Bab 17. Maaf

1125 Words
Aidil menyetir mobil dengan perasaan gusar. Hatinya benar-benar kacau. Memori masa lalu selalu saja menghantui. Perasaan bersalah yang tak pernah terobati hingga kini. "Kau di mana, Ta? Bagaimana keadaanmu? Bagaimana keadaan anak kita? Maafkan aku. Maaf," lirih Aidil dengan mata memerah menahan tangis. Buncahan kesedihan yang meraja hati. Luka tak kasat mata yang ia rasa bertahun-tahun. Namun, ia sadar, luka ini belum seberapa dibandingkan luka yang sudah ia torehkan pada seorang wanita di masa lalunya. "Kak, aku hamil," adu seorang gadis yang masih mengenakan seragam abu-abu. Laki-laki yang tak lain adalah Aidil itu pun segera duduk di samping gadis itu. "Apa? Kamu serius?" tanya Aidil dengan sorot mata penuh keterkejutan. Gadis itu pun mengangguk seraya mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Kepalanya celingak-celinguk, memastikan tidak ada seorang pun yang mendengar pembicaraan mereka sebab taman itu ada di dekat sekolah. Dengan perlahan, gadis itu menunjukkan sebuah benda pipih pada Aidil. Aidil mengusap wajahnya kasar setelah melihat benda itu. "Kak, jadi gimana? Aku ... takut," lirih gadis itu dengan mata memerah. Aidil pun segera menggenggam tangan gadis itu dengan erat. Ditatapnya gadis itu dengan sorot mata lembut dan penuh cinta. "Kamu jangan takut, ya! Kakak pasti bertanggung jawab. Kamu tau 'kan kalau Kakak cinta banget sama kamu," ucap Aidil membuat Aidil membuat gadis itu tersenyum lebar. Tanpa mereka tahu, ada sepasang mata yang menatap benci ke arah mereka. Khususnya pada gadis itu. Setelahnya, gadis itu pun segera pergi dari sana. *** "Ma, aku mau bicara," ucap Aidil sepulangnya ke rumah. "Apa?" tanya seorang wanita pada sang putra. "Nggak kuliah kamu?" Wanita yang tak lain adalah ibunya Aidil itu justru balik bertanya. Sebab tadi Aidil mengatakan ada kelas siang, tapi kenapa belum 2 jam dia pergi, Aidil sudah pulang kembali. Aidil menggeleng. "Ada hal penting yang ingin aku sampaikan," ucap Aidil. "Apa?" tanya mama Aidil. "Ma, aku sudah menghamili seorang gadis," ujar Aidil. Sontak saja, mata mama Aidil membulat sempurna. "Jangan bercanda kamu, Aidil! Kamu itu masih kuliah. Nyari duit sendiri aja belum bisa, malah ngomong sembarangan." "Aidil serius, Ma. Aidil nggak bohong." "Kamu gila, Dil! Mau kamu taruh mana muka mama dan papa kalo ada yang tau apa yang sudah kamu lakukan," sentak mama Aidil. "Makanya, aku mau bertanggung jawab sebelum perutnya semakin besar." "Katakan, siapa dia? Apa dia Sila?" "Sila?" "Iya. Apa kamu nggak nyadar kalo Sila itu suka sama kamu?" Aidil menggeram. "Gadis itu bukan Sila, Ma." "Apa? Siapa dia? Apa teman kampusmu? Bagaimana dengan keluarganya? Apa keluarga mereka juga kaya seperti keluarga Sila?" "Ma, kenapa apa-apa Sila? Aku saja tidak pernah dekat sama sekali dengan Sila. Aku suka ke rumahnya hanya karena aku berteman dengan Evan, bukan yang lain," jelas Aidil sedikit kesal karena mamanya selalu saja menyebutkan nama Naysila. Mamanya memang cukup dekat dengan Naysila sebab kedua orang tuanya pun berteman. Bahkan ia bisa mengenal Evan pun karena kedua orang tua mereka yang berteman. Selain itu, ternyata keluarganya memiliki hutang budi pada keluarga Evan. Dulu ayahnya pernah mengidap sakit jantung dan membutuhkan biaya operasi yang cukup besar. Mereka bukan keluarga kaya raya. Alhasil, saat itu mereka kekurangan biaya sebab pada saat itu ayahnya lama terbaring di ranjang rumah sakit. Sementara ayahnya adalah tulang punggung keluarga. Haidar pun membantu membiayai semuanya, mulai dari biaya berobat, biaya sekolahnya, dan kebutuhan sehari-hari. Mama Aidil memicing tajam. "Jadi, jelaskan siapa gadis itu?" "Nita. Namanya Nita. Dia teman satu sekolah Sila. Dia gadis biasa. Ibunya bekerja di kantin sekolah. Dia ...." "Mama tidak setuju," ucap mama Aidil tiba-tiba membuat Aidil tersentak. "Ma." "Kata Mama nggak ya nggak. Bisa saja gadis itu bukan hamil anakmu. Jangan mudah percaya dengan kata-kata busuk gadis itu, Aidil. Mama yakin, gadis itu tak lebih dari gadis murahan yang berharap bisa menjadi Cinderella dengan memanfaatkan tubuhnya." "Nita tidak seperti itu, Ma. Dia gadis yang baik dan lugu. Justru Aidil-lah laki-laki yang pertama menyentuhnya. Aidil-lah yang merayunya untuk melakukan itu. Dia gadis baik-baik, Ma. Aku akan memperkenalkan Mama sama dia, Mama pasti suka." Tak peduli dengan penolakan sang Mama, keesokan harinya, Aidil pun benar-benar membawa kekasihnya ke rumah untuk diperkenalkan dengan sang ibu. Namun, sang ibu tetap merespon dingin. Hingga saat Aidil pergi ke kamar mandi, ibunya pun mulai mengintimidasi gadis itu. "Jangan kau harap kau bisa memanfaatkan kepolosan dengan kehamilanmu ini. Kau pikir aku percaya kalau kau mengandung anak putraku? Tidak. Dan kalaupun benar anak ini adalah anak Aidil, aku tetap menolaknya. Kau tau kenapa?" Gadis itu menggeleng dengan matanya yang memerah. "Karena kau hanya seorang gadis miskin yang tak lebih dari seorang benalu. Dan kau tidak pantas mengandung anak putraku. Jadi lebih baik kau pergi jauh-jauh dari hidup putraku karena sampai kapanpun aku takkan pernah menerimamu." Dengan menahan gemuruh di hati, gadis itu berusaha bertahan. Tak peduli sikap ibunya dingin dan tak mau menerimanya, karena baginya yang terpenting adalah cinta sang kekasih. Namun, beberapa hari kemudian, gadis itu mulai merasakan kehilangan. Aidil mulai tak dapat dihubungi hingga terdengarlah berita pernikahan salah satu temannya. Gadis itu tampak biasa saja. Hingga Minggu berganti, Aidil tak pernah menghubunginya sama sekali. Gadis itu pun nekat menemui Aidil di rumahnya. Hingga fakta pun terkuak kalau Aidil_kekasihnya ternyata telah menikahi salah seorang teman sekolahnya. "Kau pasti kenal gadis cantik ini 'kan? Kau tau dia siapa? Dia adalah istri Aidil. Kau lihat perbedaan dirimu dan dirinya, bagai langit dan bumi. Aku harap kau sadar diri. Segera pergi tinggalkan Aidil kalau kau tidak mau hidupmu ku hancurkan," ancam Mama Aidil. "Sila, bukankah kau tau aku sudah berpacaran dengan Kak Aidil? Kenapa kau justru menikah dengannya? Kau tau, aku saat ini sedang hamil anak Kak Aidil. Aku mohon, jangan ambil Kak Aidil, Sil. Kami ... saling mencintai," ucap gadis itu sambil memegang tangan Naysila. Bukannya iba, Naysila justru menghempaskan tangan gadis itu hingga tubuhnya terhuyung ke belakang dan menabrak pagar rumah. Naysila menatap benci gadis itu. "Kau tau, aku sudah lama mencintai kak Aidil, tapi kau justru merebutnya. Aku hanya mengambil apa yang seharusnya aku miliki, jadi kenapa? Seharusnya kau sadar diri. Pergi dari hidup Kak Aidil karena dia sudah menjadi milikku. Pergi sana. Dasar perempuan miskin menjijikan," maki Naysila membuat gadis bernama Nita itu benar-benar sakit hati. "Pergi!" Kini ibu Aidil pun ikut mengusirnya. Nita pun segera pergi dengan perasaan hancur. Seakan kehancuran karena Aidil yang justru menikahi Naysila belum cukup, keesokan harinya, berita Nita yang hamil di luar nikah pun tersebar. Akhirnya ia pun dikeluarkan dari sekolah. Pihak kantin sekolah juga memecat ibu Nita yang bekerja di sana. Ayahnya yang bekerja di sebuah lembaga pemerintahan pun ikut dipecat. Bagai sudah jatuh tertimpa tangga, Nita dan keluarganya juga diusir dari kontrakannya selama ini. Selang beberapa hari, ayah Nita mengalami kecelakaan dan meninggal. Memang mereka mendapatkan uang kompensasi dari pihak keluarga penabrak. Uang itulah yang pada akhirnya dimanfaatkan ibu Nita untuk membeli rumah yang ditempatinya hingga kini. "Nita, maafkan aku ...." Brakkk ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD