Sila ...."
"Kak ... Noah. Benar 'kan?" tanya Naysila pada seorang laki-laki yang baru saja menabrak tubuhnya untuk memastikan.
Noah tersenyum. "Ya. Kau mau ke mana? Kenapa terburu-buru?" tanya laki-laki yang tak lain adalah Noah.
"Itu ... barusan Kak Evan menelpon. Dia ngabarin kalau Mas Aidil kecelakaan dan dirawat di rumah sakit. Jadi aku mau ke sana sekarang," ujar Naysila.
"Mau aku antar?"
"Nggak, Kak. Aku bawa mobil sendiri," tolak Naysila.
"Tapi tangan kamu gemetaran gitu lho. Kakak takut kamu kenapa-kenapa," ujar Noah saat melihat tangan Naysila yang gemetaran. Sepertinya ia benar-benar terkejut dan ketakutan hingga gemetar seperti itu.
"Tapi apa nggak ngerepotin?"
"Nggak. Aku juga cuma mau ngopi. Ngopinya masih bisa ditunda kok. Ayo, pake mobil kakak aja."
"Ya, sudah." Naysila pun akhirnya menerima tawaran Noah. Mereka pun akhirnya pergi ke rumah sakit dengan menaiki mobil milik Noah.
Tak butuh waktu lama, hanya kurang dari 20 menit, akhirnya mobil yang dikendarai Noah sudah tiba di rumah sakit yang dituju. Naysila pun turun dengan tergesa. Bahkan ia sampai mengabaikan Noah yang mengejar di belakangnya.
"Pelan-pelan saja, Sila! Nanti kau ter---"
Brukkk
Belum sempat Noah menyelesaikan kata-katanya, akhirnya yang dikhawatirkannya benar-benar terjadi. Naysila tersungkur. Noah pun bergegas membantunya untuk berdiri lagi.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Noah khawatir. Naysila menggeleng. Padahal Noah bisa melihat lutut Naysila terluka. Namun, karena terlalu khawatir dia tidak memedulikannya.
"Aku nggak papa, Kak," ucap Naysila terengah. Ia pun kembali melanjutkan langkahnya, namun karena lututnya yang terluka, jalannya pun jadi sedikit terseok.
"Pelan-pelan, Sila! Aku yakin, Aidil tidak apa-apa," ujar Noah yang menatap iba pada Naysila.
"Kalau Mas Aidil nggak apa-apa, nggak mungkin dia sampai dirawat di rumah sakit, Kak," lirih Naysila serak.
Noah mengangguk paham. Ia bisa melihat betapa Naysila mencintai sahabatnya itu. Noah memang tidak tahu bagaimana rumah tangga Naysila dan Aidil sekarang sebab sudah bertahun-tahun lamanya mereka tidak bertemu.
Karena kakinya yang terluka, Noah pun membantu memapah Naysila menuju ruang UGD sebab tadi Evan sempat mengatakan kalau Aidil sedang menjalani penanganan di ruangan tersebut.
"Kak Evan," pekik Naysila yang segera melepaskan tangan Noah yang memapahnya. Ia berjalan cepat tak peduli sakit di lutut demi menanyakan kondisi sang suami. Namun, baru saja Naysila melihat keberadaan Maira yang juga ada di sana, matanya seketika mendelik.
"Ngapain kamu ada di sini juga?" hardik Naysila yang sudah sejak awal tidak menyukai Maira. Maira menunduk takut. Ia sadar diri, ia siapa. Secara naluri, Maira jelas saja takut saat berhadapan dengan orang-orang kaya seperti Naysila.
"Sila, bisa tidak jangan menganggu Maira?" sentak Evan kesal. Datang-datang bukannya fokus dengan suaminya yang sedang mendapatkan penanganan di dalam UGD, Naysila justru sibuk menatap benci pada Maira.
"Tapi Kak, aku tidak suka melihat dia ada di sini."
"Dia ada di sini karena memang kami sedang pulang bersama tadi. Justru Maira-lah yang lebih dulu menyadari kalau yang mengalami kecelakaan itu adalah Aidil. Kalau Maira tidak memberitahu, mungkin penangan Aidil akan semakin lambat," jelas Evan.
Dahi Naysila berkerut. "Bagaimana dia menyadari yang kecelakaan itu adalah Mas Aidil?" Tiba-tiba Naysila menatap curiga pada Maira. Mendadak, ia kesal sekali. Naysila memang tipe pencemburu akut. Ia paling tak suka melihat Aidil memiliki kedekatan dengan lawan jenis apalagi sampai mendapatkan dan memberikan perhatiannya.
"Sudahlah, Sila. Berhenti membuat keributan," sergah Evan yang menyadari perubahan sikap Naysila. Hal inilah yang membuat Evan tidak bisa dekat dengan sang adik. Hal itu karena sikap Naysila yang keras kepala dan egois. Evan yang tak mau ambil pusing pun memilih menjaga jarak.
"Kak ...."
Baru saja Naysila hendak kembali mengkonfrontasi sang kakak, tapi pintu ruang UGD terbuka. Dari dalamnya keluar seorang dokter yang sembari melepaskan masker di mulutnya.
"Keluarga pasien atas nama Aidil?" tanya perawat yang keluar bersama dokter tersebut. Naysila pun segera maju. Sementara Evan dan Maira tetap berdiri di tempatnya. Noah yang tadi datang bersama Naysila sempat terkejut melihat kakak dan adik itu bersitegang. Pun saat melihat seorang gadis yang usianya jauh lebih muda dari mereka berdiri di samping Evan. Ingin bertanya, tapi punya belum tepat. Ia put memilih berdiri di samping Evan agar bisa ikut mendengar penuturan dokter.
"Saya, Dok. Saya istrinya. Bagaimana keadaan suami saya, Dok? Dia tidak apa-apa, 'kan?" cecar Naysila cemas.
"Keadaan saudara Aidil tidak apa-apa. Beruntung cedera di kepalanya tidak begitu fatal mungkin karena airbag yang berfungsi dengan baik. Namun, kami masih harus melakukan observasi selama beberapa jam ke depan. Bila semuanya baik-baik saja, pasien sudah dibolehkan pulang. Oh, ya, sebentar lagi pasien akan dipindahkan ke ruang perawatan. Kalau begitu, kami permisi," ujar dokter itu membuat semua orang akhirnya bernafas dengan lega.
Tak lama kemudian, brankar yang membawa Aidil pun keluar ruang UGD dan dibawa ke ruang perawatan. Setelah dipersilakan masuk, barulah keempat orang itu masuk ke dalam sana.
"Mas, apa yang terjadi? Kenapa kau sampai kecelakaan seperti ini?" cecar Naysila membuat Evan menggelengkan kepalanya.
Aidil melirik sekilas pada Naysila yang matanya tampak memerah.
"Aku hanya sedang pusing."
"Kalau kamu sedang pusing, kenapa tidak langsung pulang? Dilihat dari lokasi kecelakaan, kamu pasti dari rumah Mama Sarah 'kan?" imbuh Naysila seraya mengomel.
Aidil melirik tajam. "Jangan berlagak amnesia! Kau pasti tau alasanku ke sana," ucap Aidil dingin.
Semakin hari sikap Aidil semakin dingin. Sejujurnya ia sudah muak bertahan dengan pernikahan itu. Hanya saja, ia tidak bisa menceraikan Naysila. Kalau ia sampai melakukan itu, ibunya pasti akan drop. Penyakit jantungnya pasti akan mendadak kambuh. Ia tidak ingin, hanya karena dirinya, ibunya sampai harus menderita kesakitan.
Pernah suatu hari Aidil mengetahui fakta kalau Nita pernah mendatangi rumahnya. Entah apa yang sudah dikatakan oleh ibunya dan Naysila sehingga saat Aidil mencoba mencari tahu di sekolahnya, ternyata Nita sudah berhenti. Itu karena kehamilannya yang sudah tersebar.
Aidil juga mencoba mencari tahu alamat tempat tinggalnya. Ternyata hasilnya pun sama saja–nihil. Tetangganya mengatakan kalau mereka diusir. Aidil yang merasa bersalah pun marah pada ibu dan Naysila. Ia mengancam akan menceraikan Naysila, tetapi penyakit jantung ibunya langsung kambuh. Dan ini bukan pertama kalinya. Ia pun pernah kembali terlibat pertengkaran dengan Naysila sampai mengancam akan menceraikannya. Namun lagi-lagi, penyakit jantung ibunya kambuh.
Sejak itu, ia tak pernah lagi mengatakan akan menceraikan Naysila. Ia berusaha menerima apa yang sudah terjadi meskipun hatinya sebenarnya terasa sakit. Biarlah ia yang menanggung segala penderitaan ini, jangan ibunya.
Naysila bungkam. Ia jelas sadar apa alasannya. Itu karena ia yang merengek pada ibu mertuanya agar meminta Aidil mau kembali melakukan progam kehamilan.
"Itu ...."
"Sila, suamimu sedang sakit. Tidak baik terus mengajaknya berbicara. Lebih baik suruh Aidil beristirahat terlebih dahulu," sergah Evan yang kasihan pada adik ipar sekaligus sahabatnya itu.
Aidil menghembuskan nafas kasar. Ia benar-benar kesal dengan sikap Naysila. Namun, saat ia tanpa sengaja bertatapan dengan Maira, entah mengapa hatinya mendadak tenang. Bahkan ia tersenyum ke arah Maira membuat Naysila yang menyadari itu pun seketika mendelik. Ia benci melihatnya. Dadanya naik turun. Ingin marah, tapi ia coba tuk menahannya.
"Sialan! Kenapa Mas Aidil tersenyum pada bocah sialan itu?" batin Naysila yang kesal bukan main. Ternyata, bukan hanya Naysila yang menyadari senyum itu, tetapi juga Evan dan Noah. Jantung keduanya pun sontak berdegup kencang.
Bersambung