Gadis-Gadis Busuk

2784 Words
Apa yang diharapkan perempuan pada seorang lelaki? "Romantis?" Khanza tertawa saat mendengar ucapan itu keluar dari mulut Rissa. "Tapi gak semua cowok bisa bersikap romantis sih." "Itu lo tahu." "Ya gue gak berharap bakal dapat yang kayak gitu juga." Lalu ia berdeham. "Menurut lo gue romantis?" Khanza tertawa. Ia mengendikan bahu. Karena tak pernah melihat Rissa dengan satu lelaki pun, dalam artian bersikap romantis pada seorang lelaki, jadi ia mana tahu apakah Rissa tergolong romantis atau tidak. Meski dengan percaya diri, Rissa mematri diri sebagai seorang perempuan yang romantis. Kenapa ia menyebut dirinya seperti itu? Entah lah. Ia tak mau mengenang hal yang sudah berlalu. Hidup memang harus terus maju ke depan. "Tapi gue sendiri udah gak punya bayangan cowok harus begini dan begitu. Dalam artian, perlakuannya ke gue. Pikiran gue sekarang lebih serius. Kalau ada cowok soleh, bertanggung jawab dan pekerja cerdas, rasanya sudah terlalu cukup untuk hidup gue yang serba kurang. Ya lo tahu lah, meskipun gue hidup masih bergantung sama orangtua, tapi setidaknya gue berusaha untuk tak terlalu menyusahkan mereka." Khanza mengangguk-angguk. Ia juga berpikir hal yang sama. Meski mungkin akan berbeda. Sebagai anak tunggal dan memiliki orangtua yang berkecukupan, ia tak merasa ada beban seperti yang Rissa pikul sebagai seorang anak. Mungkin tidak terlalu berat kalau berbicara ada saudara juga yang harus dibantu. "Rencana abis kuliah berarti kerja?" "Ya? Apalagi? Kalo gue macem-macem yang ada gue disepak." Khanza tertawa. Meski setelahnya ia mengangguk-angguk. "Gue pengen banget ke Jepang." "Nabung dulu berarti." Khanza mengangguk-angguk. "Kalau gaji gue di bawah lima juta akan berat sih itu." Khanza tertawa. "Biasanya lo optimis?" "Mungkin kita bisa menggembel di sana. Tapi yang gue pikirin adalah ada tanggung jawab lain. Gue kan gak bisa lepas tangan dari persoalan rumah. Dan lagi, gue juga pengen ikut les, pengen ambil tes dan ngejar beasiswa lagi." Khanza mengangguk-angguk. Ia juga sama. Tapi rencana terdekat setelah lulus ya hanya satu, yaitu bekerja. Orangtuanya pasti sudah bosan melihatnya hanya di rumah. Meski kali ini, ia sengaja jarang pulang ke rumahs semenjak berkuliah di Depok. "Nikah kapan?" Rissa mendengus. "Nanya itu lagi." Khanza terkekeh. Wajah Rissa berubah serius. "Kalo gue sih gak matokin ya. Nikah muda? Siapa sih yang gak pengen. Tapi kalau emang belum rejekinya dan menurut Allah, bukan waktu terbaik juga untuk gue, ya udah. Lebih baik gue mengerjakan hal-hal lain yang lebih penting. Masa depan gue dan akhirnya gue rasa-rasanya lebih penting dari pada hanya sekedar mikir kapan nikah. Gue gak tahu apakah gur mati dulu atau nikah dulu. Itu jelas pertanyaan yang gak bisa dijawab siapa pun." "Gue juga sih. Tapi kalau bisa gak tua-tua amat lah. Sewajarnya cewek. Maksimal 25 atau 26 kali ya?" "Itu tinggal beberapa tahun berarti." Khanza tertawa. "Sekalipun gak matokin, lo pasti punya rencana setidaknya kan?" Rissa mengendikan bahu. Tak benar-benar yakin. "Gue hanya takut. Ketika mematokan sesuatu dan Allah tidak mengabulkan lalu gue kecewa. Gue tahu kalau jalan itu mungkin yang terbaik. Tapi yang namanya manusia, takut kecewa juga wajar. Jadi ya gue hanya pasrahkan saja sama Allah." Khanza mengangguk-angguk. Ya memang harus begitu pikirnya. Lalu memejamkan mata usai pembicaraan panjang tentang jodoh yang tak habis-habis. Siapa sih yang tak mau bertemu jodoh? Siapa yanh tak mau menikah? Perempuan atau laki-laki yang sudah berumur empat puluh hingga lima puluhan juga.mungkin masih berharap mendapatkan jodoh. Ya kan? "Dan gue gak mau sih, menikah hanya karena umur udah sekian. Karena itu seolah menganggap pernikahan itu dengan terpaksa. Bukan dengan niat dari hati. Karena pernikahan memang ibadah. Tapi di dalam pernikahan itu ada janji dua insan pada Allah. Itu tanggung jawab yanh berat. Apalagi dengan kehadiran anak. Gue gak kepengen menjadi seorang istri atau ibu yang biasa-biasa untuk mereka. Gue kepengen jadi yang terbaik untuk mereka. Maka itu, gue pasrah kan pada Allah. Kapanpun waktu terbaik itu, gue akan sabar dan menerima. Dan disaat menunggu itu lah, gue akan terus memperbaiki diri dan hidup gue. Karena jodoh kan cerminan. Meski kita gak tahu cerminan mana yang dipakai Allah dalam menjodohkan dua insan menjadi satu garis takdir yang sama." Khanza menguap. Ia sudah mengantuk. Meski pembicaraan ini terus terulang, ia tak pernah bosan. Ketika membicarakan hidup dengan Rissa, ia belajar banyak hal. Hidup memang tidak ada yang mudah. Semua orang yang menjalani hidup harus kerja keras. Dan apakah ia sudah merasa bekerja keras? Untuk saat ini iya. Tapi dengan porsi yang sesuai dengannya. Tugasnya sebagai anak adalah bekerja keras hingga nanti bisa lulus tepat waktu dan cepat. Membanggakan kedua orangtua. Lalu mencari pekerjaan yang bagus, agar tidak menyusahkan mereka lagi. Barangkali bisa membantu mereka juga. Karena ini lah impiannya saat ini. "Selama ini, gue ngerasa hidup juga gak mudah. Kenangan masa kecil hingga masa sekolah. Perjuangan masuk UI dan berada di tempat sekarang. Gue salut pada diri gue sendiri." Rissa terkekeh. "Iya lah, lo patut bangga. Karena gak semua orang bisa mendapatkan kesempatan seperti kita. Ini kayak satu dari sekian ribu orang yang ingin berada di posisi kita. Gak gampang. Penuh perjuangan. Orang lain mungkin hanya akan melihat dari luar dan bukan perjuangan saat kita berusaha keluar dari kesulitan yang dilihat. Tapi kenyamanan hidup yang mungkin mereka tak pernah tahu bagaimana susahnya kita saat mau masuk ke sini. Saat mau memperjuangkan hidup kita sendiri." "Kira-kira apalagi yang akan kita hadapi?" Rissa mengendikan bahu. Ia tak pernah tahu. Ujian hidup terasa panjang dan kesenangan terasa sebentar. Mungkin ia yang kurang bersyukur akan hal itu atau terlalu senang akan sesuatu hingga melewatkan kesempatan. "Mungkin akan susah lagi atau senang? Yang jelas keduanya adalah ujian. Kita sering lupa akan hal itu dan hanya menganggap kesenangan adalah kesenangan. Padahal Allah sedang menguji kita jika berada di posisi itu. Dia sedang menguji apakah kita akan ingat pada-Nya ketika berada di posisi itu? Dan jangan membenci-Nya ketika ditimpa ujian. Gue sedang berusaha untuk itu sih sebenarnya. Dan kalau dipikir-pikir, gue berada di titik ini pun karena kesusahan." Khanza terkekeh. Ya, ia juga merasakan hal yang sama. Meski mungkin, kesusahan yang mereka rasakan kelas berbeda. Karena setiap hamba memang diuji sesuai dengan kemampuannya masing-masing. @@@ Kepala Khanza terantuk saat sang sopir menginjak rem. Ia menguap. Rasanya belum tertidur lama. Tapi saat melihat jam di tangannya, ternyata sudah hampir jam empat pagi. Cepat sekali, pikirnya. Berarti sudah hampir sampai kah? Ia membuka matanya lebih lebar. Lalu melihat ke arah jendela. Ternyata Rissa sudah bangun. Gadis itu juga sedang melihat ke arah jalanan. "Welcome to Kuala Lumpur," tuturnya pelan. Khanza tersenyum kecil mendengarnya. "Eh baru mau gue bangunin," tuturnya kaget. Karena saat menoleh ke arah Khanza, temannya ini sudah bangun. "Bagus ya?" Rissa masih terperangah. Sepertinya ia akan jatuh cinta pada ibu kota negara ini. Padahal Malaysia ini dekat loh dengan Indonesia. Sangat dekat. Andai biaya hidupnya sama, Rissa akan nekad saja mengadu nasib di sini demi masa depan yang lebih baik. Karena mencari pekerjaan nanti pasti tidak mudah. Ia juga perlu belajar banyak. "Gue pernah kata-kata seorang Ustad. Beliau mengajarkan berdoa. Waktu itu ada yang bertanya, gimana caranya mengucap doa agar bisa dapat beasiswa ke luar negeri. Lalu kata Ustad-nya, ya minta saja. Seperti biasa. Katakan dengan kata-kata yang baik, misal 'Allah hamba ingin sekali kuliah di luar negeri tapi biayanya mahal ya Allah. Berhubung hamba tak punya apa-apa, hamba minta kepada-Mu. Karena Engkau lah satu-satunya yang bisa mengabulkan doa hamba.' Terus dia juga memberikan tips untuk tidak--" "Apa istimewanya?" Rissa terkekeh. "Gue belum bener-bener bangun kayaknya," ucapnya lantas ia menguap. Entah mimpi apa, ia masih mengantuk. Ya lelah juga sih. Mengingat perjalan dari setengah hari kemarin. Mereka berjalan cukup lama, menggembel di mana-mana. Khanza menggeleng-gelengkan kepala. "Bentar lagi kayaknya sampe TBS deh." "Ini lebih cepet dari perkiraan gue loh. Bahkan Subuh pun belom." Khanza mengangguk. Subuh pun masih dua jam lagi. "Tapi gue baca bisa tidur di sekitar mushola atau ya di mana aja pas nyampe TBS nanti. Kita ngemper aja kayak gembel-gembel di Jakarta." Khanza terkekeh. Ya kan mereka datang ke sini juga tampangnya gak kalah memelas kayak gembel. Saking harus mengirit uang perjalanan. Rissa sih berhemat agar bisa membeli banyak oleh-oleh untuk keluarga dan sahabat-sahabatnya. Kalau Khanza? Hanya ingin membeli makanan lebih banyak di Malaysia. Ia bahkan sudah membuat daftar makan yang ingin ia bawa pulang ke Indonesia. Meski nanti harus hati-hati. Siapa tahu apes dan malah diperiksa beacukai. Ia sendiri belum punya bayangan sih. Hanya melihatnya di beberapa video yang ada di internet. Beberapa menit kemudian mereka tiba di Terminal Bersepadu Selatan. Bus yang mereka tumpangi memang sudah agak menelan saat akan tiba di sini. Saat keluar dari bus, Khanza cukup terperangah. Karena gedung terminal ini sangat lah besar. Bahkan mungkin lebih besar dibandingkan dengan mall di Jakarta. Ia melihat eskalator yang langsung menyapa saya ia turun dari bus. Itu artinya, mereka akan naik ke atas. "Naik nih?" tanya Rissa. Ia takut salah. Ia salah berekspektasi ketika berada di sini. Ia kira terminalnya tidak akan sebagus ini. Ternyata.....ia hampir menggelengkan kepalanya. Takjub. "Keren ya? Beda sama di kita. Jadi malu gue." Khanza terkekeh. "Kalau Jakarta bisa dibikin keren, pasti gak kalah juga." Rissa mengangguk-angguk. Tapi saat tiba di lantai atas, keduanya semakin terperangah. Karena apa? Karena gedungnya benar-benar lebih besar dibanding saat dilihat dari luar. Sepertinya lebih besar pula dari sebuah bandara internasional. Ini terminal terkeren yang pernah ia lihat karena tampilannya sangat modern dan fasilitasnya juga lengkap. Ia melihat-lihat banyak loket tiket yang sudah otomatis bukan lagi manual di mana ada orang yang menjaganya. Terminal Bersepadu Selatan (TBS) melayani perjalanan bus antar kota dan antar negara dari Kuala Lumpur ke wilayah di sisi selatan Semenanjung Malaysia, seperti Melaka, Johor Bahru, Seremban, Muar, Tanjung Pahat, dan juga Singapura serta Thailand. Terminal Bersepadu Selatan atau Bandar Tasik Selatan ini terletak di sisi selatan pusat kota Kuala Lumpur. Berjarak sekitar 30-45 menit dengan taksi dari daerah Bukit Bintang (biaya sekitar 30-45 MYR) tergantung kondisi lalu lintas. "Banyak brosur!" "Mana-mana!" Lalu keduanya tertawa. Dari hotel di Singapura hingga masjid Sultan, mereka selalu membawa pulang brosur. Katanya untuk disimpan sebagai kenang-kenangan. Norak? Ya gak apa-apa dong. Suka-suka. Hihihi! "Ambil semua, siapa tahu perlu." Khanza mengangguk-angguk. Ia langsung mengambil dam memasukan semuanya. Lalu keduanya berjalan menuju salah satu petugas dan bertanya di mana keberadaan mushola. "Sumpah baru kali ini gue bertanya sama orang pas bangun tidur." Khanza terkekeh mendengarnya. Ia juga sangat nyenyak saat tidur di dalam bus tadi. Sama sekali tidak terganggu dengan perjalanan. Mungkin jalannya juga mulus karena mereka melewati tol. "Gue sebetulnya pengen deh mainnya gak cuma di Kuala Lumpur. Tapi karena kita baru pertama, belum berani-berani amat." "Mau ke mana lagi emangnya?" "Melaka. Banyak orang Indonesia yang juga ke sana. Gue baca-baca di blog-blog sih." Khanza mengangguk-angguk. "Nanti aja. Kalau ada rejeki lagi." "Mau ke sini lagi emangnya?" Khanza tertawa. "Kayaknya gue bakal lebih betah di sini." Rissa tertawa. "Gue juga sih. Baru sampe di sini aja udah terpesona. Duuuh. Gak ada orang sini yang mau nikahin gue apa ya?" Khanza terbahak. "Bangun-bangun! Mimpi mulu!" tuturnya lantas mengajak Rissa berjalan menuju mushola yang tadi diberitahu oleh petugas yang mereka tanya. "Kalo jadi nyata, gue ketawa duluan deh," tutur Rissa. Khanza makin kencang tertawa. Ini benar-benar lucu kalau sampai terjadi. "Gue pernah dengar ada yang bercerita karena saking sering menyebutnya, Allah sampe capek dengerinnya akhirnya dikabulin deh." Khanza terkekeh. "Itu udah jadi takdirnya keleus." "Gue tahu tapi esensinya bukan itu." "Gue tauuuk!" Rissa tertawa. "Soook tauuuk!" ledeknya lalu keduanya tertawa meski belum mencuci muka sama sekali. Rissa bahkan tak berani melihat wajahnya. Ia masih mengenakan cadarnya hingga detik ini sementara Khanza sudah lepas sejak perjalanan tiba di Johor Baru semalam. Mereka benar abal-abal. Mereka mengakuinya. Tapi kita kan tak pernah tahu bagaimana hidup ke depannya bukan? @@@ Dari depan Seven Eleven, mereka pindah ke depan mushola. Di dalam mushola, masih ramai dengan anak manusia yang juga menggembel. Tadinya, Khanza dan Rissa mengira kalau mushola akan sepi. Tapi ternyata perkiraan itu salah besar. Saat mendekati waktu Subuh, keduanya baru masuk ke dalam mushola. Tempatnya lumayan besar dan ada tempat wudhu yang sangat bersih. Mereka menumpang sikat gigi dan cuci muka di sana. Lalu bersiap-siap solat. "Nanti abis solat, tetep di sini?" tanya Khanza. "Kalau memungkinkan." Khanza mengangguk-angguk. Selama satu jam lebih tadi mereka duduk di depan Seven Eleven yang masih tutup bagai gembel. Tapi anehnya, keduanya malah tertawa dengan keadaan itu. Karena sesungguhnya perjalanan yang seperti ini lah yang lebih berkesan. "Tadi gue dengar logat Indonesia." "Kayaknya banyak sih. Entah ngegembel kayak kita juga atau mungkin yang pada kuliah di sini." Waah iya. Rissa mengangguk-angguk. Benar juga. "Solat woi solat," tegur Khanza. Rissa terkekeh kecil lantas memulai dengan solat Subuh. Usai solat, keduanya terpaksa keluar. Karena tadi ada petugas yang mengatakan untuk tidak tidur di sini karena banyak yang mau solat. Akhirnya keduanya duduk-duduk di lantai di luar mushola. Mushola lelaki dan perempuan tentunya terpisah. Tapi Rissa dan Khanza merasa nyaman di sini. Mungkin karena negara ini bisa dibilang mirip dengan Indonesia. Sangat-sangat mirip entah mulai dari sukunya, bahasanya dan tentu saja cuacanya. Ketika hampir jam tujuh pagi, Khanza beranjak. Ia mengintip ke arah mushola, sudah agak lengang. Lalu ia menepuk bahu Rissa. Mengajaknya masuk ke dalam mushola. Lalu mereka tetidur pulas. Saat bangun, Rissa menguap lebar. Ia melihat sudah jam sepuluh pagi. Kalau di Indonesia ya masih jam sembilan pagi. Perbedaan waktu hanya satu jam di sini. Sama dengan di Singapore. Khanza masih termenung. Bukan memikirkan sosok bernama Fajri yang kemarin-kemarin sempat menyemaraki ponselnya tapi hanya termenung saja. Tiba-tiba merasa bodoh sendiri karena saking lelahnya dengan perjalanan panjang ini. Ia tak menyangka kalau akan semelelahkan ini. Tapi melihat jam ditangan pun, jam check in hotel masih lama. Jam satu siang nanti mereka baru bisa masuk. "Mau langsung aja gak? Kita kan mau nyuci dulu." Khanza mengangguk-angguk. Ia setuju. "Gue cuci muka dulu deh," tuturnya. Rissa mengangguk-angguk saja. Ia biarkan Khanza beranjak untuk mencuci muka. Lalu tak lama, keduanya berjalan keluar dari mushola. Sejujurnya masih banyak yang tidur di dalam mushola sana. Mungkin mereka menunggu jadwal keberangkatan bus atau sama seperti mereka. Menunggu jam masuk hotel. Tapi berhubung mereka harus mencuci dulu, lebih baik langsung berangkat saja. Rissa sudah mencari self laundry di sekitar hotel mereka menginap. Tempatnya tak begitu jauh. Hanya berjalan kaki sedikit dari hotel. Harganya juga murah. Rissa juga sudah menyiapkan detergen agar tidak membeli di sana. Harganya tentu lebih murah kalau beli detergen di Indonesia. Itu adakah tips-tips hemat yang perlu ditiru. "Monoton banget ya? Begini doang udah sampe Kuala Lumpur. Gak ada kejadian apa gitu?" Khanza tertawa. Keduanya sedang duduk, menunggu kereta yang akan membawa mereka menuju daerah Bukit Bintang. Mereka tentunya akan menginap di sana. Ah ya, saat bertanya-tanya untuk membeli kartu kereta, Khanza dan Rissa sejujurnya bingung dengan banyaknya ragam transportasi di sini. Ya memang di Indonesia juga sudah banyak. Tapi rasanya yang di sini lebih banyak lagi. Secara umum, transportasi darat di ibu kota Malaysia terbagi menjadi dua. Yang pertama yaitu sarana transportasi berbasis rel. KL Monorail, LRT (Light Rapid Transit), KTM Komuter, dan KLIA Express/ KLIA Transit merupakan pilihan transportasi berbasis rel di Kuala Lumpur. Selain itu, ada juga MRT yang merupakan sarana transportasi umum andalan orang Malaysia. Sementara transportasi umum yang kedua yaitu transportasi berbasis bus. Terdapat dua jenis bis yang dapat dimanfaatkan jika pergi ke Kuala Lumpur. Bus tersebut adalah Rapid-KL dan Go-KL Keduanya dapat diandalkan untuk berkeliling Kuala Lumpur. Dan Khanza dengar-dengar naik Go-KL itu gratis. Hihihi. Mungkin nanti ia dan Rissa bisa mencobanya untuk menghemat pengeluaran uang transportasi. Meski jelas kalau berjalan-jalan di sini tentunya akan lebih murah dibandingkan dengan hidup di Singapore. "Ini satu kartu bisa untuk semua katanya." "Ye lah, kecuali kalau mau ke bandara." Khanza tertawa. Keduanya buru-buru berdiri saat KTM Komuter yang akan mereka tumpangi tiba. Tadi mereka juga melihat peta transportasi di Kuala Lumpur. Khanza bahkan mengambil satu untuk dipelajari. Sebab setelah ini, mereka akan berpindah. Seperti yang dikatakan petugas tadi. Untuk mencapai Bukit Bintang, mereka bisa pindah dengan naik monorail. Secara umum, Komuter yang mereka tumpangi sekarang tak jauh berbeda dengan commuterline di Indonesia. Namun Rissa agak menjaga jarak dengan orang-orang di sekitarnya. Karena... "Kenapa lu?" "Gak enak gue." "Kenapa gak enak." "Lu lihat mereka udah pada rapi. Kita kayak gembel begini," tuturnya dengan nada berbisik. Khanza menahan tawa. "Gue mundur juga deh." "Kenapa?" "Bau kayaknya. Entar kalau ada yang tutup hidung, gue tersinggung." Rissa terkikik-kikik. Itu sih sudah resiko. Mereka masih mengenakan baju kemarin kan? Rissa juga dengan gamis dan jaket yang sama. Makanya setelah ini, rasanya benar-benar ingin mandi. "Busuknya b***k due ni," tutur Rissa pelan dengan meniru logat Kak Ross dari serial Upin dan Ipin. Khanza terbahak mendengarnya. Tapi kemudian menutup mulutnya kuat-kuat. Meskipun tadi sudah menyikat gigi. Tak ada jaminan mulutnya tidak menyebar bau. "Gue bahkan takut megang hand strap-nya. Kalau ngangkat ketek dan nyebar bau itu jelas polusi udara." Khanza makin terbahak. Ia juga enggan berpegangan pada gantungan-gantungan tangan di atas itu dan lebih memilih memegang tiang kursi. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD