.
“Apakah Keith sudah berangkat ke perbatasan?” tanya Eugene sambil menyentuh patung singa yang tak jauh darinya.
“Dia sudah berangkat saat tengah malam.”
“Bagus..., hadiah yang aku maksud, apakah kau sudah menyiapkannya?” Eugene merasa senang karena rencananya berjalan dengan lancar.
“Saya juga sudah mengirimnya ke Mansion Griffin.”
Eugene menyeringai senang karena kerja Veto begitu cepat. Pastinya hadiah-hadiah itu sduah sampai di tempat tujuan. ‘
Benar saja, hadiah mendadak dari Eugene memang sudah menjadi buah bibir para pelayan. Mereka bahkan bertanya-tanya, untuk siapa hadiah sebanyak itu? Lalu, berita tersebut sampai ke telinga Devon.
“Apakah kalian akan menjadi pemalas karena barang tak penting?” tanya Devon dengan suara tinggi. Para pelayan pun berbaris rapi, menundukkan kepala.
“Dipagi hari seperti ini, siapa yang membuat kehebohan!” Suaranya yang menggelar membuat para pelayan dilanda ketakutan. Devon juga tak kalah kejamnya dengan Keith, bahkan dia lebih seperti mosnter. Pria itu tak suka membunuh, tapi lebih suka membuat orang menjadi kelinci percobaan dalam penelitiannya.
“Lapor, Tuan. Semua hadiah dari kerajaan. Diperuntukkan kepada Carol dan Audrey,” jawab salah satu pelayan pria.
Inilah yang tak disukai Devon karena Eugene selalu saja membuat runit keadaan. Paar pelayan yang mendnegar hadiah itu diperuntukkan oleh dua pelayan baru, terlihat sangat iri. Banyak dari mereka yang mengutuk di dalam hati.
“Aku rasa, bau busuk mulai tercium di hidungku.” Devon berjalan menuruni tangga, sedangkan para pelayan masih menundukkan kepala, jelas tak berani di angkat karena takut.
“Hadiah itu tidak akan aku terima!” teriak Audrey tiba-tiba sudah berada di ujung pintu. Para pelayan melirik sekilas, kembali fokus dengan Devon.
“Bagus... kau bisa membuangnya.” Devon tahu kalau Audrey akan menolak semua hadiah itu. Tapi sayangkan jika hadiah itu dibuang begitu saja, pasti isinya mahal.
“Kalian ambil saja. Aku tak peduli sama sekali.” Audrey memilih pergi meninggalkan mereka karena tak mau terlibat lebih jauh lagi dengan urusan tak penting.
Melihat Audrey yang pergi, Devon segera menyusulnya. “Audrey! Kenapa kau terburu-buru?” Pria itu menyentuh pundak Audrey dengan pelan.
“Aku ingin bertemu dengan nona,” jawab gadis itu singkat dan padat.
“Kau sangat dingin padaku,” rengek Devon tiba-tiba.
Dahi Audrey berkerut, memicingkan mata dengan tatapan sedikit curiga. “Apa yang kau inginkan? Kau sangat aneh.”
Ah, dia memang gadis pintar, bisa mengetahu keinginan lawan bicaranya meskipun belum spisifik. Dave pun tersenyum lebar, “Jangan pernah biarkan Caroline kabur dari tempat ini.”
“Kau memintaku jadi mata-mata!” pekik Audrey tak percaya. “Sungguh konyol, aku tak bisa mengengkang nona karena dia punya tujuan.”
Devon menyatukan kedua telapak tangannya seraya memohon, “Jika Keith kembali, dia pasti akan marah besar saat mengetahui Caroline tak ada di mansion.”
“Aku tak bisa berbuat banyak. Jika tak berhasil, jangan menyalahkanku.” Audrey hendak pergi, tapi dipeluk oleh Devon dengan erat.
“Kau adalah gadis yang baik. Aku senang bertemu denganmu.”
Ekspresi Audrey menjadi muram, tak suka dengan ucapan Devon yang penuh kebohongan. “Jangan berpura-pura baik padaku, aku tak suka.” Gadis tersebut melepaskan pelukan itu dengan kasar. “Ketahuilah..., aku tahu niatmu.”
Devon syok, diam di tempat tak bergerak sama sekali. Bahkan Audrey yang mulai menjauh tetap ditatapnya tanpa bersuara sama sekali.
Darimana dia tahu tentang rencanaku? batin Devon tak percaya.
Bersambung