Asisten Naresh

1910 Words
Jangan lupa tap love dan komen ya  *** Berhadapan dengan pria yang memegang pisau di tangannya membuat Naresh sangat tertantang. Apalagi jiwa mudanya masih b*******h, boleh saja dia bermain-main bukan? “Masuk!” titah pria itu dengan nada yang ditahan. Naresh tidak masuk begitu saja. Dia justru senyum seolah menyambut pria yang datang kepadanya.  "Saya bilang masuk!" geram pria itu sambil mendorong tubuh Naresh. Naresh mengangguk setuju sambil tersenyum simpul. “Oke. Saya akan masuk” Kedua orang itu memasuki ruang kerja Naresh dengan suasana yang semakin tegang. Naresh tidak sedetik pun berniat untuk menyuruh pria itu untuk duduk. Pikirnya pria itu tidak layak dianggap tamu jika dia datang sambil menodongkan pisau. Setelah masuk ke dalam ruangan, mereka tidak saling berdekatan. Naresh paham kalau pria itu tidak akan berani mencelakainya di kantornya sendiri. Makanya Naresh berani untuk menjauh dan bersikap santai. "Apa yang ingin kamu lakukan di sini?" “Di mana adik saya?!” tanya pria itu tanpa basa-basi. Rahangnya yang mengeras dengan tangan yang mengepal menyadarkan Naresh kalau pia itu sangat marah. Tidak mungkin Abiraka tidak marah kalau adiknya diculik. “Di apartemen saya,” jawab Naresh dengan santai. “Dia di apartemen saya, Raka. Anda tidak perlu khawatir!” Begitu tenang jawabannya sampai Abiraka mendengus tidak suka. Sebenarnya Abiraka sudah tahu keberadaan adiknya. Dia hanya ingin mendengarnya sendiri dari orang yang bertanggung jawab. Setelah mendapatkan informasi kalau Daiva sudah berada di apartemen Naresh, Abiraka langsung melesat menuju kantor asuransi NAM. Dia menerobos masuk dibantu orang kepercayaannya agar bisa bertemu dengan Naresh. “Apa yang Anda lakukan pada adik saya?” tanya Abiraka. "Jangan siksa adik saya apalagi kalau sampai Anda menyetubuhi adik saya!"  Abiraka tidak mau adiknya kehilangan kehormatan hanya karena pria yang mengalahkannya semalam. Abiraka juga tidak bisa diam saja ketika adiknya berada jauh dari jangkauannya. Sekarang Naresh yang berada di atas angin.  “Bisa turunkan pisau itu? Saya tidak segan membunuh Daiva kalau Anda masih bersikap tidak sopan,” kata Naresh dengan begitu tenangnya. Ungkapan membunuh baginya hanya sebuah perkataan yang tidak berarti, membuat Abiraka mau tidak mau menurutinya. “Anda sentuh dia sekali sampai terluka, saya tidak akan segan mematahkan leher Anda!” ancam Abiraka. Pisau itu dia lempar ke sembarang arah dan kini dia berhadapan langsung. “Di mana Daiva?” “Di apartemen saya," jawab Naresh tidak berubah. Daiva memang sedang di apartemen, tetapi bukan itu maksud pertanyaann Abiraka. “Di mana apartemen Anda?” tanya Abiraka lagi. Naresh semakin senang dengan perdebatan yang terjadi. Dia pun tersenyum miring dan kembali melanjutkan perdebatannya. “Kenapa Anda ingin tahu di mana apartemen saya? Anda ingin Daiva pulang?” “Tentu saja! Dia adik saya!” pekik Abiraka dengan lantang. Kilat mata yang memerah seolah menandakan kemarahannya. Namun, Naresh tetap Naresh, pria yang tidak pernah takut pada orang lain. “Kembalikan dia!” “Apa Anda lupa tentang taruhan itu?” tanya Naresh dengan gamblang. “Secara tidak langsung Anda sudah menjual Daiva pada saya.” “Jaga mulut Anda!” Abiraka menunjuk wajah Naresh. Tentu Abiraka tidak melupakan perjanjian kemarin. Namun, Abiraka tetap tidak mau menjadikan adiknya sebagai bahan taruhan. Dia ingin mengambil adiknya dan menukar semuanya dengan hartanya sendiri. “Seharusnya Anda bersyukur kalau Daiva tidak saya sentuh sejak semalam. Mungkin bisa jadi besok atau lusa ....” “Kurang ajar!” Abiraka berlari mendekati Naresh dan langsung menghantam wajah Naresh dengan satu kepalan tangannya. Naresh pun terjatuh. Satu tangannya memegang bagian pipi yang terkena hantaman tangan Abiraka. Tidak sangka kalau Abiraka berani sekasar ini pada Naresh.  “Jangan kurang ajar sama dia! Dia itu adik saya. Jangan sampai melukai adik saya!" ancam Abiraka dengan mata yang menyalang. “Dia milik saya sekarang. Anda tidak punya hak lagi atas dia,” kata Naresh. Ucapannya seolah mengakui kalau dia adalah pemilik dari segala yang ada di tubuh Daiva. “Cukup percaya dengan saya ..., calon kakak ipar. Itu pun kalau Anda mau. Kalau tidak mau, saya menunggu seluruh harta Anda pindah tangan saja kalau begitu, kan?” Malam hari setelah Abiraka kalah bertaruh. “Bagaimana, Tuan Beruntung? Anda mempertaruhkan semua harta milik Anda. Saya menunggu kekayaan itu segera mungkin.” Naresh berjalan meninggalkan arena yang sekarang senyap. Beberapa saat kemudian, Abiraka mengejar dan menahan lengan Naresh. “Ada apa lagi, Tuan Beruntung?” “Saya mohon ... berikan penawaran lain. Saya tidak ... tidak bisa memberikan semua harta itu,” kata Abiraka dengan suara bergetar. “Lantas, Anda ingin bertaruh lagi?” tanya Naresh sembari memutar badannya. Dia berhadapan dengan Abiraka dan langsung tersenyum miring. “Sayangnya saya sudah tidak minat bermain lagi.” “Saya mohon ... saya mohon berikan saya penawaran yang lain. Apa pun, Anda bisa mengurangi hukuman atau apa pun. Saya masih punya adik yang harus saya jaga di rumah itu,” kata Abiraka. “Adik? Apa tadi kata Anda? Adik? Apa dia perempuan? Apa dia cantik? Apa dia ... bernama Daiva?” tanya Naresh. “Kenapa Anda bisa kenal dengan adik saya? Siapa Anda sebenarnya?” tanya Abiraka yang kebingungan. “Tidak penting saya siapa dan bagaimana bisa mengetahui Daiva. Kalau memang Anda butuh penawaran, saya ingin dia.” “Ma-maksud Anda?” Abiraka kehilangan tenaga untuk membantahnya. Dia hanya terdiam dan menunggu jawaban dari Naresh. “Saya ingin dia, Tuan Beruntung. Saya ingin dia sebagai ganti taruhan hari ini. Saya ingin menikah dengan dia,” kata Naresh. Tidak ada penawaran lagi, tidak ada debat lagi. Naresh tersenyum lebar dan menepuk pundak Abiraka dengan kencang. “Saya ingin menjadi adik ipar Anda, Tuan Beruntung yang sekarang tidak beruntung.” Saat itu Abiraka sangat kacau dan tidak memiliki jalan keluar lain. Akhirnya dia hanya bisa menjawab iya dan menyetujui penawaran Naresh. “Anda menyetujuinya dan sekarang dia milik saya, bukan milik Anda!” Naresh menertawakan Abiraka yang terdiam di tempatnya. “Anda persis seperti orang bodooh. Lebih baik Anda pergi. Tenang saja, saya mencintai Daiva. Saya tidak akan membuatnya tidak nyaman di sana. Kami akan datang kepada Anda dan meminta persetujuan untuk menikah.” *** Daiva masih terus berusaha membersihkan kamarnya yang berantakan. Sedikit demi sedikit debu di sana mulai menghilang. Kasur yang tadi berantakan, sekarang sudah rapi. Tersisa dinding yang harus dia cat ulang. “Sepertinya tidak bisa hari ini. Aku lelah sekali membersihkan yang lainnya. Dasar cowok berengseek! Bisa-bisanya dia manfaatin aku jadi pembantu. Apa jangan-jangan ini semua bohong? Aku tidak dirampok dan semua barang ada sama dia?” Daiva masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Dirampok, diperlakukan secara jahat oleh preman. “Sepertinya tidak mungkin kalau dia berbohong. Dari tadi dia seperti orang yang ... jujur saja kelihatannya.” Masa bodo dengan pikiran itu, Daiva memutuskan untuk mengambil minuman segar di kulkas. Lumayan untuk mendinginkan otaknya yang sedang panas akibat ulah Naresh. Sayangnya, dia harus bertemu pria berpenampilan rapi sedang berdiri di depan kamar Naresh. Pria itu memakai blazer berwarna biru dan celana bahan yang sama warnanya dengan blazer. Rambutnya pun disisir rapi, tidak seperti Naresh. “Hei ada orang m***m lagi ternyata di sini?” Daiva langsung masuk ke dalam kamar lagi untuk mengambil kemoceng. Dia kembali keluar dan mengarahkan kemoceng itu ke pria di depannya. “Keluar! Bisa-bisanya Anda masuk ke apartemen orang lain tanpa izin. Punya akses dari siapa Anda?” Daiva terus memukul kemoceng itu ke tubuh pria di dekatnya. Pria itu berusaha menangkis dan melindungi tubuhnya. Sampai akhirnya dia terpojok ke dinding kaca yang membatasi apartemen dengan balkon. “Seharusnya saya yang bertanya pada kamu. Kamu siapa? Mau apa di tempat ini?” tanya pria itu dengan wajah yang ketakutan. “Jangan main pukul-pukul aja dong! Memangnya saya samsak?” “Anda pantas dijadikan samsak. Cowok tidak tahu diri! Bisa-bisanya masuk apartemen orang tanpa izin!” pekik Daiva nyaring. “Sekarang keluar atau saya pukul lagi dan kali ini pakai sapu.” “Siapa yang masuk tanpa izin? Saya masuk ke sini disuruh sama atasan saya, Pak Naresh. Kenapa jadi kamu yang marah-marah tidak jelas begini,” protes pria itu sambil berdiri. Sambil membersihkan pakaian yang dia pakai, pria itu menggerutu karena mendapatkan pukulan yang membuat wajahnya sakit. “Kamu itu siapa, sih?” “Pak Naresh?” Daiva melongo di tempatnya. “Kamu bawahannya Naresh? Astaga ada lagi pria tidak benar yang menjadi antek-anteknya?"  “Iya. Saya asisten pribadinya Pak Naresh. Saya biasa ke sini, bahkan saya punya kunci aksesnya. Setahu saya, Pak Naresh tidak pernah menjual dan bahkan tidak pernah ada niat untuk menjual apartemen ini. Mengapa kamu bisa masuk ke sini?” “Oh, kamu asisten pribadi dia, ya? Bagus kalau begitu, bilang sama bos kamu, ya! Punya sikap itu yang bagus dong! Cinta kebersihan! Jangan jorok! Itu kamar apa tempat penyimpanan barang, sih? Jorok banget,” protes Daiva kepada pria itu yang mengundang pertanyaan besar. “Sebentar, kamu ini sebenarnya siapa? Kamar yang mana? Kamar Pak Naresh rapi, saya yang membersihkannya setiap hari. Baru saja saya membersihkannya. Lalu kamar mana yang kamu maksud?” tanya pria itu. “Ya kamar yang satu itu lah!” Daiva menunjuk kamar di belakang sana. Matanya masih melotot memandang pria di dekatnya. “Bilang sama dia untuk jaga kebersihan!” “Kamu bersihin kamar itu? Untuk apa? Lagian kamu ini siapa?” tanya pria itu lagi. “Jangan bilang kamu pembantu baru?” Dibilang pembantu membuat Daiva semakin panas. Dia tidak suka, tetapi memang begitu sebutannya sekarang. Daiva tidak bisa membantahnya. “Begini deh. Kita saling kenalan dulu gimana?” tanya pria tadi sambil tangannya menjulur. “Saya Henri, asisten pribadinya Pak Naresh.” Dengan berat hati, Daiva ikut menjulurkan tangan dan menjabat tangan Henri. “Daiva ... pembokat di sini. Puas?!” Henri langsung menahan tawa setelah Daiva berkata sarkas. Ingin sekali dia tertawa, tetapi dia tidak mau menyinggung perasaan Daiva. “Kenapa ketawa? Pekerjaan itu yang penting halal. Lebih baik saya bekerja menjadi pembantu daripada mencuri, kan?" tanya Daiva dengan logat yang tidak senang. "Jangan hina pekerjaan orang lain!"  “Siapa yang ngetawain pekerjaan kamu? Saya ketawa karena kamu sarkas banget. Memangnya saya masalah kalau kamu pembantu Pak Naresh? Saya lebih senang karena pekerjaan saya jadi berkuang. Yang saya heran, kenapa Pak Naresh mau menerima orang yang bawel seperti kamu?” “Excuse me?” “Pak Naresh benci orang yang bawel loh. Ya menurut saya kamu itu bawel. Kenapa kamu diterima, ya?” Henri bertanya seolah tidak ada yang tersinggung. Padahal Daiva sudah semakin mendidih dan sudah siap meledak. “Maaf, ya, Pak Henri yang terhormat. Bos Anda yang menjebak saya di apartemen ini. Dia menyita semua barang-barang termasuk HP saya. Jadi, jangan anggap saya diterima di sini, justru seharusnya Anda bertanya kenapa saya mau bekerja di sini!” “Kenapa emangnya?” tanya Henri langsung. Daiva melotot mendengar pertanyaan itu. Dia juga gengsi untuk menjawabnya. “Lebih baik Anda pergi aja, deh!” “Karena kamu nggak punya uang untuk pergi, ya?” tanya Henri yang sangat tepat. “Terus kenapa kamu bersihin kamar itu? Kamar pembantu sudah saya siapkan, ada di balik kamar Pak Naresh. Kamar yang tadi kamu bersihin memang sengaja untuk gudang dan Pak Naresh tidak membiarkan saya untuk membersihkannya agar tidak terlalu lelah katanya.” Penjelasan itu mampu membuat Daiva sangat marah. Wajahnya memerah dengan tangan yang mengepal di kedua sisinya. “Lebih baik saya pergi sepertinya,” kata Henri yang langsung pergi dari apartemen itu. Tersisa Daiva sendiri di sana. Masih dalam posisi yang sama, berdiri sambil menahan emosi. Kemudian dia berteriak kencang, “Naresh kurang ajar! Awas aja kalau sampai pulang, saya tonjok perut kamu!” ***  To be continue
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD