Gantungan Harapan

2937 Words
Usai solat Ashar, Rissa susah berkeliaran lagi mengelilingi masjid Jamek Sultan Abdul Samad yang ada di sekitar Sultan Abdul Samad Building. Tadi mereka sudah menghabiskan sesi foto di sana lalu melanjutkan solat Ashar di masjidnya. Sultan Abdul Samad Building adalah sebuah gedung yang terletak di Kuala Lumpur, Malaysia, tepatnya di depan Dataran Merdeka. Gedung ini dibangun pada akhir abad ke-19 dan digunakan pertama kali sebagai kantor pemerintahan kolonial Britania Raya. Gedung ini memiliki sejarahnya tersendiri. Pada tahun 1974, beberapa tahun setelah kemerdekaan Malaysia, seluruh kantor pemerintahan negeri Selangor dipindahkan ke Shah Alam, sementara kantor pemerintahan Malaysia dipindahkan ke Jalan Duta, Damansara. Oleh karena itu, nama gedung ini berubah menjadi Gedung Sultan Abdul Samad berdasarkan nama Sultan Abdul Samad, Sultan Selangor yang menjabat pada masa pembangunan gedung ini. Nama tersebut digunakan hingga sekarang. Tampilannya tampak keren dan tentu saja tidak akan dilewatkan sebagai objek foto. Sayangnya, saat Khanza dan Rissa datang ke gedung ini, gedung ini sedang direnovasi. Jadi tak banyak spot-spot foto yang bisa diambil. Disaat Rissa sudah berkeliaran, Khanza justru masih terpekur di dalam masjid. Gadis itu akhirnya bertanya pada sahabatnya yang mengenalkan lelaki bernama Fajar itu padanya. Ia hanya bertanya bagaimana sekiranya kelanjutan perkenalan ini. Karena ia benar-benar tak paham bagaimana caranya ta'aruf dan pesan-pesan ini memang agak aneh sih. Maksudnya, tak seperti ta'aruf di dalam bayangannya. Waalaikumsalam. Nanti gue tanyain ya, Zaaa. Gue juga bingung sih sebetulnya. Tapi nanti gue bisa minta bantu suami gue juga. Gak apa-apa kan? Oke. Seperti biasa, jawaban singkat dari Khanza jika urusan sudah selesai. Ia sudah tenang sekarang dan bisa beranjak dari atas sajadah. Ponselnya bergetar saat Rissa menelepon. Gadis itu sudah berada di luar masjid dan mengambil foto-foto sendirian di sana. "Jadi ke kampus gak?" "Ayook!" sahutnya. Mumpung masih sore. Mereka masih sempat ke sana. Akhirnya, keduanya berjalan kembali menuju stasiun. Kurang dari lima menit tentunya sudah tiba di stasiun. Hanya perlu menunggu kereta saja. Pikiran Khanza sudah tenang hari ini. Yaah meski masih jelas menggantung tanpa harapan. Ia tak berani berharap karena takut kecewa. Namun ia juga tak bisa menampik kalau ingin kelancaran untuk hal ini. Mungkin karena ini untuk pertama kalinya. Kalau membahas urusan asmaranya yang jauh di belakang dan memutar semua hal itu, ia sudah tak ingin mengingatnya. Pun sang mantan yang masih berbekas dalam ingatan. Bukan berarti ia belum move on loh. Mungkin karena itu mantan terindah. Eaak! Tapi kalau yang dinamakan terindah itu seharusnya tak pernah menjadi mantan bukan? Karena mantan ya mantan. Kalau terindah, kenapa hanya sebatas menjadi mantan dan kenangan? Kenapa tidak dijadikan pasangan masa depan saja. Iya kan? Aaah ruwet kalau memikirkan itu. Ia tak suka berpikir yang rumit. Jika hidup bisa dijalani dengan santai kenapa harus mencari jalan yang sulit? Tapi begitu lah pola pikir manusia yang tak bisa ditebak. Sementara Rissa? Khanza menoleh ke arah Rissa yang tampak memejamkan mata. Ia tak tahu apa yang sedang dipikirkan Rissa karena ia tentunya tak bisa membaca pikiran orang lain. Jika Khanza sibuk dengan pikirannya tentang seseorang yang jauh di sana dan entah apa kabarnya. Kalau Rissa? Sibuk memikirkan prioritas hidup. Ia ingin melanjutkan S2 sesegera mungkin dan mengejar mimpi menjadi peneliti sekaligus dosen. Ia juga sibuk berpikir tentang hal-hal apalagi yang bisa ia lakukan di dalam hidup untuk dunia dan akhiratnya. Ia tak tahu masa depan seperti apa yang akan terjadi padanya. Tapi ia akan berusaha sekeras mungkin agar hidupnya dan keluarganya nanti tak sulit. Meski yaa yang namanya hidup itu tidak akan pernah ada yang ideal. Karena seperti roda yang berputar, maka jejak kehidupan juga sama. Kadang berada di atas dan dengan di posisi itu, Tuhan sedang mengajarkan hamba-Nya untuk sering-sering bersyukur dan melihat ke bawah. Karena setidaknya ia lebih beruntung dalam hidup. Dan ketika berputar lagi, hidup bisa saja berada di bawah namun Tuhan mengajarkan untuk tak sering melihat ke atas. Karena apa? Takutnya membuat kita lupa diri hingga mengeluh pada Tuhan betapa tidak adilnya hidup yang diberikan. Padahal pada posisi itu, biasanya lebih banyak kedekatan hamba pada Allah. Karena ketika ia tak memiliki apapun, ia diuji dan diharuskan meminta kepada-Nya. Lantas apakah sulit menjadi manusia yang bersyukur? Khanza akui iya. Ia tidak mau munafik. Menjadi manusia baik secara terus-menerus pun sulit. Karena apa? Karena yaa manusiawi. Manusia memang seperti itu. Roda saja terus berputar apalagi sikap manusia? Bisa berubah-ubah. Ada kekhawatiran juga dibenak Khanza jika suatu saat bertemu dengan seorang lelaki yang akan menjadi jodohnya. Sikapnya di awal mungkin baik. Tapi penilaian awal itu sangat bias. Karena segala kekurangan tak akan terlihat. Apalagi jika sedang cinta-cintanya. Maka ada orang yang menganjurkan untuk mendengar pendapat orang lain seperti orangtua atau saudara terkait pilihan kita. Karena mereka bisa jadi lebih peka. Orangtua juga lebih lama hidup dari pada kita. Lebih banyak pengalaman hidupnya dan mampu menilai lebih banyak orang. Bisa saja ada yang tersembunyi meski baru pertama kali bertemu namun langsung terlihat oleh mata mereka. Iya kan? "Hampir sampai," tukas Rissa yang menyadarkannya dari lamunan panjang tentang hidup dan tak akan pernah ada habisnya. Ia membuka mata lalu segera beranjak turun. Rissa bertanya di mana pintu keluar agar bisa ke University of Malaya pada petugas. Setelah mendapatkan jawabannya, keduanya berjalan menuju pintu. "Katanya dari sini bisa naik bis gitu, Za. Mana ya?" "Jajan bentar deh," ajak Khanza yang malah kehilangan fokus setiap ada minimarket. Rissa mengikuti langkahnya. Keduanya memang hobi jajan di tempat-tempat sejenis Seven Eleven, Alfamart atau Indomaret. Namun khusus di luar negeri, mereka sengaja mampir untuk membeli jajanan Malaysia yang tidak ada di Indonesia. Khanza sibuk membeli kopi dan minuman dingin. Ia tak pernah melewatkan itu. Ia juga mengambil minuman kaleng dan beberapa jenis cemilan. Perut mereka lumayan lapar. Terakhir makan sepertinya tadi pagi. Namun mereka lebih banyak membeli cemilan seperti ini hingga akhirnya malas makan berat. Setelah jajan cemilan, keduanya bertanya lagi di mana bisa menaiki bus menuju kampus. Salah satu petugas yang berdiri di pintu keluar stasiun pun menunjuk bus di depan mereka. Rissa kembali bertanya pada supir untuk memastikan. Mereka hanya membayar 1,5 ringgit saja untuk menaiki bus ini. "Mirip bikun ya," tutur Khanza. Penampilannya seperti bikun tua yang ada di kampus mereka. Rissa mengangguk-angguk sambil terkekeh-kekeh kecil. Merasa lucu dengan suasana di dalam bus. Bikun adalah kepanjangan dari bis kuning. Itu adalah bis kampus yang legendaris di UI. Bedanya dengan di sini, siapa saja bisa naik bikun dan tak perlu membayar. Hampir setiap lima hingga sepuluh menit, bikun selalu muncul. Mungkin ini juga sama. Saat bus mulai berjalan, keduanya tampak senang. Yeaah perjalanan ke kampus orang adalah hal yang paling menyenangkan. Rissa juga punya impian agar bisa melanjutkan kuliah di sini. Tapi Khanza tak begitu percaya. Hahaha. Ia tahu kalau Rissa kadang suka berubah pikiran. Jadi ketika ia sedang menyukai sesuatu, Khanza tak mau pusing memikirkannya. Biar kan saja Rissa ribut dengan hidupnya sendiri. Sementara ia masih konsisten dengan Hokkaido yang menjadi tujuan kampusnya. Ia sangat menyukai negara Jepang dan berharap kalau suatu saat nanti akan bisa ke sana. Entah sebagai mahasiswa atau tidak yaa terserah lah. "Woow udah masuk!" Rissa masih heboh. Khanza melirik ke arah jendela. Ia melihat nama-nama fakultas yang agak aneh. Rissa pun tampak terkekeh kecil. Namanya tentu saja menggunakan bahasa melayu. Tapi tak seperti bahasa melayu yang biasanya mereka sering gunakan. Bahasa melayu dalam nama-nama fakultas itu benar-benar asing. "Ilmu puncha kemajuan." Rissa membaca motto kampus itu. Ia sebetulnya sudah terperangah sejak masuk tadi. Mulai dari gerbang kampus, yang yaah bisa dibilang sama dengan saat masuk kampus UI. Tapi tadi langsung terlihat masjidnya. Kalau masjid kampus UI kan masih masuk lagi ke dalam. Letaknya dekat danau dan bersebrangan dengan perpustakaan terbesar di Asia Tenggara. "Lo tahu motto kampus kita?" tanya Rissa yang iseng. Khanza tertawa. Ia bahkan tak ingat. Pasti pernah mendengar tapi yaa lupa. "Kita mau turun di mana?" tanya Khanza. Pasalnya bus kampus yang mereka tumpangi sudah mulai sepi. Tadi banyak mahasiswa yang sudah turun. Mereka menggunakan kartu tanda mahasiswa untuk naik bus jadi tak perlu membayar mungkin. Khanza juga tak yakin apakah ini gratis untuk mahasiswa atau tidak. Tapi seharusnya gratis. "Di IPA aja." Rissa sudah punya tujuan tersendiri ketika memutuskan untuk memasukan kampus ini sebagai salah satu tujuan wisata mereka hari ini. Tentunya untuk melihat fakultas di mana buruan yanh Rissa minati. Ia berniat memperdalam Ilmu Lingkungan di kampus ini. Menilik mata kuliah dan kurikulumnya yang sangat bagus. Namun siapa saja bisa berubah pikiran bukan? Ini hanya sekedar rencana Rissa sebagai seorang manusia saja. Khanza juga tertarik saat melihat daftar mata kuliah yang brosurnya mereka lihat di salah stau papan mading fakultas. Keduanya sudah turun dari bus sejak tadi dan sudah berjalan-jalan memasuki kampus. Suasana kampus tentu saja sepi. Mungkin karena masih masuk jadwal liburan. Tapi ada kemungkinan banyak mahasiswa tingkat akhir juga yang berada di sini. "Kayak di UI ya? Maksudnya ada danau juga. Tampilannya sama persis lagi." Khanza terkekeh. Ya memang benar. Keduanya masih berjalan di sekitar fakultas IPA atau Ilmu Pengetahuan Alam. Setelah itu, keduanya bergerak berjalan-jalan di sekitar gedung fakultas. Ada beberapa institusi juga di sini, seperti Institute for Advances Studies, Asia-Europe Institute, Institute of China Studies, Institute of Educational Leadership, dan International Institute of Public Policy & Management (INPUMA). Ketika mereka melihat-lihat isi kampus, tanpa disadari keduanya sibuk membanding-bandingkan kampus mereka dengan kampus ini. Tentu saja berbeda. Tapi suasananya benar-benar membuat Khanza seperti berada di sekitar danau UI. Keduanya memutuskan untuk berjalan kaki saja dari fakultas IPA menuju stasiun. Selain karena tak melihat adanya bus tadi yang berkeliaran. Tadi sopirnya juga sudah memberikan informasi kalau busnya tidak lama beroperasi menilik hari libur. "Itu perpusnya tuh." Rissa menunjuk gedung bercat merah dan putih itu. Gedungnya tinggi, mengingatkan Khanza pada bentuk Istana Presiden Indonesia. Lalu ia terkekeh kecil sendiri. Maksudnya hanya bagian depannya saja. Meski mungkin gedungnya tidak se-modern gedung perpustakaan di kampus mereka, tapi ini ikonik. Meski tampak seperti gedung lama, sepertinya gedung ini masih kokoh. Terlihat juga beberapa mahasiswa yang duduk di kursi-kursi dekat gedung. Mereka sibuk dengan laptopnya dan teman-teman di dekatnya. Membuat Khanza merindukan suasana kampus. Tapi ia tak berharap akan kembali secepat mungkin. Meski yah lusa nanti mereka sudah dipastikan akan segera pulang ke Indonesia. Perjalanan ini terasa singkat meski banyak yang berbekas pada ingatannya. Apalagi ingatan menggembel semalaman di negara orang. Kedengarannya menyenangkan tapi sesungguhnya membuat was-was juga. Yaa siapa yang tak khawatir berada di luar apalagi bukan di negara sendiri. Mana mereka betul-betul hanya berdua dan sok berani. Tapi kalau boleh menguji nyali, Khanza berani kalau datang sendirian ke sini lagi. Hihihi. Kurang dari satu jam, keduanya sudah kembali ke stasiun Universiti. Rencananya akan kembali ke hotel. Tapi saat Rissa mengajaknya kembali ke sekitar masjid Jamek Sultan Abdul Samad, Khanza langsung menyetujuinya. Berhubung tak banyak penjaja makanan di sekitar hotel mereka, ah lebih tepatnya mereka yang tak banyak tahu, mereka berniat mampir ke KFC untuk membeli makanan di sana. Yeah sekali Magrib dan Isya di sana. Rissa bilang 'nanggung' kalau hanya solat Magrib di sana. Mereka tiba tepat azan Magrib lalu berlarian menuju tempat wudhu. Siapa tahu masih bisa mengejar solat berjamaah. Usai solat, keduanya kembali ke luar dari masjid dan terpesona dengan pemandangan eksotis pada malam hari di masjid ini. Lampu biru di pinggiran sungai tepat di depan masjid, memberikan warna yang memantul pada air dengan sangat cantik. Pemdangan bagian depannya juga sangat cantik karena lampu-lampu berwarna biru itu. Khanza sibuk mengambil beberapa foto dari Rissa yang memang suka diambil foto punggung. Gaya punggung saat ini menjadi tren tersendiri baginya dibandingkan mengambil foto bagian depannya tubuh. Ah ya, Masjid Jamek Sultan Abdul Samad adalah salah satu masjid tertua di Kuala Lumpur. Masjid ini dibangun oleh pedagang-pedagang Islam yang berasal dari India di persimpangan Sungai Klang dan Sungai Gombak, pada zaman penjajahan Britania. Saat hendak masuk ke sini pertama kali, Khanza melihat penampilannya seperti Masjid Nabawi padahal bukan. Masjid ini juga memiliki arsitektur yang terinspirasi dari gaya bangunan Moorish dan Mughal India. Masjid yang berdiri sejak tahun 1909 ini didominasi warna merah bata dan putih, memiliki 2 menara dan 3 kubah. Seperti masjid kebanyakan, interior masjid juga didominasi warna putih. Meski terlihat tidak terlalu besar tapi masjid ini mampu menampung hingga 1000 jamaah. Saat membaca sejarah masjid, Khanza jadi paham kenapa bentuknya agak asing. Maksudnya tak seperti yang ada di Indonesia. Mungkin karena masjid ini terinspirasi dari Moorish dan Mughal India, jadi jarang ditemui di Indonesia. Selesai berfoto ria, keduanya kembali berjalan keluar dari masjid. Saat hendak mampir ke KFC.... "Astagaa! Bukannya kita mau ke Alor!" seru Rissa. Ia hampir menepuk keningnya. Khanza juga terkaget dan baru ingat dengan rencana itu. Akhirnya keduanya berlari ke arah stasiun Masjid Jamek sambilt terkikik-kikik. @@@ "Untung ingat. Kalau gak, gue kayak berasa de javu makan di KFC malem-malem. Gak ada bedanya dengan di Depok," celoteh Khanza yang membuat Rissa tertawa. Keduanya berjalan menuju Alor dengan turun di Stasiun Bukit Bintang. Kebetulan memang lokasinya tak begitu jauh dari hotel. Dan saat tiba di sekitar jalanan Alor, keduanya terperangah. Saking banyaknya orang yang berada di sini. Padahal di masjid tadi juga ramai. Tapi ia tak melihat banyak bule. Kalau di sini, Rissa sampai geleng-geleng kepala. Mana terdengar suara seperti musik-musik di diskotik. Sepertinya lokasinya tak begitu jauh dengan hiburan malam. Jika Rissa sibuk menelaah bagaimana suasana di Alor, Khanza justru sudah tenggelam ke berbagai jenis makanan di kiri dan kanan. Ia sampai tak tahu harus memilih makan apa. Ingin mencoba semuanya tapi mengingat dana yang terbatas, ia juga harus memikirkan lebih dalam jenis makanan yang benar-benar ingin ia makan. Selain itu, kapasitas perutnya memang besar tapi tidak seprti gentong air tentunya. Bagaimana pun ia hanya lah manusia biasa. Meski dari segi porsi dan frekuensi, ia akui kalau ia memang lebih banyak makan dibandingkan dengan Rissa. "Sate! Sate!" Ia sudah melihat berbagai jenis seafood yang ditusuk. Ada cumi, ada udang, ada gurita. Waaw! Ia rindu makanan seperti ini karena di Jakarta, harganya lumayan mahal. Di sini? Yaaa setidaknya bisa dibeli per tusuk bukan per kiloan seperti yang ada di Jakarta. Atau ia yang kurang main jauhnya? Bisa jadi. Usai membeli sate-sate berbagai seafood, keduanya berjalan lagi. Rissa juga membeli tom yum yang halal di sini. Meski tom yam adalah makanan khas Thailand, di sini juga banyak yang menjualnya. Ada berbagai jenis makanan yang a da di sini, mulai dari khas Melayu, khas India, Turki, China, Thailand hingga Singapore. Singapore dan Thailand tidak akan menjadi pertanyaan kenapa jenis makanan dari kedua negara tersebut bisa berada di sini. Karena ya kedua negara kan berbatasan. Kalau China? Negara mana pun pasti ada orang China. Coba cari daftar negara yang tidak ada orang China. Minimal satu orang China pasti ada di sebuah negara. Kalau Turki? Yeah seperti China, makanan Turki juga sudah mengglobal meski jumlah penduduknya di negara-negara lain tak begitu banyak. Kalau India? Nah komposisi penduduk di Malaysia ini sama dengan Singapore. Ada orang-orang Melayu, ada India dan ada China di kedua negara ini. Hanya berbeda proporsinya saja. Bahkan di kedua negara ini, ada yang dinamakan little India. Maksudnya suatu daerah di mana isinya orang-orang atau turunan India dan itu juga dijadikan sebagai salah satu tempat wisata. Hal ini membuat Khanza bertanya-tanya. Kalau di Indonesia, little India ada di kota mana ya? "Coconut ice cream!" Khanza terkekeh. Mereka berlari ke arah juragan es krim itu laku membelinya satu dengan patungan. Keduanya membeli cukup banyak makanan lalu membawanya pulang alih-alih dimakan di sana. Selain bingung di mana mereka harus duduk. Akhirnya, keduanya berjalan pulang dengan menggunakan GPS untuk tiba di hotel. Terasa lama sekali mereka mengelilingi jalan Alor yang berisi surga makanan itu hingga tak sadar kalau mereka tiba di hotel tepat jam sebelas malam. "Kita ngapain aja sih?" Khanza tertawa. Ia juga tak ingat. Seingatnya, usai Magrib tadi mereka bergegas ke KFC lalu malah kembali ke stasiun. Solat Isya pun belum. Tapi begitu tiba di hotel, keduanya malah makan dulu. Ye lah, mereka hanya makan berat di pagi hari. Meski banyak bercemil ria di siang hari tapi yang namanya perut Indonesia kalau belum makan nasi ya namanya belum makan. Hihihi. "Ada tempat bagus lagi gak sih buat disambangin sama kita?" Khanza tampak berpikir. "KL Tower?" Oh. Rissa mengangguk-angguk. "Yang ada Sky Box di sana kan?" "Sky Box apaan?" Rissa terkekeh. "Sky Box itu sebuah ruangan berbentuk kubus yang menjorok dari bagian luar KL Tower. Terus secara keseluruhan Sky Box dibuat dari bahan kaca tebal transparan, sehingga kita dapat melihat langsung pemandangan sekelilingnya, termasuk di bawahnya. Ngeri sih gue ngabayanginnya. Terasa mau jatoh." Khanza terbahak. Ia jadi ingat betapa traumanya Rissa saat melintasi jembatan goyang dan gadis itu menangis. Benar-benar menangis. Ia tak pernah bisa melupakan hal itu saking lucunya. "Lagian mahal juga harganya tiket masuknya." "Ya udah. Gak usah ngomongin kalo begitu." Risaa terrawa. Usai makan, Rissa bergerak mandi. Sementara Khanza sibuk membersihkan sisa makanan yang barangkali tumpah. Sejak kemarin, keduanya terkaget-kaget saat tiba di kamar hotel. Karena saat mereka pergi, kamar sangat berantakan tapi saat kembali sudah bersih. Tahu kalau ada yang membersihkan, keduanya berinisiatif untuk lebih rapi pagi tadi. Malu juga kalau yang membersihkan tahu jika ada dua gadis yang menginap di sini tapi tampilan kamarnya lebih parah dari kapal pecah sekalipun. Usai mandi, Khanza melihat Rissa sudah berkemul di bawah selimut. Ia pasti lelah. Khanza juga sama. Lalu tangannya tergerak untuk menaikkan sedikit suhu kamar. Bukan karena Rissa yang tak bisa tidur kalau kedinginan. Tapi saat mereka tiba di kamar tadi, keduanya kepanasan. Maklum lah, seharian berjalan-jalan dan belum mandi sore sama sekali. Tidak seperti Rissa, Khanza malah membuka selimut. Ia mungkin berkulit tebal? Hihihi. Jadi dingin ini tak begitu menusuk. Sebelum memejamkan mata, ia bahkan masih sempat membuka ponselnya tapi belum ada kabar lagi dari sahabatnya. Ia menghela nafas. Setelah hampir seharian di luar dan ia lupa dengan apa yang terjadi dengan perasaannya, kini ia mulai gelisah lagi. Menunggu kabar yang digantung harapannya di atas langit sana. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD