Hari Pertama

1906 Words
Jangan lupa tap love dan komen ya *** “Apa-apaan, sih, dia? Seenaknya aja menyuruh aku untuk menjadi pembantu. Dasar pria congkak! Mentang-mentang kaya raya, enak banget suruh orang lain jadi budaknya,” gerutu Daiva sambil merapikan kasur di kamarnya yang berantakan. Kamar yang akan menjadi tempatnya tidur selama menjadi pekerja di apartemen itu terlihat sangat tidak terurus. Seprei yang tergeletak di lantai, gorden putih polos yang mulai kusam, dan jangan lupakan jaring laba-laba di pojokan ruangan. “Helo! Kenapa apartemen ini sangat tidak terurus, sih? Apa yang dia lakukan selama tinggal di sini? Jangan-jangan kamar ini dia buat hanya untuk tempat senang-senang dengan wanita sewaan?" cibirnya dengan mulut yang dimajukan. Lihat saja wajahnya Daiva yang sangat mirip dengan pembawa gosip di televisi. Dia sangat ahli jika mencibir seseorang yang sedang dia tidak disukai, salah satunya Naresh. Mungkin jika Naresh kembali menguji kesabaran dirinya, perempuan itu pasti akan semakin berani untuk mencibir di depan muka Naresh sendiri. “Astagaaaaa! Kapan selesainya pekerjaan aku kalau begini ceritanya?” Daiva berdiri dan memandang seluruh sisi kamar. Masih banyak hal yang harus dia lakukan. Tidak biasanya Daiva mengeluh, padahal dia perempuan yang senang kebersihan. Ini pasti karena dia tidak suka dengan pria bernama Naresh itu. “Aku harus membuat pelajaran untuknya,” kata Daiva dengan tegas. Tekadnya sudah bulat untuk menghajar pria bernama Naresh. Walaupun dia majikannya, tetap saja Daiva ingin menghajarnya sesekali. Ini namanya penyiksaan bukan pekerjaan. Perempuan itu menarik lengan bajunya sebatas bahu dan menuju kamar sebelah. Napasnya memburu dengan tangan yang dia tenggerkan di pinggang. Sesampainya di depan pintu kamar, Daiva terdiam sejenak dan tidak melakukan apa-apa. Dia menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan-lahan. “Oke, tenang. Jangan sampai dia yang berbalik menegurku.” “Naresh! Keluar kamu!” pekik Daiva sambil menggedor pintu kamar di depannya. “Keluar sekarang dan tunjukkan batang ... batang hidungmu sekarang juga! Kalau tidak keluar, saya kutuk jadi ....” “Jadi apa? Berisik banget gedor-gedor pintu segala,” jawab Naresh setelah pintu terbuka. Tangannya asik mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil berwarna putih. Tentu saja Naresh menunduk, sebab tinggi badan Naresh yang lebih tinggi darinya. Tidak ... Daiva yang memiliki postur tubuh pendek, bukan Naresh yang kelewat tinggi. Tingginya hanya 160 cm. Sangat jauh jika dibandingkan dengan tinggi Naresh yang 1880 cm.  “Jadi orang miskin!” sahut Daiva tanpa berpikir panjang. Bibirnya tersenyum miring. Dia belum memukul wajah Naresh, tetapi niatnya sudah dia urungkan. Tidak bisa dia memukul wajah yang terukir sempurna di hadapannya. “Lho. Kalau saya jadi miskin, terus nanti siapa yang hidupin kamu?” tanya Naresh terus terang. Kedua sudut bibirnya diangkat dan  membentuk lengkungan indah yang mampu memikat hati wanita mana pun ..., kecuali Daiva. “Jangan banyak omong! Kamu itu manusia atau bukan, sih?” Daiva mendorong bahu Naresh dengan satu tangannya. Sikapnya yang marah seperti sekarang membuat Naresh jadi ingin tertawa. “Ya manusia, dong. Kamu tidak bisa lihat kalau saya itu manusia? Punya mata, hidung, telinga, mulut, kepala, alat gerak, dan tentunya alat kelamin,” sahutnya dengan enteng. Membuat Daiva ingin sekali memukul wajahnya. “Manusia tidak punya adab kalau seperti itu!” tandas Daiva. Matanya masih tetap melotot walau Naresh sudah berusaha meluluhkan dengan senyumnya.  Tangannya dia angkat dan hendak memukul wajah Naresh. "Kamu ini!" "Apa? Mau mukul saya?" tanya Naresh yang tidak percaya. Seketika dia tertawa dan menangkap kepalan tangan Daiva di udara. Dia pun memukul-mukul kepalan tangan Daiva ke wajahnya. "Bagaimana sekarang? Sudah puas?" Daiva menarik tangannya dengan kasar. “Kamu itu sengaja menyiksa saya, ya? Kasih kamar yang kotor, banyak debu, banyak sarang laba-laba. Sudah seperti orang yang tidak ikhlas memberikan kamar saja. Kamu pikir saya ini apa?” “Pembantu,” jawabnya tanpa pikir panjang. Sebenarnya jawabannya tidak salah juga. "Memangnya kamu pikir kamu siapa?" “Apa?!” tanya Daiva nyaring. “Coba ucapkan sekali lagi!” “Kamu pembantu saya, Nona Daiva. Saya sengaja memberikan kamar itu, untuk kamu bersihkan sehingga kamu bisa tidur di sana,” katanya. Kemudian dia berjalan mendahului Daiva yang masih menganga. “Bener, kan, kamu itu tidak ikhlas memberikan kamar untuk saya. Ih asli gila banget! Kamu itu waras tidak, sih?” Daiva mengikuti Naresh dari belakang yang menuju ke pantry. Dia menatap tangan Naresh yang kini memberikan segelas kosong kepadanya. “Apa itu maksudnya?” “Saya sedang haus sekarang. Jadi, saya ingin minum. Kenapa saya harus jelaskan setiap keinginan saya dengan jelas, ya? Memangnya kamu tidak mengerti tugas seorang pembantu?” tanya Naresh keheranan. Pertanyaan itu mampu membuat Daiva semakin terkejut. Matanya sukses terbelalak dengan mulut yang terbuka lebar. “Dasar cowok kurang ajar!” pekik Daiva. Dia memukul perut Naresh dengan satu lengannya hingga pria itu kesakitan memegang perutnya. “Sangat cocok untuk cowok kurang ajar seperti kamu!” Sekarang Daiva sudah puas. Walaupun hanya di perut, setidaknya dia bisa menuntaskan keinginannya untuk memukul pria itu. "Baru perut, awas kalau sampai tangan saya kena wajah kamu. Bisa bonyok!" Naresh hanya tertawa melihat tingkah Daiva yang semakin liar. Walaupun Liar, Daiva tetap lucu menurut Naresh. “Ayo buatkan saya s**u hangat! Kalau kamu punya s**u segar, saya justru lebih senang meminumnya.” “Saya jelas tidak punya s**u segar. Saya ke sini dibawa sama Anda tanpa dompet dan uang tunai dan kemudian dijadikan b***k. Jadi jangan berpikir yang aneh-aneh,” kata Daiva. Perempuan itu melewati Naresh yang masih tertawa di posisinya. Dalam hatinya menggerutu dan mengutuk pria bernama Naresh. Mungkin jika dia punya kuasa atau setidaknya dia punya uang dan ponsel, mungkin Daiva akan pergi hari ini juga. “Silakan diminum s**u segarnya, Tuan Angkuh!” kata Daiva. Perempuan itu menyerahkan gelas yang sudah diisi s**u tadi. Daiva meletakkan s**u itu ke atas meja makan. Naresh hanya melihatnya dengan senyum manis. "Ayo diminum!" Naresh pun berdiri sambil mengangkat s**u tadi. “Maksud saya, kalau kamu punya s**u segar di dalam tubuh kamu mungkin .... ADUH!” Belum selesai Naresh berbicara, Daiva sudah menginjak jemari kaki Naresh dengan keras. Gelas berisi s**u tadi sampai tumpah dan berceceran di lantai. "Saya tahu ke mana tujuan kamu berbicara! Jangan kurang ajar sama perempuan!" “Oke ini keterlaluan,” kata Naresh. Dia merasa tidak senang jika sampai dua kali dibuat tidak berdaya oleh perempuan ini. Oleh karena itu, Naresh ingin membuat semuanya lebih jelas sekarang. “Oh kamu tidak sadar kalau perkataan sebelumnya itu lebih keterlaluan? Memangnya kamu siapa saya bisa berani berkata seperti itu?” tanya Daiva dengan nada menantang. “Biar dipertegas sekali lagi. Saya ini tuan kamu, Daiva. Kamu harus nurut sama semua perintah saya ....” Naresh mulai menegaskan wajahnya. Namun, Daiva tidak takut sedikit pun. "Kenapa kamu malah semakin berani. Kamu harus nurut sama perintah saya!" “Tidak bisa!” bantah Daiva dengan sigap. Telunjuknya mengarah tepat ke mata sebelah kanan Naresh. “Orang yang memiliki otak m***m seperti Anda tidak bisa memerintah saya. Yang ada di otak kamu tidak akan jauh dari hal seksual saja pastinya!” “Kata siapa? Memangnya kamu tahu siapa saya sebenarnya?” Naresh kembali menantang Daiva. Matanya ikut melotot dan menahan kedua tangan Daiva. “Harus nurut! Kalau sampai membantah, gaji kamu saya potong lima puluh persen,” bisik Naresh. Setelah berbisik seperti itu, Naresh pergi dari sana dan kembali ke kamarnya. Terdengar siulan dari mulutnya, seolah bentuk kemenangan dari dirinya. “Dasar cowok tidak punya adab! Ke sini buruan! Seenaknya saja potong gaji orang,” sahut Daiva berteriak. “Jangan lupa siapkan s**u segar lagi. Saya tidak suka s**u yang dingin, sukanya s**u yang hangat dan bukan panas,” kata Naresh. Dia tersenyum licik di dekat pintu kamarnya. “Oh astaga kau cowok paling ribet!” pekik Daiva kembali. Sepertinya mulai saat ini, daftar orang yang Daiva akan bertambah banyak. Daiva akan menulis nama Naresh di sana dan bukan hanya satu, mungkin seratus atau lebih. Kadar kebencian Daiva pada pria itu semakin tinggi kala melihat kesombongan Naresh. “Jangan lupakan nama tengah saya! Habis ini saya akan pergi dan kamu harus jaga apartemen. Malam ini kamu harus tunggu saya pulang, sebab akan ada banyak pembicaraan,” ucap Naresh dengan tenang. Dia sangat bahagia berhasil melihat Daiva yang memerah karena marah. “Cepat buatkan s**u atau gajimu saya potong!” Setelah itu Naresh tertawa terbahak-bahak. Tingkahnya semakin membuat Daiva naik darah dan ingin sekali menendang perutnya lagi. “Semangat kerjanya, Mbok Daiva.” “Naresh brengseeek!” ***   Setelah meninggalkan Daiva di apartemen sendirian, Naresh menuju kantor perusahaannya. Khususnya di lantai atas, Naresh sedang berhadapan dengan pimpinan sekretarisnya untuk membahas instansi-instansi yang akan menjalin kerja sama dengannya. Tampangnya sangat menawan jika sedang dalam mode serius bekerjanya. “Rumah sakit ini tidak mau menerima jasa asuransi dari perusahaan kita? Kenapa?” tanya Naresh ke sekretarisnya yang bernama Dian. “Padahal perusahaan kita tidak pernah mengecewakan yang lainnya bukan?” “Bukan seperti itu, Pak, permasalahannya. Rumah sakit itu tidak mau menerima asuransi, dia hanya menerima pasien BPJS dari pemerintah dan yang membayar tunai sendiri. Bukan hanya perusahaan kita saja yang ditolak, perusahaan asuransi lain juga ditolak,” kata Dian menjelaskan. “Aneh. Banyak rumah sakit yang membutuhkan kerja sama asuransi agar mendapatkan banyak pasien,” kata Naresh yang kepikiran. “Biarkan saja mereka. Bagaimana dengan nasabah kita? Apakah sudah mencapai target yang saya tentukan?” “Berdasarkan laporan dari pihak pemasaran, selama setengah bulan ini mereka berhasil mendapatka dua ratus sepuluh nasabah baru yang ingin membuat asuransi. Kalau kinerja mereka terus bertahan atau bahkan lebih baik, kemungkinan minggu depan sudah berhasil mencapai target tiga ratus yang Bapak minta,” jawab Dian. “Oh bagus kalau seperti itu. Artinya bulan depan saya akan menaikkan target menjadi empat ratus untuk syarat mereka mendapatkan bonus tim. Kalau tidak, ya terpaksa tidak ada bonus untuk tim marketing,” kata Naresh dengan senangnya. “Jangan terlalu dipikirkan, Dian. Saya yakin mereka semua bisa mendapatkannya. Sekarang kembali ke ruangan kamu dan perintahkan orang yang terus mengetuk di depan pintu itu untuk pergi.” “Baik, Pak.” Dian langsung pergi dari hadapan Naresh. Pekerjaanya sebagai pemimpin perusahaan asuransi milik ayahnya sangat membantu keadaan ekonomi Naresh. Walaupun dari dulu dia tidak pernah merasakan kekurangan, setidaknya setelah dia menjadi pemimpin, dia bisa mendapatkan apa yang dia mau dengan bekerja keras. Tidak ada hal yang didapatkan tanpa kerja keras. “Saya ingin masuk!” bentak pria dari belakang pintu. “Maaf, Pak. Tuan saya memerintahkan Anda untuk segera pergi! Jangan sampai saya berteriak dan memanggil satpam,” kata Dian. Naresh begitu heran mendengar suara perdebatan itu. Akhirnya dia menghampiri pintu dan membukanya dengan lebar. Terlihat sudah dua orang yang sedang tarik-menarik. Dian ingin menarik pria itu untuk pergi, sementara yang satunya berusaha untuk masuk. “Maafkan saya, Pak. Dia sangat keras kepala untuk pergi,” kata Dian yang merasa bersalah. “Saya bisa panggilkan satpam agar mengusirnya sekarang.” “Memangnya satpam ke mana? Bukan seharusnya tugas dia berjaga di depan kamar saya, Dian?” tanya Naresh. Matanya masih menatap pria di depannya dengan nyalang. “Sekarang kamu cari satpam tadi. Saya mau pecat mereka. Biar orang ini jadi urusan saya.” “Baik, Pak.” Sepeninggalnya Dian, Naresh dan pria tadi masih saling berhadapan. Pria itu langsung mengancam Naresh dengan sebuah pisau di tangannya. “Jangan berteriak atau saya bunuhh kamu!” Naresh pun tersenyum bahagia mendengar ancaman tadi. “Silakan bunuh saya saja. Kamu berani melakukannya?” *** To be continue Halo semuanya! Mulai hari ini, aku akan rutin update cerita yang ini yaa. Jangan lupa untuk tap love cerita ini agar tidak ketinggalan update terbarunya hehe. Terima kasih
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD