Entah dapat angin apa, Evan yang awalnya melajukan roda empatnya menuju apartemen, kini justru menuju ke area pertokoan di mana Maira bekerja. Tepat saat itu, Evan melihat Maira tampak sedang menunggu kendaraan umum. Evan pun segera menepikan mobilnya di depan halte di mana Maira sedang duduk menunggu.
"Maira, ayo masuk!" panggil Evan membuat Maira yang sebenarnya sedang melamun seketika tersentak. Ia sedang melamunkan keberadaan sang ibu yang entah ke mana. Meskipun ibunya selalu mengabaikannya, tetapi naluri seorang anak tetap saja menyayangi sang ibu. Berharap suatu hari nanti sang ibu bisa melembutkan hatinya dan menerima dirinya sebagai anaknya.
"Eh, Om sengaja jemput Maira?" tanyanya sambil membuka pintu mobil.
"Nggak. Saya tadi kebetulan lewat dan liat kamu," kilahnya yang diangguki Maira. Dia percaya saja dengan apa yang Evan katakan. Toh apa pentingnya dia sampai Evan bela-belain menjemputnya. Tak ada.
Maira pun segera masuk ke dalam mobil. Tak lama kemudian, mobil pun melaju meninggalkan area halte.
"Tuh, Kak Jaki liat sendiri 'kan? Dia itu sekarang jadi simpanan Om-om. Makanya gayanya sekarang lebih keren. Punya baju bagus. Ada cincin emas pula. Aku bener-bener nggak nyangka, gadis yang keliatan polos itu ternyata ...."
Belum sempat Sumi menyelesaikan perkataannya, Jaki sudah lebih dulu melajukan motornya meninggalkan Sumi di pinggir jalan. Sumi berteriak memanggil nama Jaki, tapi Jaki justru mengabaikannya.
"Sialan!"
***
"Om, nanti malam Maira nginap di rumah sakit, ya?" ujar Maira meminta izin.
"Memangnya dikasi izin sama dokter?"
"Em, dikasi sih."
"Kenapa jawabnya ragu gitu?" tanya Evan heran. Maira meringis.
"Soalnya kamar rawat inap nenek tuh kecil. Nggak ada bed tambahan. Jadi kalau mau nginep ya mesti tidur di lantai," ujar Maira jujur.
"Aku kenalan sama nenek kamu, boleh?"
"Jangan!" seru Maira panik.
"Lho, kenapa? Kok nggak boleh."
"Ya, gimana ya, Om, entar nenek banyak tanya terus kita keceplosan alasan kita nikah 'kan gawat. Maira nggak mau nenek jadi sedih saat tau kejadian ini nimpa aku. Nenek juga pasti bakal semakin marah sama Mama," ujar Maira.
"Memangnya sampai sekarang Mama kamu nggak ada kabar?" Evan mencoba mengorek informasi.
Maira menghembus nafas kasar kemudian menggeleng. Kemudian ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela.
"Nggak ada, Om. Maafkan Mama ya, Om. Tapi sungguh, Maira beneran nggak tau Mama ke mana. Maira mohon, maafin Mama ya, Om. Nggak tau kenapa, Maira merasa kalau Mama pasti punya alasan kuat kenapa sampai pergi. Maira emang nggak tau apa alasannya, tapi yang pasti, Maira yakin, Mama nggak mungkin sampai ngilang gini kalau nggak ada alasan yang kuat," ujar Maira penuh keyakinan.
Padahal Maira seharusnya membenci ibunya yang sudah menelantarkan dia dan membuatnya harus terjebak dalam pernikahan yang tidak ia inginkan, tetapi sayangnya ia tak bisa. Apalagi beberapa orang sudah sedikit banyak memberikan titik terang alasan sang ibu membencinya.
Sebaliknya, Maira justru membenci ayahnya sebab baginya ayahnyalah penyebab ibunya membenci dirinya dan ayahnyalah penyebab ia harus lahir di luar nikah dan tanpa dukungan keluarga yang utuh. Bohong bila kita ia tidak menginginkan keluarga yang utuh. Maira sering iri melihat teman-temannya yang memiliki keluarga utuh. Disayangi kedua orang tuanya. Sangat iri. Namun, buka iri karena tak suka. Melainkan iri karena ia pun ingin sekali merasakan kasih sayang keluarga yang utuh seperti mereka.
Evan ingin sekali bertanya tentang Maira dan ibunya, tetapi melihat raut sendu di wajah Maira membuat Evan mengurungkan niatnya.
"Mau makan bakso?" tawar Evan.
"Apa? Bakso? Mau, Om. Mau. Yang isi cabe ya?"
"A-apa? Isi cabe?" Evan yang tidak tahan pedas seketika menelan ludah.
***
"Wah, sepertinya ada kecelakaan, Om," ujar Maira saat melihat pinggir jalan yang ramai disertai gema sirine yang entah kenapa membuat jantung Maira bertalu-talu. Mereka baru saja pulang makan bakso. Jadi hari sudah hampir malam saat itu.
"Iya." Evan hanya menjawab pendek sebab matanya sedang memperhatikan jalanan yang sedikit padat akibat banyak pengemudi yang menepikan kendaraannya untuk melihat apa yang terjadi.
"Stooop!" pekik Maira tiba-tiba membuat Evan terpaksa mengerem mendadak.
"Maira, apa-apaan sih? Bagaimana kalau sampai menabrak orang karena ulahmu ini!" sentak Evan kesal.
"Ma-maaf, Om. Liat itu! Mo-mobilnya kayaknya familiar. Kayak mobil ... ah, iya, mobil Om yang kemaren," pekik Maira membuat Evan pun mengalihkan pandangannya ke arah kerumunan. Namun sayang, kini mobil itu sudah ramai dikelilingi orang-orang. Tampak ada petugas yang sedang membantu pengemudi itu keluar dari dalam mobil.
Evan lantas berinisiatif untuk melihat. Jelas saja ia khawatir, bagaimana kalau itu benar-benar Aidil. Setelah menepikan mobil, Evan pun gegas keluar.
"Aku ikut, Om," seru Maira. Evan pun mengangguk. Karena mobil yang mengalami kecelakaan posisinya ada di seberang jalan, Evan pun menggandeng tangan Maira. Maira yang melihat tangannya digandeng Evan tersenyum hangat. Ini pertama kalinya ada seorang laki-laki yang menggandeng tangannya. Ada rasa hangat dan bahagia yang menyusup di relung hati tanpa ia sadari.
Saat sudah berada di seberang, jantung Evan berdetak kencang saat melihat mobil yang bumpernya terlihat penyok karena menabrak tiang listrik. Dengan jantung yang berpacu kencang, Evan pun segera melihat sosok yang sedang terduduk lemas dengan dahi yang berdarah.
"Aidil," pekik Evan sambil meringsek mendekat. "Saya keluarganya, permisi!" Evan meminta jalan pada orang-orang yang berkerumun. Tampak petugas polisi yang baru saja membantu Evan keluar dari dalam mobil pun menoleh ke arahnya.
"Saya keluarganya," ucap Evan. Polisi itu mengangguk. Evan pun segera berjongkok di depan Aidil.
"Dil, kau tidak apa-apa?" tanya Evan cemas. Aidil menoleh kemudian mengangguk. Saat melihat wajah pucat Maira, Aidil pun tersenyum. Padahal wajahnya tampak pucat karena darah yang mengucur deras, namun ia masih sempat tersenyum pada Maira. Tak lama kemudian, petugas medis pun segera memeriksa keadaan Aidil. Setelahnya, mereka membawa Aidil ke dalam mobil.
"Om, aku temenin Om itu dulu aja. Om nyusul pake mobil Om, ya," ujar Maira yang entah mengapa benar-benar khawatir melihat Aidil. Sementara Evan, entah mengapa ia merasa kesal melihat perhatian Maira pada Aidil. Ingin mencegah, tetapi Maira sudah lebih dulu menyusul ke dalam ambulance. Evan hanya bisa menghela nafas panjang. Setelahnya, ia segera berlari ke dalam mobil untuk menyusul ambulance yang sudah melaju lebih dulu membawa Aidil dan Maira.
***
"Apa?" pekik Naysila. Teman-teman Naysila terkejut saat mendengar suara Naysila yang meninggi. "Baik, Kak, aku segera menyusul ke sana," ucapnya sebelum menutup panggilan.
"Ada apa, La?" tanya teman Naysila.
"Mas Aidil kecelakaan. Aku ke rumah sakit dulu, ya," ucap Naysila yang gegas berdiri dan berjalan keluar cafe. Namun, karena terlalu terburu-buru, ia tanpa sadar menabrak seseorang. Beruntung, seseorang itu dengan cepat menangkap tubuhnya hingga tidak terjatuh.
"Aaargh ...," pekik Naysila. "Kau bisa hati-hati tidak sih?" sentak Naysila sebelum akhirnya terkejut setelah kepalanya mendongak.
"Sila ...."
"Kak ...."
Bersambung