Keputusan

1070 Words
“Saya tidak mau memberikan kunci ini padamu.” “Jangan sampai saya merebutnya secara paksa.” “Coba aja kalau kamu bisa.” Daiva menggeram di tempatnya. Dia hendak berjalan mendekati pria itu, tetapi dia urungkan niatnya. Daiva yakin dia tidak akan berhasil mendapatkan kuncinya. Pria itu tidak mungkin membiarkannya dengan mudah. “Apa yang Anda inginkan? Seenaknya aja menculik orang sembarangan,” kata Daiva dengan mata yang melotot. Pria itu mengernyit. “Siapa yang menculik kamu?” Pertanyaan yang sukses membuat Daiva semakin marah. Perempuan itu melempar tas ke lantai dan menunjuk pria di hadapannya. “Anda pikir ini bukan penculikan? Anda membawa saya dari pinggir jalan ke sini tanpa izin. Itu namanya penculikan. Saya bisa melaporkan Anda ke polisi.” “Oh kalau itu yang kamu maksud, kamu salah sangka. Saya hanya menolongmu, bukan menculikmu,” jawab pria itu. Dia berjalan mendekati Daiva. “Menolong? Ini namanya penculikan, bukan pertolongan. Lagi pula untuk apa Anda repot-repot menolong saya? Kita berdua bahkan tidak saling kenal.” Daiva meraih kunci, tetapi tangannya justru ditangkap oleh pria di depannya. “Kalau begitu perkenalkan, nama saya Naresh, orang yang menolongmu dari preman-preman semalam.” “Paling itu hanya akal-akalan Anda aja,” sahut Daiva yang tersenyum miring. Dia masih berusaha untuk melepaskan tangannya yang digenggam erat oleh Naresh. “Kamu pikir preman itu hanya alasan saya?” Naresh mendengkus. Dia melepaskan lengan Daiva. “Kalau begitu saya menyesal telah menolongmu dari para preman kemarin. Seharusnya saya biarkan saja mereka menculikmu dan bisa melakukan apa pun terhadap tubuhmu dengan bebas. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana buruknya nasib kamu setelah itu.” Daiva ingin sekali membantah ucapan Naresh. Namun, dia merasakan kejujuran dari setiap ucapan Naresh. Sekarang perempuan itu jadi tidak enak hati. “Saya minta maaf atas perkataan saya tadi.” Naresh membalikkan badan hendak beralih ke nakas. Bibirnya tersenyum miring dengan mata yang memicing. “Jadi, siapa nama kamu?” “Nama saya Daiva. Saya ingin pergi dari sini,” jawab Daiva. Naresh berbalik dan memberikan ponsel milik Daiva. “Kamu membawa tas penuh dengan pakaian. Kamu mau pergi ke mana?” “Tidak penting dengan urusan saya. Anda tidak ada hubungannya. Sekarang berikan kunci itu dan biarkan saya pergi dari sini!” titah Daiva. “Biar saya tebak, kamu pergi dari rumah dan tidak tahu mau pergi ke mana. Makanya semalam kamu tidur di depan ruko orang tanpa alas. Apa itu benar?” Naresh tersenyum dan menatap Daiva dengan hangat. Yang ditatap justru tidak senang karena tebakan Naresh benar. “Berikan kunci itu sekarang! Sebelum saya menghubungi polisi atas kasus penyekapan.” “Hubungi saja jika kamu mau. Saya tidak merasa menyekapmu. Kamu tidak tahu harus pergi ke mana, bukan? Kenapa tidak tinggal di sini saja?” tanya Naresh. “Itu tidak akan pernah terjadi!” “Kenapa tidak? Kamu butuh tempat tinggal? Saya bisa memberikanmu tumpangan kalau kamu mau.” “Sayangnya saya tidak mau tinggal dengan Anda,” sahut Daiva. Semakin Daiva menolak, Naresh semakin tertarik pada perempuan di depannya. Pria itu berkata, “Kamu boleh tinggal di sini dengan ganti kamu harus membantuku mengurus apartemen ini. Aku juga akan memberikan gaji untukmu. Jadi, kamu tidak gratis tinggal di sini. Bagaimana?” “Apartemen ini hanya ada satu kamar. Bagaimana saya bisa tidur di sini? Jangan Anda pikir saya adalah perempuan murahan yang tergiur dengan badan Anda yang bagus dan langsung memberikan seluruh mahkota yang saya punya dengan cepat,” kata Daiva. Tebakan Naresh benar, Daiva tidak tergiur dengan badannya. Naresh semakin tertarik dengan Daiva. “Di sini ada dua kamar. Kamu boleh tidur di kamar sebelah jika kamu mau. Satu lagi, bersikaplah yang sopan padaku! Aku ini tuanmu, bukan bawahanmu. Jangan gunakan kata Anda padaku!” “Mengapa Anda membawa saya ke kamar ini kalau ternyata ada dua kamar? Saya juga belum bilang setuju untuk menjadi pembantu Anda,” sahut Daiva. Naresh berjalan melalui Daiva ke arah jendela. Dia geser gorden agar cahaya matahari masuk dan pemandangan kota dapat terlihat. Daiva takjub melihatnya. Dia tidak mengenal daerah ini. “Nanti kamu akan kabur kalau tidak aku awasi.” Daiva terbelalak menatap Naresh. Tangannya yang mengepal hanya bisa meninju udara. “Menyebalkan!” “Mau tidak mau kamu harus menjadi pembantuku. Kalau kamu tidak mau, memangnya kamu punya pekerjaan di kota ini? Punya tempat tinggal yang layak di kota ini? Kartu identitas saja tidak ada,” kata Naresh. Perkataan Naresh membuat Daiva terlonjak kaget. Perempuan itu langsung memeriksa isi tas dan mencari keberadaan dompetnya. Tidak ada dompet di dalam sana. “Kembalikan dompet saya!” Naresh kembali mendengkus. “Sudah ditolong masih saja menuduh. Dompetmu diambil oleh preman-preman itu. Tanyakan pada mereka kalau kamu ingin tahu!” “Kenapa kamu tidak merebut dompetku? Di dalam sana ada kartu ATM yang isinya ratusan juta. Kenapa kamu diam saja?” tanya Daiva dengan nada yang tinggi. “Kalau kamu tidak mau bekerja, kamu bisa pergi dari tempat ini sekarang.” Naresh membuka pintu kamar dan mempersilakan Daiva pergi. Perempuan itu mengangkat tas dan berjalan dengan mengentakkan kakinya  daiva berhenti di depan pintu sambil menatap Naresh dengan nyalang. “Di mana kamarku?” Naresh menampilkan senyum miring. Dia berhasil membuat Daiva masuk ke dalam perangkapnya. “Di sebelah. Masuk saja, tidak dikunci.” Daiva pergi meninggalkan Naresh. Perempuan itu memasuki kamar yang dimaksud oleh Naresh. Pintunya dia banting, mengartikan dia sedang kesal. “Dasar cewek tengil. Sikapmu tidak pernah berubah dari dulu, selalu saja keras kepala,” kata Naresh. Pria itu kembali masuk ke dalam kamarnya. Dia langsung mengambil ponsel yang sedang berdering. Nama Abiraka terpampang nyata di depannya. “Halo!” Naresh membuka percakapan. “Halo. Saya minta maaf karena telah gagal menikahkan Anda dengan adik saya. Adik saya pergi dan saya tidak tahu dia ke mana. Nomor HP-nya tidak bisa ditelepon. Tolong berikan saya waktu untuk mencarinya.” Abiraka langsung menjelaskan maksud dan tujuannya menghubungi Naresh. Yang dijelaskan hanya menahan tawanya. “Dia sedang bersama saya Tenang saja, biar saya yang mengurus Daiva. Saya yakin dia mau menikah dengan saya suatu saat nanti.” “Apa maksud Anda? Jadi Anda yang menculik adik saya?” Abiraka seenak jidat menuduh Naresh. Pria itu menggeram. “Adikmu pergi dari rumah. Saya yang menyelamatkannya dari preman yang berniat jahat. Apa ini caramu berterima kasih?” Tidak ada jawaban dari Abiraka. Naresh kembali melanjutkan pembicaraan. “Jangan ganggu kami berdua! Saya akan menghubungi Anda saat Daiva sudah setuju untuk menikah dengan saya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD