Megan sudah mengirim pesan kepada Veto untuk pertemuan mendadak mereka. Gadis itu sekarang berada di bar, lokasinya tepat di tengah pasar kota. Dia sebenarnya enggan karena terlalu dekat dengan kerajaan.
Tapi, ia tak punya pilihan lain karena kali ini mengalahkan Tuan K menjadi tujuannya. “Sialan! Kenapa pria besar itu sangat lama?” Megan meneguk bir yang ada dihadapannya sampai tandas. Rasa kesalnya memuncak saat matahari mulai turun, dan petang datang.
Karena menunggu cukup lama, Megan akhirnya memutuskan untuk pergi. Sampai di pintu keluar, Veto datang bersama seseorang.
“Maaf, karena aku sedang ada urusan.” Veto berdiri tepat di hadapan Megan, menghalangi jalannya.
“Jika kau tak datang, aku pasti akan melakukan pemberontakan,” ancam Megan tak main-main. Orang yang ada disamping Veto tertawa dengan ditahan.
Tahu sedang di ejek, gadis itu menarik kerah leher pria bertudung hitam itu cukup kuat. “Jaga mulutmu atau aku akan menebas lehermu.” Aura Megan tak main-main, membuat si pria itu malah tertawa.
“Sudah... kau tak perlu meladeninya, Meg.” Veto menjadi penengah di antara mereka, melepas tangan Megan dari pria yang dibawanya. “Jangan memprovokasinya terlalu jauh, Fred.”
Pria itu membuka tudung hitamnya, tersenyum tanpa bersalah sambil menatap Megan yang menatap ke arah lain.
“Kita masuk ke dalam bar. Aku sudah menyiapkan ruangan untuk pertemuan kita.” Veto mengajak mereka berdua masuk ke dalam ruangan khusus yang telah disiapkan oleh pelayan bar.
“Sebelum itu, aku perkenalkan dia adalah Fredich. Kepercayaan keluarga Issac,” kata Veto mengawali pembicaraan mereka. Megan hanya diam, tak mau menatap si pria yang dimaksud.
“Aku sangat membuang waktu dengan percuma,” ucap Megan sedikit kesal.
“Karena kejadian ini, aku jadi sibuk. Apalagi keberadaan mereka juga belum ada jejaknya sama sekali.” Jujur Veto pusing dengan pencarian mereka tiada henti itu.
“Masih juga sehari, kau sudah loyo. Bukan K namanya kalau dia tak bisa mengendalikan situasi meskipun kau bekerja keras.” Megan menatap ke arah bulan yang mulai tampak.
“Jika dia kepercayaan Issac, maka jenderal perak dalam genggamannya. Aku yakin kalau dia ada di hutan kecil itu.” Megan bukan gadis bodoh yang tidak membuat persiapan.
“Apakah kau ingin aku ikut kerjasama denganmu?” Fredich mulai angkat bicara, sedikit menyesal karena meremehkan gadis loli itu.
“Lalu, untuk apa kau ikut kemari? Bukankah kau juga ingin andil dalam penagkapan Tuan K?” Megan balik badan, tersenyum sinis.
“Kau!” tunjuk Fredich dengan emosi yang sudah mencapai ubun-ubun.
“Cukup!” sentak Veto karena tak menyangka jika mereka berdua sungguh sulit di atur.
“Oke..., aku akan profesional. Jika firasatku benar, maka hanya satu yang perlu kita lakukan, yaitu menunnggu. Tutup jalan keluar hutan, dan pancing mereka keluar.”
“Kalau ini tak berhasil, aku akan membunuhmu,” ancam Veto memberi peringatan keras.
“Hey, Bung. Kau tak bisa membunuhku karena statusku. Jika aku mati, semua bandit akan berlomba-lomba untuk mengejarmu.” Megan pun berjalan melewati mereka. “Aku akan berada di sisi barat, kau atur pengawal kerajaan ke tiga sisi lainnya." Gadis itu pergi tanpa menoleh, segera bergegas keluar bar.
Kali ini, ia harus menangkap Tuan K, apapun yang terjadi. Begitu menginjakkan kaki ke tanah, udara malam mulai menerpa wajahnya. Mata gadis itu menatap rembulan yang begitu cantik. Di usia yang cukup muda, ia sudah bekerja keras untuk mempertahankan hidup.
“Seandainya kau masih hidup, pasti kita akan melaluinya bersama.” Megan naik ke punggung kuda, memacu hewan itu dengan lihai dan cepat, membelah angin yang terus membuat pohon bergerak.
Begitu sampai dipinggir hutan, ada tiga pengawal kerajaan mendatanginya untuk memberitahu kalau segala yang direncakan sudah siap. “Aku ingin lihat, bagaimana kau bisa lolos dengan situasi ini?”
Sementara itu, Caroline dan Audrey sudah bersiap-siap untuk melakukan perjalanan. Lalu, Keith yang masih berada di luar hanya diam mengawasi mereka berdua. “Aku tak akan ikut, tapi bukan berarti aku tak mengawasi kalian.”
Sejujurnya, Keith tahu kalau pengawal kerajaan mengelilingi hutan itu. Cukup berisiko bagi mereka jika keluar bersamaan. Dengan identitas baru Caroline, pasti tak akan ada yang curiga. Kecuali satu orang, yaitu Audrey. Gadis belia itu sudah dikenali oleh Derich, tentu akan menjadi masalah besar.
“Pergilah ke sisi barat. Jika kau bertemu bahaya, kalian harus lari.” Keith menatap Audrey dengan dingin, pergi begitu saja dari tempat itu.
“Apakah kau menyinggungnya, Drey?” tanya Caroline sambil memakai tasnya.
“Tidak..., Tuan K memang seperti itu,” jawab Audrey sambil menghela nafas panjang. “Kita berangkat sekarang, Nona.”
Caroline mengangguk, dan akhirnya mereka berjalan tanpa didampingi oleh Keith. Begitu sampai di ujung hutan, langkah kaki mereka berhenti sebab ada obor yang menyala. “Nona, apakah kita harus terus melanjutkan perjalanan?”
“Karena aku memiliki identitas lain, maka tidak masalah.” Caroline yakin, bahwa tidak akan ada orang yang mengenali mereka.
Sampai akhirnya, ada seornag pria berteriak kalau melihat dua orang keluar hutan. Seketika itu pula, para bandit langsung menyergapnya.
“Apa yang kalian lakukan?” tanya Caroline mulai berakting.
“Tuan!” panggil salah satu pria yang menodongkan pedang. Megan yang senang pun bergegas lari menuju ke tempat kejadian.
“Instingku tak pernah salah... Aku selalu benar.” Saat melihat orang yang ditangkap, Megan membeku ditempat merasa tak masuk akal karena orang yang ada didepannya.
“Audrey!” panggil Megan dengan wajah haru. Audrey tersentak, mencari sumber suara. Para bandit yang sedang meringkus mereka langsung menoleh.
“Turunkan pedang kalian!” teriak Megan cukup keras, seketika para bandit menjatuhkan pedang. Gadis loli itu pun langsung memeluk Audrey cukup kuat, menangis sekuat tenaga. Sedangkan yang dipeluk hanya diam saja. “Aku senang kau baik-baik saja? Sudah lama kita berpisah. Sepuluh tahun lamanya.”
“Siapa kau?” tanya Audrey tak mengerti, melepas pelukan mereka, lalu merangkul lengan Caroline.
“Aku kakakmu! Kau adikku! Kau lupa!” teriak Megan dengan sengit menatap Caroline yang berstatus seorang pria.
“Maaf, aku tak mengenalmu. Tuan, kita pergi sekarang,” ajak Audrey melewati Megan begitu saja.
“Aku tak akan membiarkanmu pergi, Audrey!” Megan menjentikkan jari. “Tangkap Audrey! Tanpa luka sedikitpun!”
Para bandit pun bergegas menghadang Audrey dan Caroline yang hendak pergi. “Jika kau benar saudaraku, lepaskan kami. Aku akan menemuimu setelah masalah tuanku selesai.”
“Audrey..,” bisik Caroline pelan.
“Tidak apa-apa karena kau perioritas utamaku,” jawab gadis itu sambil tersenyum.
“Kenapa? Apakah dia berarti untukmu?” Megan tak kuasa menahan tangisnya. “Setelah sekian lama, aku kira kau meninggal. Sekarang kau berdiri didepanku, tapi aku tak bisa menyentuhmu.”
“Benar, karena dia telah menolongku. Aku harus menemani tuanku.” Audrey menatap lembut ke arah Caroline. Sungguh pemandangan itu seperti paasangan kekasih yang membuat semua orang iri. Tahukah mereka, bahwa keduanya adalah perempuan.
Lalu, bagaimana dengan perasaan Megan? Campur aduk! Jelas iya karena tak ingin menghilangkan kesempatan bersama dengan Audrey kembali. Biarlah menjadi egois, asalkan berkumpul.
Apa yang harus aku lakukan sekarang? batin Megan
Bersambung