Jauh berjalan menelusuri jalan setampak yang medannya lumayan sulit, Eugene dan Derich beberapa kali beristirahat. Tampak pemandangan begitu indah dari gunung tersebut. Jika saja Eugene bisa hidup bebas tanpa status seorang Raja Hazelmuth, pasti seperti burung itu. Terkadang pria tersebut berpikir ingin menjadi manusia biasa.
“Apa yang kau pikirkan?” tanya Derich sambil bangkit. Mereka sudah cukup untuk beristirahat.
“Tidak..., aku hanya lelah saja.”
Derich menatap punggung Eugene yang mulai menjauh. “Kau bisa kembali ke kerajaan. Jangan membuang waktu di sini. Apa tujuanmu sebenarnya?”
“Karena aku harus menemukan Caroline.”
Hanya gadis itu yang bisa menyembuhkan penyakitnya. Dan juga untuk Audrey, seorang pelayan itu merupakan penyihir.
“Jangan bilang kau menyukainya? Kau kan menyukai kecantikan dan keindahan,” tuduh Derich dihadiahi senyuman oleh Eugene.
“Tak salah sama sekali. Memang aku menyukai wajah mungil seperti dia. Lagi pula sebagian koleksiku sudah kau hancurkan. Apa kau lupa?”
Butuh waktu banyak untuk Eugene mengumpulkan benda-benda cantik tersebut. Obesisinya yang gila membuat sulit dikendalikan.
“Dasar gila!” geram Derich berjalan mendahului sang raja dengan cepat. Eugene tak berkata apapun, malah dia tersenyum sambil menggelengkan kepala.
Suka dengan Caroline? Apakah mungkin? Atau hanya sekedar kagum karena kecantikan gadis itu. Entahlah, Eugene sendiri juga tak tahu. Pada dasarnya, semua yang diinginkan telah menjadi miliknya, kecuali penyihir itu? Bahkan dia rela mati karena tak mau dimiliki.
‘Sungguh menyebalkan,’ geram Eugene di dalam hati, kala mengingat Sarah.
Tak lama kemudian, mereka sampai di altar Gunung Suci. Tak ada yang aneh di sana, tapi Derich menemukan jejak Ice Dragon, yaitu sisiknya yang berwarna putih. Pria itu yakin Caroline dan Audrey telah sampai ke tempat yang ada dihadapan.
“Kemana mereka pergi?”
Karena tak ada jejak lagi, Derich tampak frustasi dibuatnya. Tapi berbeda dengan Eugene yang tenang, menatap ke arah jalan setapak tak jauh dari mereka. Dia langsung menyalakan kembang api agar Veto tahu keberadaannya.
Ketika kembang api menyala di udara, Keith yang sudah melepas topengnya menatap ke arah langit, begitu juga Veto yang masih mencari keberadaan Tuan K.
“Sial! Sepertinya dia pergi tanpa pamit.” Tak ingin menunda waktu lagi, Veto memacu kudanya dengan kecepatan penuh, bahkan membawa pengawal profesional pilihan, sekitar dua orang.
“Kita harus sampai ke tempat raja berada!” Veto mengepalkan tangan kuat, khawatir berkepanjangan karena Eugene keluar kerajaan tanpa pengawalan.
“Varlos...!” geramnya tertahan. Kuda itu terus melaju hingga sampai ke perbatasan Gunung Suci. Untuk naik ke atas gunung, mereka harus berjalan karena medan begitu terjal. Akhirnya mau tidak mau, Vato meminta anak buahnya untuk mengikat kuda mereka di pohon besar.
“Kita harus sampai secepatnya!” teriak Veto dengan lantang.
“Baik!” jawab mereka berdua serempak.
Sementara itu, Keith yang berada di tengah hutan karena mengikuti Caroline melihat sebuah gubuk kecil yang minim penerangan. Sisi hutan tampak gelap dan juga terdengar beberapa hewan buas.
Inginnya ia meminta bawahan untuk mengikuti pergerakan Caroline, tapi karena sangat cemas niat itu di urungkan.
“Sangat aneh, kenapa Jason tak diterkam oleh binatang buas.” Keith terus menatap gubuk kecil itu, bahkan pandangan matanya tak beralih sama sekali.
“Sebentar lagi matahari akan muncul. Aku ingin tahu, kenapa Jason tak kunjung kembali ke tempat asalnya?” Meskipun Keith pernah bersama Jason, tapi ia sendiri tak tahu banyak perihal pria itu. Banyak misteri yang masih tersimpan dan belum bisa dipecahkan sama sekali.
“Apa iya dia berhubungan dengan penyihir itu?”
Sepuluh tahun telah berlalu, tapi Keith tak pernah bisa melupakan kejadian dimana penyihir dibakar hidup-hidup. Dan kala itu juga, Jason ada di sana. Entah hanya imajinasinya belaka, Jason tampak snagat puas karena penyihir itu mati dengan sangat kejam.
“Aku tak ingin Caroline kecewa,” gumam Keith serius. Mungkin pertemuan dengan Caroline relatif singkat, tapi ada sesuatu di dalam hatinya yang tak bisa dijabarkan sama sekali. Seorang Keith yang memiliki perasaan sedingin es bicara seolah memiliki seorang kekasih. Sungguh sangat menggelikan jika Derich dan Eugene mengetahuinya.
“Sial! Sejak kapan aku menjadi peduli dengan gadis itu.” Pikirannya jadi berubah seratus delapan puluh derajat. Keith memang tak bisa mengenali perasaannya sendiri. Mungkin karena hatinya sudah tertutup. Atau mungkin memang dia tak tahu sama sekali tentang perasaan itu.
Lama melihat gubuk milik Jason, Keith menatap pintu dengan serius. Tidak lama kemudian, Audrey keluar dalam kondisi kurang baik.
“Apa yang terjadi?”
Tanpa disengaja, kedua mata mereka bertemu. Keith langsung bersembunyi dibalik pohon besar karena takut ketahuan. Namun siapa sangka, bahwa Audrey sudah berada di depannya.
“Kau membuka penyamaranmu,” kata Audrey mengawali pembicaraan mereka. Keith tampak syok, tapi wajahnya terlihat biasa saja.
“Sangat lancang!” geram pria itu tertahan.
“Tuan, aku tahu kau adalah Tuan K. Nona Caroline memang kurang peka.” Audrey melipat kedua tangannya.
Mendengar perkataan gadis belia itu, Keith tersenyum dingin. “Kau hanya seorang b***k dan sekarang berstatus menjadi pelayan.”
Audrey mengedikkan bahu acuh, “Aku tak peduli kau berkata seperti itu. Yang jelas, kau harus melindungi Nona Caroline.” Matanya bersinar dengan warna biru. Mata tersebut mengingatkan Keith dengan penyihir yang mati dibakar oleh Eugene.
“Siapa kau?” gertak Keith sambil mengarahkan pedangnya tepat di leher Audrey.
“Aku tak bisa menyembunyikan identitasku lagi di depanmu, Keith.” Rambut Audrey berubah warna menjadi putih, yang menandakan bahwa dirinya adalah penyihir.
“Bagaimana bisa?” Keith menurunkan pedangnya karena terkejut, sebab penyihir sudah mati sepuluh tahun lalu di depan matanya.
Audrey pun kembali merubah rambutnya menjadi hitam. “Aku tak akan bisa mati sebelum membunuh Jason.” Terlihat jelas api amarah gadis belia itu.
“Kau igin balas dendam.” Keith memijat kepalanya yang sakit karena fakta mendadak yang diterimanya.
“Tidak..., aku hanya ingin Nona Caroline selamat dan keluar dari dunia ini.” Wajah Audrey kembali menjadi sendu. “Jason pasti akan melakukan hal buruk padanya. Dan sekarang Nona Caroline masih percaya pada pria itu.”
Audrey meraih tangan Keith secara tiba-tiba. “Bila waktunya tiba, bawa Caroline jauh dari Jason. Aku mohon...”
Keith menarik tangannya kembali. “Aku bahkan tak tahu identitasmu yang sebenarnya, dan kau memintaku untuk menyelamatkan Caroline.”
Ah, Audrey tak bisa berkata apa-apa. Karena memang sandaran bantuan terletak pada Keith seorang. Jika gadis itu meminta bantuan pada raja, bukan dibantu malah dipenjara.
“Aku tahu kau orang baik.” Audrey cukup yakin dengan penilaiannya. “Hanya kau yang bisa melakukannya.” Gadis itu pergi begitu saja meninggalkan Keith yang berdiam diri.
“Beginilah caramu minta tolong. Dasar tak punya etika!” Keith menghela nafas panjang, menatap mentari yang mulai muncul. Topeng miliknya pun digunakan kembali untuk menyembunyikan identitasnya.
“Sejauh mana kau akan bergerak, maka aku akan mengikutimu, Caroline.”
Pria itu tak bisa mengabaikan Caroline begitu saja. Disamping itu pula, perasaan aneh yang mulai hinggap itu harus dipastikan lebih lanjut lagi. Sampai mana tingkat berharganya gadis itu? Keith akan membuktikannya sendiri.