Peduli

1908 Words
Jangan lupa tap love dan komen ya! *** Perjalanan hidup yang lebih menyulitkan Daiva dimulai sejak dia menerima pekerjaan baru sebagai seorang pembantu. Mungkin bahasa lebih baiknya, asisten rumah tangga. Dia harus siap sedia melayani Naresh sebagai tuannya. Mulai dari membersihkan apartemen, melayani kebutuhan Naresh juga, sampai mencuci dan menyetrika baju. Hal aneh yang Daiva temukan adalah dia diminta untuk tidur di kamar khusus yang sudah Naresh siapkan. Kamar itu tepat di samping kamar Naresh, bahasa mudahnya, pintu kamar Daiva berada di kamar Naresh.  Pria gila mana lagi yang menyimpan kamar di dalam kamar? Aku pikir hanya Naresh yang berpikir seperti itu. Apa apartemen ini dibuat atas perintah dia juga? Mengapa bisa didesain segila ini? Memang benar cowok kurang ajar! Bisa-bisanya dia menyuruhku untuk tidur di tempat ini. Kalau aku ingin buang air kecil, berarti harus lewatin tempat tidur dia. Bagaimana kalau dia tidur telanjaang? Bisa gawat urusannya. Semalaman tidur di sana membuat Daiva seolah dipenjara. Dia ingin keluar kamar, tetapi Naresh sedang di kamarnya juga. Dia risih jika harus melihat wajah Naresh yang licik itu. Kalau saja dia memiliki uang, mungkin dia akan pergi dari tempat ini lebih cepat. Dia tidak mau menjadi asisten rumah tangga dari seorang Naresh Mahendra. Pagi ini Daiva sudah duduk di tepian kasurnya. Pandangannya melihat pintu yang masih tertutup. Dia ingin keluar dari kamar itu, tetapi dia yakin kalau Naresh masih di dalam kamarnya. Sehingga dia urungkan niatnya untuk pergi dan memilih untuk bengong. “Selamat pagi pembantuku. Bagaimana tidurnya semalam? Nyenyak?” Suara itu berasal dari luar kamar Daiva. Daiva mendengus kesal mendengar sapaan paginya yang tidak enak didengar. “Seperti berada di neraka! Cepat pergi dari sana atau setidaknya pakai baju!” pekik Daiva. Sekarang Daiva mendengar suara cekikikan Naresh di kamarnya. Membuat Daiva semakin geram dan segera saja ingin memaki-maki pria itu depan wajahnya.  “Oh ayo lah. Saya tidak telanjaang, kok. Kamu bisa keluar kamar,” sahut Naresh. Daiva tentu tidak langsung percaya. Dia mengintipnya dari celah lubang kunci. Setelah dipastikan aman, perempuan itu langsung membuka pintu perlahan-lahan. Pintu kamar Daiva akhirnya terbuka, menampilkan sosok perempuan dengan piyama tidurnya yang berwarna kuning cerah. Matanya langsung terbelalak melihat Naresh yang lagi-lagi bertelanjaang dadaa. Daiva pun menutup mata dengan kedua tangannya. “Bisa kau tidur pakai baju? Kalau saya ingin ke toilet waktu malam hari bagaimana? Apa kau tidak memikirkan sampai sejauh itu?!” Daiva mengajukan protes. Itu yang Naresh suka, Daiva yang marah-marah. Naresh justru tidak ambil pusing. Dia berjalan mendekat dan berdiri di hadapan Daiva. Pria itu berusaha melepas telapak tangan Daiva yang menutup matanya. Tentu saja dia tidak memaksa, dia bersikap sangat gentle. “Tidak perlu bersikap naif, Iva. Kamu sebenarnya suka dengan lekukan tubuh saya, kan?” Naresh berhasil melepaskan telapak tangan Daiva. Sekarang mata Daiva menatap wajah Naresh di depannya tanpa berkedip. Tatapan mereka pun bertemu dan Daiva langsung membeku. “Kalau mau ke toilet ya silakan saja. Saya tidak menahan kamu untuk terus berada di kamar,” kata Naresh. Daiva tidak mau berdebat lagi. Pria di depannya selalu ada jawaban untuknya. Dia memilih untuk keluar dari sana dan melakukan pekerjaannya. Semua catatan yang Henri berikan semalam sudah Daiva ingat. Katanya hanya beberapa kegiatan rutin yang Naresh lakukan. Daiva harus melakukan ini, membuat itu, menyiapkan ini juga, dan sebagainya yang membuat Daiva sangat enek. Satu kalimat yang terlintas setelah Henri menjelaskan, "Sepertinya pria ini banyak mau. Pantas saja ganteng tapi jomlo!" Hal pertama di pagi yang harus Daiva siapkan adalah s**u hangat. Sembari menunggu Naresh mandi, Daiva juga harus menyiapkan pakaian formal tuannya. Tidak lupa dia jejerkan dengan rapi, dasi, blazer, bahkan minyak wangi untuk hari Rabu sesuai perintah Henri. “Pak Naresh pakai parfum dengan botol yang berbeda setiap harinya. Jadi, kamu harus siapin parfum itu di meja atau lebih bagus kalau kamu sejajarkan di pakaiannya juga,” kata Henri. “Yang bener aja? Untuk apa dia bedakan hari demi harinya?” tanya Daiva. “Agar dia tahu hari apa nanti. Sudah, kamu tidak perlu protes! Lakukan apa yang aku suruh saja!” “Sebentar, Henri. Kamu bilang itu kegiatan rutin yang kamu lakukan, kenapa kamu suruh saya siapkan semua itu sementara pagi ini saja kamu tidak datang?” “Pak Naresh bilang tidak perlu sebab dia bisa melakukannya sendiri. Tadi siang saya pikir Pak Naresh dibantu kamu, ternyata tidak. Apa yang kamu lakukan pagi ini jadinya?” Daiva menghentakkan kaki mengingat kejadian semalam. Tambah lagi daftar hal yang Daiva benci dari diri Naresh. “Tentu saja berdebat dengan pria jahat itu. Apa lagi yang aku lakukan kemarin?” Setelah Daiva menyiapkan semua persiapan Naresh untuk bekerja, dia pun keluar kamar. Sepatu pantofel berwarna hitam juga sudah dia semir kembali hingga terlihat semakin kinclong. “Bagus!” kata Naresh setelah melihat sepatunya sudah bersih.  “Aaah!” pekik Daiva yang terkejut. Perempuan itu berdiri dan membalik badan. Naresh sudah berdiri di hadapannya sekarang dengan rambut dan dasi yang berantakan.  "Kamu melakukan pekerjaan dengan benar. Saya tidak menyesal menjadikan kamu pekerja. Cepat rapikan dasi dan rambut saya!” titah Naresh. Dia memejamkan matanya, menunggu tangan lentik Daiva menyentuh dirinya. Namun, Daiva justru terbelalak mendengar perintah tuannya. “Rambut? Kamu tidak bisa menyisir sendiri? Sampai harus disisir orang lain? Dasar anak kecil!" “Oh Henri tidak bilang pada kamu tentang ini? Baiklah ....” Daiva kembali mengingat perintah Henri semalam. Dia mencari perkataan Henri tentang hal yang harus dilakukan di pagi hari. “Setelah Pak Naresh rapi dengan kemejanya, dia pasti akan keluar untuk dirapikan dasinya. Nanti kamu rapikan dasi dia, ya! Setelah itu kamu harus memakaikan sepatu untuknya juga! Jangan lupakan kaus kakinya juga!” “Jadi selama ini kamu merapikan dasi dia? Apa kamu tidak memiliki perasaan pada dia, Henri? Mendengarnya saja membuat saya ingin tertawa,” sahut Daiva. “Sejujurnya saya sudah kehilangan rasa untuk menyukai siapa pun. Saya tidak bisa mencintai orang lain. Sekarang saya harus loyal saja pada atasan saya,” jawab Henri. Setelah mengingat perintah Henri, Daiva langsung membantahnya. “Henri tidak bilang untuk menyisir rambut kamu. Dia hanya bilang merapikan dasi.” “Oke berarti mulai hari ini, kamu harus menyisir rambut saya! Ayo lakukan!” Daiva tidak bisa membantahnya lagi. Dia sadar kalau posisinya sekarang adalah pembantu, orang yang harus menurut perintah tuannya. Jika perintahnya tidak masuk akal, Daiva baru bisa membantahnya. “Sudah rapi rambut dan dasinya,” kata Daiva. Suaranya seperti orang yang marah. “Apa lagi yang harus saya lakukan, Tuan Naresh? Saya harus membantu Anda untuk makan? Saya harus suapin kamu makan begitu?"  Naresh tertawa geli mendengar logat Daiva yang sedang marah. Ingin sekali dia cubit pipinya yang tebal ketika sedang menggembung. “Sebentar. Biar saya lihat hasil pekerjaan kamu.” Naresh berkaca dan memperhatikan setiap lekuk sisiran rambut yang Daiva lakukan. Betapa terkejutnya Naresh sampai matanya membulat. “Sisiran macam apa ini?” tanya Naresh. Daiva hanya tersenyum malu. “Ya ... ya itu yang saya tahu. Sisiran agar rapi saja.” “Ini tidak ada style sama sekali! Kau lihat saya seperti apa? Orang yang culun!” ketus Naresh. Daiva langsung bete dinilai seperti itu. Seolah tidak ada terima kasihnya. “Lantas harus seperti apa? Jangan banyak minta!” balas Daiva. “Ingat bagaimana bentuk style rambut saya kemarin?” tanya Naresh. Daiva mengangguk. “Sepertinya ingat.” “Rapikan rambut saya seperti kemarin!” Naresh kembali memejam dan menghadapkan wajahnya dekat dengan wajah Daiva. “Saya tidak bisa!” tegas Daiva. "Saya bukan tukang cukur!" “Mau tukang cukur atau bukan, kamu harus membuatnya seperti kemarin! Kamu harus bisa! Ayo!” Daiva semakin panas mendapati jawaban naresh seperti itu. “Bagaimana caranya harus bisa? Kamu ini sudah gilaa, ya?” “Cepat lakukan!” Naresh memandangnya dengan tajam yang membuat Daiva terdiam. “Ayo!” “Oh astaga! Kenapa kamu tidak buunuh saya sekalian saja, ya?” Daiva akhirnya mencoba sebisa mungkin menuruti keinginan Naresh. Dalam hati pria itu bersorak karena berhasil membuat Daiva kesusahan. Namun, dia juga senang karena bisa dekat dengan Daiva. “Sisir yang benar! Jangan terpesona sama wajah tampan saya!” ucap Naresh begitu percaya diri. Tidak bisa secepat itu Daiva terpesona. Apalagi dengan serentetan hal yang tidak Daiva sukai dari Naresh. Bagaimana mungkin Daiva terpesona? “Jangan menghayal! Lebih baik saya jadi perawan tua daripada harus terpesona dengan cowok seperti kamu,” kata Daiva. Naresh tidak mungkin menyerah untuk mendapatkan hati Daiva. Setelah sekian lama dia menantikan, tidak mungkin dia melepaskan Daiva dengan mudah. Walaupun dengan sedikit cara kotor, tetapi tidak seutuhnya dia melakukan cara kotor. Dia berusaha juga pada akhirnya. “Hati-hati! Omongan itu doa. Bagaimana kalau akhirnya kamu jadi perawan tua karena hanya mencintai saya seorang?” tanya Naresh yang berhasil membuat Daiva kembali marah. Perempuan itu terdiam dan mendengkus sebentar. “Kenapa saya harus mendapatkan kesialan seperti ini?” gumamnya. Naresh hanya tertawa kecil mendengarnya. Setelah itu, Daiva berlalu tanpa mau mendengar panggilan Naresh. Dia buru-buru menyiapkan secangkir s**u hangat untuk tuannya. Harapnya setelah minum s**u, Naresh akan pergi dengan cepat. Belum pergi Naresh dari apartemen, pria lain masuk ke dalam tanpa permisi. Siapa lagi kalau bukan Henri? “Oh kamu sudah datang? Sudah sarapan?” tanya Naresh. “Kalau belum kita sarapan bersama saja. Kamu sudah masak apa pagi ini, Va?” Daiva langsung menoleh dan secara tidak sadar dia mengumpat. “Berengsek!” Naresh mulai tidak suka mendengar umpatan yang keluar dari mulut Daiva. Malam ini dia akan menghukum perempuan itu agar tidak sembarangan berkata. “Ada apa lagi? Bukannya Henri sudah bilang hal itu semalam?” “Maaf, Pak. Saya melupakan hal itu. Makanya saya bawa sarapan pagi ini,” kata Henri sambil mengeluarkan satu kantong plastik. “Saya belikan Bapak nasi uduk di depan komplek perumahan seberang.” Sementara Naresh dan Henri menikmati hidangan sarapan, Daiva hanya bisa duduk di belakang meja dapur. Hingga dia tidak terlihat oleh Naresh dan Henri. Wajahnya kusut dengan rambut yang acak-acakan. Seolah dia membenci keputusannya pergi dari rumah. “Kenapa kamu terlihat kusut?” Daiva lagi-lagi terkejut dengan kehadiran Naresh di sebelahnya. Wajah mereka yang begitu dekat membuat Daiva memundurkan tubuhnya. “Kamu ada banyak pikiran, ya?” tanya Naresh lagi. “Bisa jangan kejutkan saya lagi lain kali? Saya sedang lelah,” kata Daiva dengan lirih. Naresh langsung terkejut mendengarnya. Padahal tadi Daiva sangat bersemangat membentaknya. “Kamu kehabisan baterai? Kenapa tidak diisi dulu tadi?” “Saya sedang malas untuk bercanda. Bisa tinggalkan apartemen ini segera? Saya ingin istirahat.” Naresh langsung menyentuh kening Daiva. Sedikit panas. “Kita ke rumah sakit.” “Tidak perlu!” “Ke rumah sakit! Saya tidak mau kamu sakit! Paham?” Daiva kembali terdiam ditatapan seperti ini. Jujur saja, Daiva tidak takut dengan tatapan mata Naresh. Namun, dia seolah terhipnotis untuk diam jika ditatap seperti itu oleh Naresh. “Saya bisa ke rumah sakit sendiri,” kata Daiva. “Lagi pula jangan manja! Ini hanya demam sedikit, pasti kurang istirahat karena kemarin kelelahan. Lebih baik sana kamu pergi!” Daiva bangkit dan berjalan menuju kamar. Dia meninggalkan Naresh yang terus melihatnya berjalan. Perasaan bersalah menghantui Naresh sekarang. “Bawa dia ke rumah sakit hari ini! Jangan sampai dia sakit atau kamu yang saya hukum.” Naresh mengambil blazer di dekat sofa sana lalu dia membuka pintu kamarnya. “Belikan handphone juga untuk dia. Belikan kartu sim dan simpan nomor saya di sana! Jangan sampai dia kesepian di apartemen ini, bilang sama petugas apartemen, siapkan televisi juga dan kalau bisa belikan banyak makanan ringan untuk Daiva. Paham dengan ucapanku, Henri?” *** To be continue
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD