bc

Jodoh Is Calling

book_age4+
862
FOLLOW
4.6K
READ
love after marriage
friends to lovers
inspirational
drama
sweet
lighthearted
icy
spiritual
love at the first sight
shy
like
intro-logo
Blurb

Masing-masing orang punya cerita. Ia pun sama. Hanya saja, ia tak berharap harus ada pangeran kuda yang datang menjemputnya. Baginya cukup lah dia lelaki biasa tapi punya cinta yang luar biasa. Cinta itu bukan padanya sebagai prioritas utama. Melainkan cinta pada-Nya. Karena apa? Jika lelaki itu lebih mencintai-Nya, apalagi mencintainya yang hanya seorang hamba?

Jodoh...... is calling.

Jodoh yang sedang memanggilnya dalam doa-doa.

Jodoh yang sedang memperbaiki dirinya sebelum dijemput olehnya.

Jodoh yang sedang belajar tentang-Nya sebelum bertemu dengannya.

Jodoh......is calling.

Dia memanggil karena rindu.

Dia memanggil karena cintanya walau belum pernah bertemu.

Jodoh......is calling.

Dia berharap semoga lelaki yang ia sebut dalam setiap sujud di sepertiga malam dengan-Nya adalah lelaki yang terbaik untuknya menurut-Nya.

Dia.....Khanza.

Perempuan yang sedang beristikharah memanggil jodoh di dalam doa-doa cinta kepada-Nya.

chap-preview
Free preview
Tentang Nikah
Tiga tahun lalu. "Kalian kepikiran nikah gak sih?" Rissa hampir menyemburkan tawanya. Begitu pula dengan kedua sahabat perempuannya yang sedang tidur-tiduran di atas tempat tidur. Seperti biasa, urusan kampus beres, mereka berleha-leha sebentar sebelum memulai kegiatan lain. "Kuliah, Za!" seru Aira. Perempuan itu sedang berbaring sembari memainkan ponselnya. Biasa, memberi kabar pada pacarnya yang jauh di sana. "Emang lo udah mau?" Malah Haura yang bertanya. Perempuan itu bertanya dengan tidak serius-serius amat tapi Khanza menganggapnya dengan sangat serius. "Ya....diumur segini," tuturnya enteng. Rissa mengerutkan kening. Perempuan itu hanya menganggap apa yang diucapkan Khanza tadi sebagai ya.....angin lalu. Karena baginya ya, urusan menikah itu nanti. Urusan sekarang yang lebih penting ya kuliah. Ia juga perlu mengejar mimpi-mimpinya yang lama ia idamkan. Dan seingatnya....ya.....mungkin Khanza sama. Tapi obrolan ini..... "Selesain dulu woi kuliah woi!" sungut Aira yang membuat Rissa tertawa lantas geleng-geleng kepala. "Ya kan gak apa-apa mikir ke arah sana. Emangnya lu kagak mau nikah?" "Semua orang juga pengen, Za." Rissa mengangguk setuju. Tapi mungkin setiap orang punya prioritasnya masing-masing. "Gue abis lulus masih kepengen kerja dulu sih. Orangtua gue pengen setidaknya gue mandiri," tutur Aira. Dari tadi terlihat tak begitu serius menanggapi tapi sekarang wajahnya terlihat sangat serius. Matanya menatap langit-langit kamar Haura. "Terus pengen S2 juga dibidang hukum lingkungan gitu. Gue merasa kalo gue akan senang di bidang itu," tuturnya lantas menoleh ke arah Rissa. "Kalo lo, Ris?" "Gak usah tanya-tanya Rissa deh. Dia mah di keningnya udah jelas prioritasnya S2 abis lulus!" potong Haura yang membuat ketiganya tertawa. Rissa memonyongkan bibirnya. Ya kalau dipikir-pikir sih memang benar. Memang ada selintas pikiran untuk menikah namun memikirkan beban hidup, ia belum tertarik-tertarik amat. Sebagai anak pertama dikeluarga ia merasa berkewajiban untuk membantu keluarga. "Lah? Elo kagak?" lempar Aira. "Gue?" Haura menunjuk dadanya sendiri. "Kerja lah. Capek tauk kuliah mulu!" Aira terkekeh mendengar jawabannya. Ya mungkin ada benarnya. Urusan perkuliahan ini terasa lama sekali. Tak sabar ingin cepat lulus. Tapi, ia juga tak yakin apakah akan benar-benar lega setelah lulus nanti? Karena akan ada beban hidup baru yang pasti menanti. "Berarti Khanza pengen nikah nih abis lulus?" seru Aira. Khanza tertawa. Jangan kan abis lulus, dari sekarang juga ia sudah berpikir ke arah sana. Status sebagai mahasiswa kan tak menjadi salah satu persyaratan dalam pernikahan. Syarat nikah itu yaaa, yang paling utama menurutnya ada calonnya. Naah, ini permasalahannya. Calonnya aja belum ada. Ia hampir menepuk keningnya sendiri kalau ingat itu. "Seperti kata lo tadi, siapa pun pasti pengen nikah. Termasuk gue. Tapi gua sih gak memburunya juga. Yang penting menurut Allah itu yang terbaik. Kalo waktunya sekarang juga gak masalah. Kan gak ada korelasi kuliah sama nikah." Rissa mengangguk-angguk. Benar sih. Tidak ada korelasinya. Tapi ia tetap saja belum terpikir ke arah sana. Maksudnya, ia masih ingin melakukan banyak hal sebelum benar-benar menikah. Bukan kah itu hal wajar? "Gue seenggaknya ya tadi, kerja dulu kepengennya," tutur Haura. "Pengen lah nyenengin orangtua." Khanza mengangguk. Ya, anak mana sih yang tak mau menyenangkan orangtuanya? Pasti mau kan? Dan rasanya durhaka sekali kalau tidak melakukan itu. @@@ Kepalanya terantuk tiang kursi commuterline Jabodetabek. Ia tersadar ketika suara masinis mengumumkan bahwa Commuterline sudah tiba di Stasiun Universitas Indonesia. Alih-alih turun, ia memilih untuk berhenti di satu stasiun lagi, yaitu Stasiun Pondok Cina. Dari sana, akan lebih cepat sampai ke Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, di mana ia berkuliah. Bukannya lewat pintu belakang, ia malah memutar ke pintu depan saat keluar dari stasiun. Tujuannya? Itu loh abang-abang siomay langganannya. Perutnya lapar sekali sebelum masuk kuliah kali ini. Makanya ia berbelok ke arah kiri. Usai membeli siomay, ia menentengnya dan berjalan melintasi rel kereta api. Ia agak mempercepat langkahnya karena pintu palang yang hendak menutup jalan. Biasa lah, ada commuterline yang hendak melintas lagi. Ia kan tak mau tertabrak. Masih ingin hidup dan......masih mau menikah. Hihihi. Usai menyeberangi jalan di depan halte, ia berbelok ke kiri, memasuki jalan menuju gedung Rumpun Ilmu Kesehatan. Di sepanjang perjalanan ia melintas, ada banyak mahasiswa-mahasiswi kedokteran gigi yang berseliweran. Ia hanya melirik saja dan tetap fokus dengan tujuannya menuju ke kelas. Begitu hampir sampai di gedung fakultasnya, ia mulai melihat kepala-kepala dari teman-teman satu jurusannya yang bermunculan. Lalu tak lama..... "Khanza! Khanza! Khanza!" panggil seseorang. Heboh sekali. Ia menoleh dengan cuek lantas menemukan Rissa sedang duduk di lantai bersama beberapa teman lain yang satu peminatan dengannya di Kesehatan Lingkungan. "Kenapa?" tanyanya begitu mendekat. Ia sudah tiba di depan kelas tapi tampaknya kelas masih ada yang menggunakan. Ia hanya melirik sekilas ke arah kelas sebelum menghampiri Rissa yang heboh dengan ponselnya. "Ada tiket murah!" serunya. Kening Khanza mengerut. Ia berjalan lebih dekat hingga berdiri tepat di belakang Rissa. Gadis itu membalik badan dan menunjukan ponsel bututnya. "Tuh ke Singapore cuma 221 ribu, Za! Terus dari KL ke Jakarta cuma 489 ribu!" "Mana? Mana?" Khanza ikut heboh. Ia melihat tampilan salah satu situs penjualan tiket itu dengan berbinar. "Booking! Booking!" serunya. Dengan senang hati Rissa mem-booking tiket lalu membayarnya. "Tanggal berapa enaknya?" "Libur kuliah aja. Agustus! Gimana? Tinggal dua bulanan lagi tuh!" Rissa kembali berselancar. Melihat harga tiket yang ternyata tak berubah hingga dua bulan ke depan. Dengan cekatan ia mem-booking-nya. Tiket beres deh. Urusan berangkatnya nanti gampang deh. "Akhir Agustus kali ya? Kan pas tuh abis SP!" serunya. Khanza mengangguk-angguk saja. Setelah semester pendek, mereka masih punya waktu kosong sebelum akhirnya resmi masuk kuliah di tahun ajaran baru. "Ih parah! Jalan-jalan gak ajak-ajak!" sungut Aira. Perempuan itu baru tahu kabar heboh kedua orang ini membeli tiket pesawat saat sudah masuk ke dalam kelas. "Ya...elo kalo mau ikut, bikin lah paspor dulu. Gak ada passpor, gak bisa booking tiket brooo!" ledeknya. Rissa terkikik-kikik mendengarnya. Ia dan Khanza sih sudah lama bersekongkol untuk urusan jalan-jalan ini. Kalau Rissa kan sudah lama membuat paspor. Tapi baru sekarang punya waktu untuk jalan-jalan. Nah, kalau Khanza sih sudah ia desak-desak dari beberapa minggu lalu untuk membuat paspor hingga akhirnya paspornya selesai dan mereka bisa berangkat nanti. "Widiiih!" Hanya itu reaksi Haura saat Rissa memamerkan tiket pesawat yang ia beli. Awalnya gadis itu mengira kalau keduanya bercanda. Tapi setelah ia cek sendiri ternyata benar-benar sudah membeli dan membayar tiket itu. Ia geleng-geleng kepala. "Gue sih pengen tapi susah izin sama bokap," alasannya. Rissa hanya geleng-geleng kepala mendengarnya. Mereka sudah sedewasa ini saja terkadang masih dianggap anak-anak oleh orangtua. Ya, memang sih statusnya akan terus menjadi anak sampai kapan pun. "Ih pengeeeeen," tutur Aira. Sedari tadi juga gadis itu hanya bilang begitu. Khanza tertawa. Ia sih memang berniat untuk perjalanan ini. Yaa, hitung-hitung kan membuat kenangan sebelum menikah. Setelah menikah nanti, belum tentu bisa berjalan-jalan seperti ini. Iya kan? @@@ "Rasanya pengen nungging deh," tuturnya. Biasa, Rissa memang kadang suka bertingkah agak aneh. Tampangnya saja yang kalem tapi kelakuan kadang tidak wajar. Hihihi. "Nungging lah nungging sonooo," seru Haura. Gadis itu menendang-nendang p****t Rissa hingga Rissa menoleh dengan pelototan. Ia cekikikan. "Gak kerasa waktu cepet banget berlalu tauk!" tutur Aira. Khanza mengangguk-angguk. Setuju. Waktu memang sangat cepat berlalu. Apalagi kurang dari dua tahun, perkuliahan ini akan selesai. Dan mereka sudah akrab dalam waktu yang lama. Entah bagaimana akhirnya bisa jadi berempat begini, Khanza pun tak begitu ingat dengan jelas. Namun yaa selintas ingatannya mengenang memori kesibukan mereka dalam sebuah acara yang sama di kampus. Yang mengharuskan mereka bekerja sama. Ia sebagai sekretaris kala itu. Rissa sebagai bendahara. Aira sebagai koordinator acara. Haura? Sebagai salah satu penanggung jawab acara. Acara yang mereka kerjakan pun sudah selesai sejak akhir tahun lalu. Walau masih ada sisa dana acara yang masih menggantung. Mau diapakan? Ah Khanza baru ingat soal ini. "Dana acara kemarin sisa berapa, Ris?" Rissa menoleh. Ia juga baru ingat kalau itu masih ada direkeningnya. Ia jadi teringat saat membawa uang tunai sebanyak 45 juta rupiah dari kampus ketika malam hari. Hanya berdua dengan Khanza pula. Kalau sampai dicopet, bisa nangis darah. Tapi seperti biasa, dengan sablengnya, keduanya malah asyik nongkrong di Gramedia Depok dengan uang tunai itu sebelum akhirnya kembali ke kos-kosan masing-masing. Uangnya selamat, begitu pula dengan orangnya. Tapi kedua gadis itu rasanya berkeringat dingin di sepanjang perjalanan kala itu. Walau yaah, rasanya merinding sekali membawa uang sebanyak itu. Dan Rissa tentu kapok. Ia tidak akan pernah mau lagi berperan sebagai bendahara dan semacamnya. Ia berjanji! "Delapan jutaan deh kayaknya," tuturnya. Ia tak ingat betul berapa nominal terakhirnya. "Tuh lumayan tuh! Coba tanyain Mas Pram mau diapakan?" usul Haura. "Kemarin Mas Pram bilang buat jalan-jalan aja sama panitia lain. Lumayan!" sahut Aira. "Setuju gue kalo begitu! Jalan-jalaaaan!" Rissa terkekeh. Ia sih terserah saja. Asal uang itu segera keluar dari rekeningnya. Pasalnya, menjadi bendahara itu tak enak sama sekali. Hanya membuat was-was karena memegang uang yang bukan haknya. Persoalan utama sebetulnya ada pada beban akhiratnya sih. "Terus nih, Ai. Cowok lo kapan ngajak nikah?" tanya Khanza. Ketiga sahabatnya menoleh. Kaget saja dengan pertanyaan itu. Kenapa tiba-tiba membahas itu? Karena ditatap begitu, Khanza makan tertawa. Maklum ye kalau obrolannya suka lompat-lompat begini. Pikirannya memang sedang awut-awutan. "Kan lo yang bilang kalo dia punya rencana gitu! Itu loh yang lo ceritain sama Tuti!" Aaaah. Aira mengangguk-angguk paham. "Seriusan lo?" tanya Rissa. Gadis itu agak kaget saja. Ya memang usia sudah masuk usia pernikahan. Tapi rasanya, ia masih jauh dari itu. Dan ini, kenapa sih obrolannya tentang menikah mulu? Ia bosan mendengarnya. @@@

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Garis Tanganku

read
43.7K
bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
77.0K
bc

You're Still the One

read
118.6K
bc

The One That I Want

read
70.8K
bc

FINDING THE ONE

read
29.8K
bc

Love After Marriage

read
205.9K
bc

Network Love

read
93.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook