Mulai Terjebak

1907 Words
Jangan lupa tap love dan komen yaa ~ *** "Saya sepertinya tidak bisa hadir untuk pertemuan besok. Ada pertemuan dengan para kepala departemen di waktu yang sama,” ucap Naresh pada Henri. Setelah pergi dari apartemen, Henri langsung datang menemui Naresh di kantornya. Tentu saja itu sudah menjadi rutinitasnya selama bekerja menjadi asisten pribadi Naresh. Namun, Henri masih belum membuka suara pasal perempuan yang dia temui di apartemen tuannya. “Baik, Pak. Setelah ini akan saya konfirmasikan perubahan jadwal pertemuan. Bagaimana dengan lusa? Pak Naresh memiliki waktu kosong sekitar jam dua siang. Kita bisa mengubah jadwalnya jadi hari itu?” tanya Henri. “Tidak perlu. Saya pikir, lebih baik kamu gantikan saya di pertemuan dengan kepala departemen. Kamu urus mereka dan laporkan pada saya setelah pertemuan. Biar saya yang bertemu dengan client besok dan tolong pastikan jangan sampai terulang kembali jadwal yang bersamaan seperti ini!” Naresh memang terkenal sebagai pribadi yang ingin semuanya berjalan lancar dan sesuai arahan. Dia tidak mau digantikan orang lain untuk pekerjaannya, kecuali hanya dibantu. Oleh karena itu, Henri selalu kerepotan menyisipkan waktu pertemuan di antara waktu sibuk tuannya. Belum lagi kalau ada perintah lain dari Naresh, Henri harus bekerja lebih giat untuk memenuhi semua keinginan tuannya. Namun, kali ini bukan permintaan Naresh. Henri salah karena dia teledor memberikan informasi jadwal. Sekretaris Naresh jadi salah menempatkan pertemuan hingga sekarang ada dua jadwal yang bersamaan. Seharusnya tidak bisa hal ini terjadi. “Baik, Pak. Saya minta maaf atas kesalahan saya. Lain kali tidak akan terulang kejadian ini.” Setelah semua pekerjaannya selesai, Naresh berjalan kembali menuju mobilnya diikuti Henri dari belakang. Tugas Henri biasanya belum selesai sampai di sini, sebab Henri harus datang ke apartemen dan membantu Naresh di apartement. Makanya Henri mengikuti tuannya pulang. Nanti jika sudah selesai, baru dia akan pulang ke rumahnya. Kedua manusia itu berhenti tepat di samping mobil sedang berwarna putih milik Naresh. Henri belum pergi sebelum diperintahkan. Akhirnya, dia hanya diam di sana sambil memandang Naresh yang menunggu Henri mengaku. “Bagaimana dia? Apa dia cantik? Apa dia cocok?” tanya Naresh dengan nada yang ramah, tidak lagi formal seperti sebelumnya. "Kamu sudah melihatnya hari ini, kan? Saya ingin tahu pendapat kamu tentang dia." Oh ... itu.” Henri paham maksud tuannya. Dia tersenyum sebelum menjawabnya. “Dia ... cantik. Untuk ukuran pelayan dia sangat cantik. Namun dia tidak cocok untuk menjadi pelayan yang pekerjaannya lumayan berat.” “Kau salah sangka,” kata Naresh menjawabnya. sambil tertawa kecil. Dia membuka pintu mobil dan duduk di sana. “Dia akan menjadi Nyonya Mahendra suatu saat nanti.” Henri menganga mendengar jawaban tuannya. “Ma-maksud Pak Naresh. Bapak ... akan menikahi ....” “Ya, saya tertarik padanya. Sekarang kau harus ikut saya ke apartemen. Saya tahu apa yang akan terjadi nanti,” kata Naresh sembari menutup pintu mobil. Tentu Henri menurut perintah tuannya. Dia memang selalu mengikuti Naresh pulang. Namun hari ini, mengapa tuannya memerintahkan dia? Apa setelah hari ini, dia tidak perlu ke apartemen lagi untuk menyediakan makan malam atau setidaknya air panas? Sesampainya di apartemen, Henri terus mengikuti Naresh dari belakang. Hingga tiba di depan kamar apartemen milik Naresh. Satu dari dua kamar di lantai 24. Pria itu terdiam ketika tuannya juga memaku di sana. Henri ingin bertanya, tetapi dia takut kalau akan mengganggu tuannya. Akhirnya Henri hanya diam sambil menunggu perintah tuannya. “Silakan buka pintunya!” kata Naresh mempersilakan. "Saya ingin di belakang kamu saja," sambungnya. Satu lagi yang tidak biasa, Naresh menyuruh Henri membuka pintu. Biasanya Naresh yang harus membuka pintu, sebab dia pemiliknya. Itu juga yang sangat membuat Henri curiga. Namun, Henri bisa apa? Dia hanya asisten yang harus mengikuti perintah tuannya.  “I-iya, Pak,” jawabnya patuh. Henri pun menuruti perintah tuannya. Dia perlahan membuka pintu apartemen dengan lebar. Kemudian keadaan di dalam apartemen langsung terlihat olehnya. Lalu tiba-tiba satu tangan kecil menghunus perutnya tepat di bawah tulang rusuk. “Duuuh ... duuuuuh ...,” erang Henri kesakitan. “Kurang ajar! Salah sasaran!” gerutu Daiva dengan sinis, kemudian dia pergi dari sana. Naresh menertawakan asistennya yang mendapatkan hadiah pukulan di perut. Setelah itu dia masuk ke dalam apartemen dan meninggalkan Henri di dekat pintu sambil kesakitan. “Ja-jadi dia sudah tahu kalau akan dipukul,” gumam Henri. Naresh sudah berpikir sejak siang tadi ketika Henri datang ke kantor. Asistennya sudah ingin bertanya mengenai perempuan yang ada di apartemennya. Walaupun Henri tidak mengatakannya, tetapi Naresh sudah mengetahuinya terlebih dahulu. Tidak mungkin juga Henri tidak mengatakan kalau kamar yang Daiva bersihkan adalah gudang. Henri pasti menjelaskannya dan pasti orang seperti Daiva akan marah. “Terima kasih sudah menggantikan saya menerima pukulan itu, Henri,” ucap Naresh dengan tulus. Naresh terus tertawa melihat wajah Henri yang memerah karena kesakitan. Sementara Daiva sudah masuk ke kamarnya tanpa mengatakan satu kata pada Naresh. “Terima kasih kembali ... sambutannya, Pak.” Henri tertawa kecil di tempatnya. “Ke mana perempuan itu? Cepat sekali perginya dia.” “Dia sedang berada di kamarnya. Panggil dia sekarang! Saya ingin berbicara dengannya,” titah Naresh. Henri pun menuruti perintahnya. Dia mengetuk pintu kamar Daiva berkali-kali, tetapi tidak juga dibuka. Hingga akhirnya Henri memaksa membuka pintu kamar Daiva yang tidak dikunci. Henri hampir tidak sadar posisi Daiva karena kaarnya gelap. Setelah dia nyalakan lampu, dia memandang tubuh Daiva yang sedang tertidur menyamping. Perempuan itu memunggungi pintu. “Hei, Wanita Barbar! Ayo cepat keluar! Pak Naresh menunggu kamu di luar.” Tidak ada jawaban dari Daiva. Sepertinya perempuan itu sudah tertidur pulas atau mungkin hanya sekedar berpura-pura. “Kamu tidak mau dia marah, bukan? Lebih baik kamu keluar sebelum dia yang memaksamu untuk keluar!” Beberapa saat kemudian pintu pun masih ditutup. Henri yang penasaran akhirnya mengintip sedikit, membuka pintunya tanpa izin pemilik. Beruntung Daiva masih dengan pakaian utuh. "Hei kau dipanggil oleh Pak Naresh!" “Bisa Anda bilang pada pria itu untuk segera tidur? Saya tidak mau melihat wajahnya lagi,” kata Daiva menyahut. “Mau tidak mau kamu harus melihat wajahnya. Dia sekarang tuanmu,” sahut Henri. Akhirnya Henri menghampiri dan menggoyang-goyangkan tubuh Daiva. “Ayo cepat bangun! Jangan sampai membuat dia menunggu!” “Berisik!” pekik Daiva sangat nyaring. Dia keluar dari selimut dan kemudian keluar dari kamar. Pemandangan yang pertama kali Daiva lihat adalah Naresh yang duduk di sofa. Pria itu menunggu kehadiran Daiva. Dia tersenyum ketika Daiva menghampirinya. “Bagaimana pekerjaanmu hari ini? Apa semuanya baik-baik saja?” tanya Naresh dengan senyum yang mengembang. “Sepertinya kamu sangat menyukai pekerjaan ini. Apa itu benar? Atau justru saya yang salah?” “Cepat katakan apa yang ingin kamu katakan! Saya lelah, saya ingin istirahat,” ketus Daiva tanpa memandang Naresh. Tangannya juga dia lipat di depan dadanya. Seperti orang yang sedang kesal saja pada tuannya. "Ayo cepat katakan!" Henri yang berdiri jauh dari mereka berdua hanya bisa menghela napasnya dengan kasar sambil menggelengkan kepala. Benar-benar perempuan yang barbar. Henri tidak bisa membayangkan bagaimana tuannya harus menghadapi Daiva sepanjang hari nanti. “Saya ingin mendengarkan cerita kamu hari ini,” kata Naresh. "Apa yang kamu kerjakan? Kemudian bagaimana pandangan kamu tentang apartemen ini? Lalu bagaimana kamar yang kamu bersihkan tadi? Ayo cerita! Saya ingin mendengarnya." “Apa?!” tanya Daiva memekik. “Cepat katakan kamu mau bicara apa! Jangan mengalihkan pembicaraan!” “Saya mau bicara kalau saya mau dengar cerita kamu hari ini, Daiva,” sahut Naresh. “Ayo cepat! Saya ingin mendengarkannya.” Daiva membeku di tempatnya. Dia tidak salah dengar, tetapi dia tidak percaya. Untuk apa dia ingin aku bercerita? “Ayo cepat bercerita!” desak Naresh. “Alangkah lebih baik kalau kamu juga duduk, Daiva,” sahut Henri. “Cukup! Saya tidak mau!” Daiva langsung pergi dari sana dan hendak masuk ke kamarnya kembali. Beruntung masih ada Henri yang menghalanginya. “Tidak bisa pergi! Pak Naresh ingin kamu bercerita,” kata Henri. “Apa untungnya saya bercerita untuk dia? Kamu dibayar berapa untuk membantu dia?” tanya Daiva yang semakin marah. “Menyingkir sebelum saya pukul lagi!” Henri menggelengkan kepala. Dia tidak mau menyingkir. Dia harus bisa membuat Daiva kembali ke hadapan tuannya. “Kamu harus kembali dan bercerita!” “Tunggu sebentar! Henri, bagaimana kalau kau membelikan kami satai di tempat biasa? Sepertinya malam ini kita bisa makan malam dengan hidangan itu,” kata Naresh. Tidak lupa Henri menarik lengan Daiva dan menyeretnya ke hadapan Daiva. Hal itu membuat Naresh melotot memandangnya. “Apa itu tadi?” tanya Naresh yang tidak percaya “Ah ... maaf, Pak. Saya lupa. Sebaiknya saya pergi saya sekarang,” jawab Henri. Setelah Henri pergi dari sana, Daiva baru bisa tenang. Dia menarik napasnya perlahan-lahan kemudian mendekati Naresh. Setelah semakin dekat, dia mengangkat kakinya dan menginjak sepatu yang Naresh pakai dengan kuat sampai pria itu mengerang kesakitan. “Itu hadiah dari saya,” kata Daiva yang kesenangan. “Bagaimana? Sakit?” “Kamu ini kenapa?” tanya Naresh. “Kamu marah karena membersihkan kamar itu?” “Jelas saja saya marah. Itu gudang, untuk apa kamu menyuruh saya membersihkannya?” Daiva semakin menarik uratnya. Dia sudah berada di titik kesabarannya akan habis. Sontak Naresh pun berdiri di depan Daiva. Dia memegang pundak perempuan di depannya dengan erat. Menahannya untuk tidak pergi. “Lepasin!” pinta Daiva merengek. Tentu Naresh tidak mudah melepaskannya. "Lepasin saya!" Naresh menggeleng dan mengencangkan pegangannya. “Kamu sepertinya harus dihukum karena sudah berani dengan tuanmu,” kata Naresh dengan nada rendah. “Mau hukuman ringan atau berat?” “Oh kamu mau menghukum saya lagi? Kurang puas menghukum saya dengan membersihkan kamar itu? Hah?” Naresh tersenyum. Dia membelai wajah Daiva dengan lembut hingga perempuan itu diam tidak berkutik. “Saya tidak menyuruh kamu untuk tidur dan membersihkan kamar itu. Saya belum bilang kamar kamu di mana, tetapi kamu memutuskannya. Apa itu jadi kesalahan saya?” Daiva terdiam sekarang. Memang dia yang salah. Dia yang main mengambil keputusan sendiri. “Tetap saja itu salah kamu! Kenapa tidak bilang kalau kamar di sebelah itu yang mana? Memang orang tidak waras! Menyembunyikan kamar di dalam kamar. Ide orang gilaa mana yang seperti itu?” “Ide saya,” jawab Naresh dengan tenang. “Saya ingin memiliki kamar yang seperti itu. Selain saya bisa mengawasi gerak-gerik pembantu, saya bisa memanggilnya dengan mudah.” Daiva sudah semakin tidak sanggup berada di depan Naresh. Pria di depannya selalu punya jawaban atas semua protes yang Daiva lakukan. Yang perempuan itu mau, Naresh meminta maaf dan semua masalah selesai. “Lalu apa yang ingin kamu katakan?” tanya Daiva lagi. “Jangan buang waktu saya! Saya ingin istirahat.” “Bagaimana bisa kamu istirahat sementara tugasmu belum selesai?” tanya Naresh. “Pertama, saya belum mandi dan itu artinya kamu harus menyediakan baju dan celana tidur saya! Kedua, saya belum makan malam dan itu artinya kamu harus menyiapkan serta membersihkan piringnya. Ketiga, saya belum tidur dan itu artinya kamu harus berjaga-jaga barang kali saya membutuhkan sesuatu nanti.” “Memangnya kamu tidak bisa mengurus semua itu sendiri? Dasar cowok kurang ajar! Memangnya saya ini siapa kamu? Saya hanya pembantu di sini!” bentak Daiva. Naresh pun tertawa mendengar celotehan Daiva. Dia sangat gemas dengan tingkah Daiva yang lucu. Sangat ingin dia mencubit pipinya Daiva yang gemoy itu. “Pekerjaan pembantu memangnya apa? Bukannya itu termasuk pekerjaan pembantu juga?” Naresh melepaskan pegangannya di pundak Daiva. Setelah itu, tangannya mengusap kepala Daiva dengan lembut sambil berlalu yang membuat Daiva terdiam. “Siapkan aku s**u hangat! Aku ingin mandi sebelum makan malam.” *** To be continue !
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD