bc

Terpaksa Menikahi Calon Ayah Tiriku

book_age18+
16
FOLLOW
1K
READ
HE
confident
heir/heiress
bxg
like
intro-logo
Blurb

Maira terpaksa menjadi pengantin pengganti calon ayah tirinya karena sang ibu yang tiba-tiba melarikan diri di hari pernikahannya. Diantara kebingungan yang menyergap, ia terpaksa bersedia menjadi pengantin pengganti sebagai bentuk pertanggungjawaban."Ibumu sudah melarikan diri dengan membawa uangku. Karena itu, kau harus bertanggung jawab dan bersedia menikah denganku. Tidak ada penolakan kecuali kau bersedia aku penjarakan!" Jelas saja Maira takut. Ia tidak memiliki alasan untuk menolak. Apalagi ia masih harus merawat neneknya yang dirawat di rumah sakit. Ia harus bekerja untuk membayar biaya pengobatan sang nenek. Bila ia dipenjara, bagaimana nasib neneknya? Alhasil, Maira pun terpaksa menikah dengan calon ayah tirinya itu. Namun, apakah pernikahan itu bisa bertahan sementara mereka tidak saling mencintai?

chap-preview
Free preview
Bab 1. Calon Pengantin yang Menghilang
Terdengar suara bel yang ditekan berkali-kali membuat Maira yang tadi masih tenggelam dalam tidur lelapnya terpaksa membuka mata. Ia bangkit dari tempat tidur sambil mengucek kedua matanya. Ia berjalan sempoyongan ke arah pintu sambil menutup mulutnya yang menguap. "Hoam ... Siapa sih? Sabar dikit kenapa?" omel Maira karena bel yang ditekan berkali-kali. Maira pun membuka pintu. Ternyata yang datang adalah MUA yang bertugas mendandani sang ibu yang akan menikah pagi ini di masjid terdekat. "Hei, Cantik! Maaf ganggu tidur kamu. Tapi Mama kamu udah harus mulai bersiap. Mama kamu udah bangun 'kan?" tanya wanita itu. "Nggak tau, Tan. Sebentar, ya, Maira liat dulu. Masuk dulu, Tan!" ajak Maira pada Jarum jam masih menunjukkan pukul 4 pagi. Masih terlalu pagi memang, tetapi untuk mempersiapkan calon pengantin memang tak semudah itu. Butuh waktu yang cukup lama agar bisa tampil maksimal. Maira pun segera berjalan menuju kamar sang ibu. Ia mengetuk-ngetuk pintu dan memanggil nama sang ibu, tetapi jangankan pintu terbuka, respon pun tidak ada sama sekali. Maira yang merasa heran pun segera membuka pintu. "Ma, Mama, ada Tante Lia, Ma. Mama di mana?" panggil Maira seraya melangkah masuk ke dalam kamar sang ibu. "Ma, Mama ...," panggilnya lagi. Mata Maira mengedar ke sekitar mencari keberadaan sang ibu, tetapi ia tak kunjung melihatnya juga. "Mama ... Mama di dalam, ya?" tanya Maira sambil mengetuk pintu kamar. Namun, hasilnya tetap sama, tak ada respon. Maira membuka pintu kamar mandi. Ia juga tak mendapati ibunya di dalam sana. Jantung Maira seketika berdebar. Ia pun segera mencari sang ibu ke segala penjuru rumah, namun tak juga menemukannya. "Mama kamu mana, Mai? Ini sudah jam setengah lima lho. Entar kesiangan," ujar Lia yang berdecak seraya menatap jarum jam di pergelangan tangannya. "Mama nggak ada, Tan. Maira nggak tau Mama ke mana," ucap Maira panik. "Nggak ada? Apa dia keluar? Memangnya Mama kamu nggak ada kasi tau kamu mau pergi ke mana gitu?" "Nggak ada, Tan." Maira menggeleng tegas. Karena kenyataannya sang Mama memang tidak ada mengatakan apa pun semalam sebelum mereka akhirnya tidur di kamar masing-masing. "Sudah kamu coba hubungi?" tanya Lia. "Belum, Tan. Sebentar. Maira ambil hp dulu." Maira pun segera berlari ke kamarnya untuk mengambil handphone. Ia juga segera menekan nomor ibunya dan menghubunginya, namun nomor sang ibu ternyata tak dapat dihubungi. Maira mencoba menghubungi sang Ibu berkali-kali, tetapi hasilnya tetap sama. Nomor sang Ibu sepertinya sudah tidak aktif. Maira kembali ke depan dengan wajah panik. Matanya sudah memerah. Ia tidak tahu harus berbuat apa sekarang. "Tan, bagaimana ini, Mama nggak bisa dihubungi. Nomornya nggak aktif," ucap Maira yang matanya sudah diselimuti kabut bening. Penampilannya yang kacau karena baru bangun tidur semakin terlihat kacau karena kegelisahannya yang tidak kunjung menemukan sang ibu. "Apa?" Lia pun ikut terkejut. Ia pun mencoba menghubungi Ibu Maira, tetapi hasilnya ternyata sama saja. "Benar. Nomor ibu kamu nggak aktif. Coba kamu periksa kamar mama kamu, Mai!" perintah Lia. Maira pun menuruti perintah Lia dan segera berlari menuju kamar sang Ibu. Lia mengekori di belakangnya. Maira segera mengecek barang-barang sang ibu termasuk lemari pakaiannya. Maira seketika terduduk lemas saat mendapati sebagian barang-barang sang Ibu sudah tak ada di tempatnya termasuk pakaian, perhiasan, dan alat make up-nya. Maira menangis sejadi-jadinya. Ia bingung harus berbuat apa. "Ma, Mama ke mana? Kenapa Mama pergi meninggalkan Maira? Ma, Mama," lirih Maira dengan derai air mata yang menghiasi pipi. "Mai ...," panggil Lia. Ia ikut iba dengan apa yang gadis itu alami. Ia sendiri heran, ke mana Renita pergi. Lia memang sudah mengenal Renita karena sering datang ke salon miliknya untuk melakukan perawatan. Oleh sebab itulah, di usianya yang ke-35 tahun, ia masih terlihat cantik. Ia pun tak heran masih ada laki-laki yang mau dengannya sebab Ranita memang masih terlihat cantik dan modis. "Mama ke mana, Tan? Kenapa Mama pergi meninggalkan aku begitu saja? Mama pergi tanpa pamit. Padahal Mama mau menikah hari ini, tapi kenapa Mama justru pergi ninggalin Maira, Tan? Bagaimana kalau Nenek tau Mama pergi? Bagaimana kalau Nenek drop lagi? Maira takut, Tan. Maira takut Nenek pun meninggalkan Maira. Maira takut," lirih Maira sambil sesenggukan. Lia yang tak kuasa melihat kesedihan Maira. Ia pun berjongkok dan memeluk Maira sambil mengusap punggungnya. Berharap dengan begitu Maira bisa sedikit tenang. "Tenanglah. Belum tentu Mama pergi ninggalin kamu. Bisa jadi dia pergi menemui calon ayah tiri kamu, Mai. Ah, benar. Bisa saja Renita kangen sama calon suaminya itu 'kan, makanya pergi diam-diam. Begini saja, coba kamu hubungi calon ayah tiri kamu itu. Kamu punya 'kan nomor teleponnya?" ucap Lia membuat Maira mendongak. Ia membenarkan apa yang Lia barusan katakan. Dengan segenap harapan, Maira pun mencoba menghubungi calon suami ibunya itu. Panggilan pertama, diabaikan. Panggilan kedua sama. Barulah pada panggilan ketiga, panggilannya diangkat. Saat suara diseberang sana terdengar, mendadak jantung Maira berdegup kencang. Rasa takut dan was-was menjadi satu. "Ha-halo, Om Evan," ucap Maira gugup. "Ya. Halo. Ini siapa, ya?" sahut laki-laki yang bernama Evander itu. "I-ini, Maira, Om." "Maira? Maira siapa?" tanya Evan bingung. Ia tidak ingat dengan nama Maira sebab mereka nyaris tidak pernah berinteraksi. Bahkan kalau Maira ingat-ingat mereka baru dua kali bertemu. Pertama saat mengantarkan ibunya pulang, lalu kedua saat ibunya mengatakan akan menikah dengan laki-laki yang meskipun secara usia sudah begitu matang dan dewasa, tapi masih terlihat muda dan gagah. Entah berapa kisaran usia laki-laki itu, Maira tak tahu. Sebab tidak ada kesan bapak-bapak di wajahnya. Bahkan Maira pernah berpikir, usia Evan justru lebih muda dari ibunya. "Maira anak Mama Renita, Om," ujar Maira lagi yang semakin dilanda kegugupan. "Oh. Ada apa, ya? Kenapa telepon sepagi ini?" tanya Evan terdengar dingin membuat Maira semakin dilanda ketakutan saja. "Be-begini, Om, apa Mama ada sama Om? Soalnya tadi Maira cari-cari, tapi nggak ada di rumah," ucap Maira pada akhirnya membuat dahi Evan seketika mengernyit. Namun, Maira jelas tidak bisa melihatnya. "Apa maksudmu? Renita tidak ada? Memangnya dia ke mana? Dia tidak ada di sini. Jangan bercanda, kamu! Jangan coba main-main pada saya. Saya tidak suka orang yang suka main-main," sentak Evan dengan suara menggelegar membuat jantung Maira kembali berdegup kencang. Bahkan kini degupannya semakin tak terkendali.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Mate and Brother's Betrayal

read
456.4K
bc

The Pack's Doctor

read
110.6K
bc

The Triplets' Fighter Luna

read
181.7K
bc

Claimed by my Brother’s Best Friends

read
162.8K
bc

Her Triplet Alphas

read
8.3M
bc

La traición de mi compañero destinado y mi hermano

read
148.2K
bc

Ex-Fiancé's Regret Upon Discovering I'm a Billionaire

read
124.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook