Pesan Keheningan

2822 Words
Tiba di Stasiun Bukit Bintang, Khanza melirik jam tangannya. "Sebelah mana keluarnya?" Rissa bingung. Khanza menggaruk kepalanya yang gatal. Efek belum mandi dari sore kemarin dan juga cuacanya panas yang dirasa. "Tanya aja lah," tutur Khanza. Rissa mengangguk lantas bergegas bertanya. "Exit door-nya di mane Pak Cik?" Khanza tak bisa berhenti tertawa setiap mendengar Rissa bertanya dengan logat melayu. "Nak ke mana? Kalo nak ke Bukti Bintang, ambil pintu tuh. Kalo nak ke mall, terus je ke situ." Aaaah. Rissa mengangguk-angguk. Ia mengucapkan terima kasih lantas menarik tangan Khanza. "Mau ke mall dulu aja gak? Laper kan kita. Terakhir makan juga jam berapa dah. Semalem yak. Ini udah jam berapa," tutur Rissa. Khanza mengangguk-angguk setuju. Akhirnya keduanya berjalan melalui pintu ke arah mall. "Udah buka belum sih?" Khanza melirik jam tangannya sekali lagi. Sudah hampir jam sebelas. Harusnya sih sudah buka. Dan memang benar. Mereka juga sudah melihat pintu yang terbuka lebar itu. "Mau makan apaan?" Rissa mengendikan bahu. "Masuk aja dulu," tuturnya. "KFC?" Rissa terkekeh. Sedari awal perjalanan mereka memang meniatkan diri untuk mencoba beberapa merk makanan cepat saji yang terkenal. Karena biasanya, meskipun nama merk-nya sama tapi biasanya produk yang dijual akan berbeda. Dan benar memang. Ada saos Bangkok juga selain saos tomat dan cabai. Rissa dan Khanza juga tak menemukan beberapa menu yang biasanya ada di Indonesia. Ah dan satu lagi, harga di sini tentunya akan lebih mahal dibandingkan dengan di Indonesia. "Beda ya?" Khanza berdeham. Ia juga mengangguk-angguk. "Enakan di Indo sih. Mungkin karena selera kita." Rissa terkekeh. Memang benar. Berbeda negara tentnunya akan berbeda selera. Aah jangan kan berbeda negara, yang satu negara pun belum tentu sama seleranya. Ini memang persoalan personal. "Ukurannya sama aja. Tapi di sini lebih banyak menunya." Khanza mengangguk-angguk. Ia juga setuju. "Ada banyak yang pengen gue coba lagi tapi harus ngehemat dulu." Rissa terkekeh. Memang benar. "Nanti kalau abis belanja oleh-oleh dan masih tersisa, mari kita ke sini lagi." Khanza mengangguk-angguk setuju. Usai makan, keduanya beranjak lagi. Niatnya hanya berkeliling saja sembari mengulur waktu. Mereka berniat ke self laundry sekitar jam dua belas. Barangkali akan menghabiskan banyak waktu di sana. "Iih! Hokkaido! Lagi dapat bonusaaan! Dapat lima!" serunya. Rissa menggelengkan kepala. Kalau soal makan, Khanza memang juaranya. Ah bukan soal makan juga, tapi juga soal minum. "Mau beliii!" serunya. Rissa mengikuti kemauannya. Mereka berjalan menuju outlet yang menjual Hokkaido Baked Cheese Tart. Di mall-mall Indonesia juga ada. Tapi Khanza paling sering membelinya di Margo City. Itu loh mall yang ada di Depok. Tongkrongan mall anak UI ya memang itu. Ada beberapa mall lain tapi letaknya lebih jauh. Kalau mall Margo City, posisinya memang strategis. Biasanya Khanza dan teman-teman lain akan berjalan ke sana dengan jalan kaki. Jika berangkat dari arah kampus, mereka akan berjalan ke arah Stasiun Pondok Cina. Lalu melintasi rel kereta api dan pedagang-pedagang di sekitar stasiun hingga tiba di tepian jalan raya Margoda. Kemudian menyebrang dengan menggunakan zebra cross yang berada di depan toko buku Gramedia. Lalu tinggal berjalan lurus saja menuju Margo City. Tak sampai lima menit juga sudah tiba melalui pintu belakang. "Lo gak mau?" "Kenyang," tutur Rissa. Perutnya memang tak bisa memuat makanan banyak. Tidak seperti Khanza. Yeah dari segi badan, mereka memang agak berbeda. Meski tinggi beda tipis. Tapi Rissa tampak lebih kurus dibandingkan dengan Khanza. Selain itu, tulangnya juga lebih kecil. Meski sekilas tampak mirip. Usai membeli Hokkaido, Khanza masih heboh sendiri. Keduanya masih mampir ke salah satu outlet kosmetik. Aah bukan hanya kosmetik yang dijual. Ini semacam Watson yang ada di Indonesia. Lucunya, ada seorang sales yang menghampiri Khanza dan menawarkan banyak produk padanya. Rissa hanya menahan tawa karena merasa lucu dengan tingkah sales itu. Sales cowok tetapi gerakan tubuhnya lebih gemulai dibandingkan dengan Khanza yang agak tomboy tapi dulu. Hahaha. Meski sekarang yaaah mungkin tak berbeda jauh. Tapi Khanza sudah banyak menunjukan sisi feminimnya. Setelah itu, keduanya memutuskan untuk berangkat menuju self laundry. Hanya perlu menyebrang dengan tangga penyebrangan. Kali ini mereka menyalakan GPS untuk bisa sampai lebih cepat. Kemudian lurus ke arah kanan. Saat menemukan perempatan jalan yang sangat besar, keduanya belok ke kiri. Setelah itu menyebrang lagi karena posisi self laundry dan hotel berada di jalur kanan. "Tuh! Tuh!" heboh Khanza. Ia sudah melihatnya. Rissa menyipitkan mata. Berhubung memang panas, ia mengenakan topi putihnya. Keduanya berhenti di self laundry dan bertanya tentang cara menggunakan mesin cuci dan pengering. Setelah mempelajarinya dengan benar, keduanya berpatungan. Khanza menukar uang dengan koin. Agar mesin dapat berfungsi yaa dengan memasukan koin yang mereka beli ke dalamnya. "Yang sepuluh atau lima?" Rissa melirik baju-baju mereka. "Sepuluh aja lah," tuturnya. Berhubung bajunya cukup banyak, mereka perlu kapasitas pencuci dan pengering yang lebih besar. Akhirnya mereka memilih mesin yang bisa menampung hingga sepuluh kilogram. Keduanya memasukan baju dengan cekatan. Rissa juga melepas jaket yang sedang ia pakai agar bisa langsung dicuci. Bahkan topi dan kaos kaki yang sedang ia pakai juga sama. Berhubung di sini masih sepi dan penunggunya tadi sudah pergi. Khanza terkikik-kikik. "Dalemn-daleman!" hebohnya sambil tertawa-tawa memasukan benda-benda itu ke dalam mesin cuci. "Ini kan nanti muter ya. Tahu-tahu dalemannya kelihatan pas lagi muter-muter begitu gimana dah?" Khanza hanya terbahak. Sebodo amat lah, pikirnya. Namanya juga pakaian. Iya kan? Mau bagaimana lagi. Mereka juga tak mungkin tak mencucinya karena hanya membawa dengan jumlah yang sangat terbatas. "Udah semua?" tanya Khanza. Ia hanya memastikan sebelum mereka menutup mesin dan memutarnya. Rissa memeriksa isi tasnya lagi dan tas Khanza. Setelah yakin tak ada baju kotor lagi, ia mengangguk. Maka Khanza segera mengeksekusi cucian. Ia memasukan koin-koinnya lalu menekan tombol dan mesin cuci mulai bergerak. Mesin cuci itu akan berputar selama setengah jam. Setelah mencuci, akan disambung dengan memindahkan baju-baju tadi ke mesin pengering yang ada di atasnya. Baju akan kering dalam waktu sepuluh hingga lima belas menit saja. "Pas deh jam satuan kita selesai dari sini bisa langsung ke hotel." Khanza mengangguk. Ia menunjuk jalan di sebelah kanan mereka. "Sejalurkan sama self laundry?" Rissa mengangguk. Memang tak jauh. "Apa nanti nyuci lagi ya? Sebelum pulang. Kan ribet kalau bawa barang-barang kotor. Mana mau bawa oleh-oleh." Khanza berpikir sebentar. Kalau dipikir-pikir memang iya. Akhirnya ia mengangguk. Ia juga setuju dengan ide itu. Sejenak, pikirannya memang teralihkan dari seseorang yang entah di mana. @@@ "Kita mau jalan lagi jam berapa?" "Entar sore?" "Oke," tutur Khanza. Ia sih setuju-setuju saja. Mereka baru tiba di hotel. Rissa langsung bergerak mandi karena sudah gerah. Ye lah sejak kemarin sore sama sekali belum mandi. Tapi mereka sudah berkeliaran jauh dari Singapore hingga tiba di Kuala Lumpur dengan tmapolan seperti gembel saking kumalnya. Usai mandi, gantian Khanza yang bergerak. Karena mereka harus mengejar solar Zuhur. Setelah itu, keduanya malah kompak tidur. Yah perjalanan sehari belakangan pasti melelahkan sekali. Begitu sore tiba.... "Mandi geh. Kan mau jalan." Rissa menguap. Ia sejujurnya masih lelah. Bahunya terasa ingin patah karena menggedong ransel beratnya seharian. Lalu mereka baru benar-benar beristirahat sekitar jam dua siang tadi. Sekarang sudah jam empat sore. Sudah masuk waktu Ashar tapi berangkat pun terasa malas. "Malem aja gimana?" Khanza tertawa. Ia sudah menduga akan seperti ini. Hal-hal semacam ini sudah biasa terjadi. Akhirnya Rissa beranjak tapi hanya untuk soalt Ashar lalu malah tidur lagi untuk satu jam. Menjelang jam setengah enam sore, Khanza menyepak-nyepak pantatnya biar segera bangun dan pergi mandi karena ia sudah selesai mandi. "Abis magrib kan kudu berangkat. Buruan mandiii!" serunya. Rissa masih menguap lagi sebelum benar-benar beranjak ke kamar mandi. Khanza sibuk berseluncur di internet. Melupakan sejenak lelaki yang entah di mana dan sedang apa. Entah untuk apa pula ia pikirkan. Ini lah nasib cewek yang digantungkan oleh harapan, pikirnya. Lalu ia terkekeh sendiri. "Malam ini ke Petronas doang kan?" Rissa mengangguk. "Malam besok baru ke Alor dan kita jajan sepuasnya." Khanza tertawa. Mereka agak lumayan lama berada di Malaysia dibandingkan dengan di Singapura. Rasanya senang sudah sampai di sini. Tapi rasanya liburan ini terlalu cepat berlalu. Jadi tidak terlalu seru. "Aneh gak sih jam Magrib-nya segini?" Khanza terkekeh. Berhubung saat di Singapura mereka sama sekali tak keluar karena takut dan parno abis. Di sini mereka berniat keluar. Biasanya di Depok, mereka berjanji untuk jalan-jalan usai Magrib itu yaa di jam setengah tujuh malam kan ya. Nah kalau di sini sekitar jam setengah delapan malam rasanya sudah terlalu larut. Khanza terkekeh. Ia juga merasakan hal yang sama. Namun kalau dilihat keramaian saat mereka keluar, rasanya sama saja. "Kereta sampe jam berapa?" Khanza bertanya dulu sebelum mereka bergerak naik kereta menuju Petronas. Harusnya sih tidak jauh dari hotel mereka menginap. Usai bertanya, Khanza terkikik-kikik. Kening Rissa mengerut. Ada apakah? "Katanya jalan kaki aja atau naik Go-KL. Gak jauh." "Oh ya?" Khanza mengeluarkan ponselnya. Ternyata bisa dengan berjalan kaki. "Berapa lama?" tanya Rissa. Sementara Khanza masih sibuk melihat jalurnya di ponsel. Lalu mengajaknya menyeberangi jalan. Mereka tidak naik bus dan malah berjalan kaki menuju Petronas menggunakan jalan-jalan trotoar. "Delapan belas menit lah. Gak terlalu jauh lah ya. Dibandingkan pas kita jalan kaki di Singapore waktu hari pertama itu." Rissa terkekeh. Ya memang benar. Saat itu, mereka berjalan hingga setengah jam hanya untuk mencari makanan yang ada di internet. Kalau sekarang, tujuan mereka hanya untuk melihat ikon Malaysia, yaitu Petronas Twin Tower. Begitu tiba di sana, keduanya terperangah. Karena benar-benar besar dan yaa wajar saja kalau pernah menjadi menara tertinggi di dunia. Meski kini sudah kalah dengan menara yang ada di Taiwan dan di Dubai. Tapi untuk ukuran negara-negara di sekitar ASEAN, Malaysia memang tak kalah. Singapura yang merupakan negara kecil namun berhasil bergerak menjadi salah satu negara maju di dunia. Berbagai perkembangan teknologinya juga sangat bagus begitu pula dengan pengelolaan di dalam pemerintahan. Semua itu tergantung pada kepemimpinan di sebuah negara dan juga rakyatnya. "Entah kenapa, gue ngerasa kayak rumah kedua di sini," tutur Rissa pelan. Keduanya duduk usai berfoto ria. Mata menatap ke arah Petronas yang tinggi itu. Rissa penasaran bagaimana rasanya bisa berada di atas sana. Pasti menyenangkan karena bisa melihat peradaban kota yang berkembang sangat pesat. "Besok kita ke mana sih?" "Masjid Abdul Samad bukan?" Ah iya. Rissa mengangguk-angguk. Ia hampir lupa. Sejujurnya mereka sangat ingin berjalan-jalan selain di Kuala Lumpur tapi berhubung baru pertama kali ke sini, main-main saja dulu di sini. Nanti kalau ada rezeki lagi, mereka berjanji akan berangkat lagi ke sini. Khanza menghela nafas panjang. Ia juga merasakan hal yang sama dengan Rissa. Sepertinya akan sangat betah kalau suatu saat nanti tinggal di sini. Tapi siapa yanh tahu jodoh sih? Jodohnya bisa di mana saja. Ia juga tak tahu di mana jodohnya hingga saat ini. Hanya bisa berdoa semoga Allah mengabulkan inginnya suatu saat nanti untuk menikah. Kalau bertanya kesiapan untuk menikah, ia tentunya tidak akan mencari pasangan dengan jalur seperti ini jika tidak berniat untuk menikah bukan? Jadi hal itu tentu saja sudah disiapkan. Meski yaah belum begitu mendalam. Karena dari banyak cerita yang ia dengar, pernikahan tidak semudah itu. Bukan hanya sekedar akad lalu hidup akan bahagia selamanya. Tidak. Tidak bisa hanya itu. Sekitar jam sembilan malam, keduanya memutuskan untuk meninggalkan Petronas. Perut mulai bergemuruh saat keduanya berjalan terburu-buru melintasi trotoar menuju hotel. Saat berada di jalan sekitar Petronas tadi, suasana jalan memang tampak sangat ramai. Tapi saat semakin dekat ke arah hotel, Khanza dan Rissa agak ngeri juga karena mulai sepi. Bahkan terlihat sangat lengang. "Padahal baru jam setengah sepuluhan gini loh. Kalo diibaratkan di Indonesia, ini masih jam setengah sembilan lah. Tapi sepinya kayak udah di kampung halaman gue." Khanza terkekeh. Memang benar. Dibandingkan dengan Depok, masih lebih ramai. Atau mungkin karena spot yang mereka lewati ini memang agak sepi? Entah lah. "Mau makan apa?" "Jam segini ada jualan apa?" Keduanya bingung. Baru ingat pula kalau terakhir makan tadi pagi. Tidak berniat untuk menghemat sebetulnya. Tadi kan ada kue Hokkaido-nya Khanza. Mereka menyantap itu lalu tidur pulas. Baru terasa lapar ya sekarang. Namun tak banyak yang bisa dibeli, akhirnya keduanya hanya membeli gorengan otak-otak ikan. Ini mirip dengan yang ada di Indonesia. Mirip semacam basreng alias bakso goreng yang diberi bumbu bubuk cabe, balado atau garam. Tapi bentuknya yang di sini ya otak-otak lonjong dan rasa ikannya sangat terasa. "Enak," sahut Khanza. Keduanya tertawa. Lalau sesnag lapar begini, apapun terasa enak bukan? @@@ Karena semalam hanya makan gorengan, pagi-paginya mereka terbangun dan sungguh lapar. Khanza menarik lengan Rissa untuk segera beranjak dan pergi membeli makanan. Biasanya ada banyak makanan yang dijual pagi-pagi di negara manapun. Benar saja. Mereka menemukan di jalan besar Bukit Bintang, tepat bersebrangan dengan Berjaya Times Squre, di sekitar Stasiun Bukit Bintang. Banyak mobil-mobil yang menjual makanan mulai dari yang ringan hingga yang berat. Keduanya membeli nasi kotak yang berisi ayam. Yaa seperti kebanyakan nasi ayam suir-suir yang ada di Indonesia. Tapi ini menggunakan nasi lemak. Khanza juga membeli beberapa cemilan jalanan. Otak-otak semalam juga ada. Mereka juga membeli teh tarik. Teh tarik masih menjadi tujuan utama perjalanan kali ini. Setelah puas membeli makanan, keduanya kembali ke hotel untuk sarapan. Usai sarapan malah berleha-leha lagi di atas tempat tidur. Belum ada yang bergerak untuk mandi. "Entah kenapa, gak bakal jalan siang kayaknya," tutur Khanza yang membuat Rissa terbahak. Mereka memang suka sekali mengulur waktu. Rasa lelah belum hilang lalu semalam juga berjalan kaki ke Petronas. Tapi menjelang jam sebelas, Rissa bergerak mandi. Sementara Khanza membuka matanya kemudian melihat keheningan pada ponselnya. Tak ada apapun lagi. Kalau menyapa duluan? Tidak-tidak, pikirnya. Hahaha. Akhirnya hanya memejamkan mata hingga hampir tertidur andai tak ditarik Rissa untuk segera bangun. Ia tertawa. "Awas lo kalo ketiduran!" tukasnya. Ia terkekeh san akhirnya beranjak juga dan ikut mandi. Waktu Zuhur masih setengah jam lagi. Rissa sibuk mencari jalan hari ini menuju masjid Abdul Samad. "Wow ada KFC lagi di sana," tuturnya yang membuat Khanza terkekeh. Rissa melihat itu di google maps. Letaknya tak jauh dari masjid itu. Jika melintasi jalannya, mereka akan melewati KFC itu dulu baru sampai ke masjid. "Pengen beli es krim cone kesukaan gue." Khanza terkekeh. "Mau? Ya udah nanti ke sana." "Asyiiikk!" serunya girang. Waktu itu Rissa tak membeli es krim karena masih terlalu pagi. Ia hanya tak mau badannya panas. Ia memang agak sensitif kalau terlalu sering memakan makanan dingin seperti es krim atau meminum minuman dingin. Kalau membeli air mineral saja lebih sering membeli yang tidak dingin dengan pertimbangan tenggorokannya. Usai solat Zuhur, keduanya berangkat. Tentu sana berjalan kaki di siang hari menuju masjid Abdul Samad dan sekitarnya. Sebetulnya ada banyak tempat wisata yang bisa dijelajahi keduanya ketika berada di Kuala Lumpur. Misalnya Batu Caves. Jaraknya sekitar 11 kilometer ke utara Kuala Lumpur. Di dalamnya ada patung yang berumur 100 tahun dan gua-gua yang bisa kamu jelajahi. Ada pula Art Gallery Cave dan Museum Cave yang memiliki banyak koleksi patung dan lukisan. Guanya sendiri sudah berumur kurang lebih 400 juta tahun. Tapi keduanya tak berminat untuk datang ke sana. Selain karena lokasinya memang agak jauh dari Kuala Lumpur. Mereka hanya ingin bermain di sekitar Kuala Lumpur saja. Selain itu ada KL Tower. Tingginya 421 meter dan merupakan bangunan tertinggi nomor lima di dunia. Lokasinya berada di Bukit Nanas Forest Reserve, bangunan ini berdiri di tengah-tengah hutan Jelutong. Tapi sayangnya, harga tiket masuknya cukup mahal untuk gembel-gembel packer seperti mereka. Dengan 105 ringgit mereka bisa membeli banyak oleh-oleh. Jadi untuk efisiensi biaya, mereka lebih memilih spot-spot wisata yang bagus dan gratis. Hihihi. Ada Chinatown dan juga Central Market. Lokasi keduanya tak begitu jauh. Mereka berencana akan ke sana besok pagi sekalian membeli oleh-oleh di Central Market. Lokasi Chinatown tepat di jantung Kuala Lumpur, tepatnya di Jalan Petaling yang juga dikenal sebagai 'Chee Cheong Kai'. Area pecinan ini tak pernah sepi, bahkan lebih ramai dari KLCC atau Bukit Bintang. Pecinan di sini dipenuhi tempat belanja dan pusat budaya. Ada banyak penjual Chinese food dan kerajinan khas pecinan. Ada pula kelenteng Sri Mahamariamman yang didirikan pada 1873. Kalau dihitung, umurnya lebih dari 100 tahun. Sementara Central Market berdiri sejak 1928, pasar ini memiliki suasana yang menyenangkan. Banyak pedagang yang menjual suvenir, Central Market disebut juga Pasar Seni. Ada busana tradisional, kerajinan tangan, dan lain-lain. Gak cuma itu, ada pula restoran dan food court yang menyajikan hidangan Asia. Salah satunya adalah restoran Yusoof dan Zakhir yang menjual aneka menu India. Khanza tertarik untuk berangkat ke sana karena porsinya besar. Hihihi. "Naik kereta lagi?" tanya Khanza. Rissa mengangguk. "Nanti kita turun di Masjid Jameknya. Gak jauh sih kayaknya. Hanya tiga menit kalau jalan kaki." Khanza mengangguk-angguk. Ia berharap hari ini agak lengang. Tapi ternyata tidak lengang-lengang amat. Setidaknya mereka masih bisa duduk di dalam kereta. Lalu turun begitu tiba di stasiun tujuan. "Jalan ke sini," tutur Rissa. Ia yang memandu jalan kali ini. Keduanya menyebrang jalan. "Kayaknya gak perlu liat hape deh," tuturnya. Kening Khanza mengerut menatapnya. "Yang pada jalan di sini pasti mau ke sana juga," tuturnya tang membaut Khanza melihat sekitar. Ya benar juga. Mereka bisa membedakan mana yang sedang berlibur dan memang warga lokal di sini. Logat bicaranya tentu saja berbeda. Bahkan mendengar suara orang-orang Indonesia sudah sangat sering mereka jumpai sejak di Singapura. Khanza menghela nafas. Ia melirik ponselnya yang kali ini tentu saja ada paket internet. Namun sayangnya, kosong. Tak ada pesan apapun hingga ponselnya pun hanya hening. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD