Tiba di rumah sakit, Maira pun segera menuju ke ruangan di mana neneknya dirawat.
"Assalamu'alaikum," ucap Maira pelan sambil masuk ke salah satu ruangan. Maira berucap pelan saat masuk karena tidak hanya ada neneknya di dalam sana, tetapi ada tiga pasien lainnya yang juga dirawat.
Nek Ida yang melihat cucunya datang pun tersenyum lebar. "Wa'alaikum salam. Kenapa datang? Ini udah malam," ujar Nek Ida.
"Maira kangen Nenek," ujarnya sambil naik ke atas bed pasien dan merebahkan diri di samping sang nenek. Ia pun segera memeluk tubuh sang nenek. Nek Ida merasa ada yang tak beres dengan cucunya. Tangannya terulur untuk mengusap puncak kepala sang cucu.
"Kangen? Baru juga ketemu kemarin," seloroh sang nenek yang belum mau bertanya.
"Emangnya Maira nggak boleh kangen nenek?"
"Ya, boleh tho. Sudah makan?" tanya Nek Ida. Maira seketika teringat aksi nekatnya tadi yang mencium pipi Evan. Wajah Maira seketika memerah karena malu. Nek Ida yang melihat itu sontak khawatir.
"Kamu sakit, Nduk?"
"Eh, nggak kok, Nek. Maira nggak sakit. Udah makan juga tadi di rumah. Nenek nggak usah cemas, Maira baik-baik aja kok."
"Beneran?"
"Bener, Nek. Maira baik-baik aja kok."
"Tapi kenapa muka kamu barusan merah sekali? Kalau sakit, istirahat. Minum obat. Jangan terlalu ngoyo. Nenek nggak mau gara-gara Nenek kamu sampai jatuh sakit," ujar Nek Ida yang sebenarnya merasa sedih dan merasa bersalah karena sudah membebani cucunya seperti ini. Akan tetapi, ia tidak memiliki daya untuk mencegahnya.
Terkadang, Nek Ida ingin menyerah dengan penyakitnya ini. Akan tetapi, memikirkan nasib cucunya yang malang yang tak memiliki siapa-siapa selain dirinya, membuatnya bertekad bertahan. Ia selalu berdoa agar dipanjangkan umurnya sampai sang cucu bisa menemukan seseorang yang mau menerimanya apa adanya dan mampu membahagiakannya.
Maira memang masih memiliki seorang ibu, tetapi Renita tak pernah memedulikan Maira sama sekali. Kebencian dan rasa sakit hatinya terhadap mantan kekasih yang meninggalkannya begitu saja saat ia dalam keadaan hamil membuat Renita melampiaskan kemarahan dan kebenciannya pada Maira. Apalagi menurut Renita, wajah Maira memiliki kemiripan dengan wajah mantan kekasihnya itu. Hal itulah yang semakin memantik kebenciannya pada Maira.
Nek Ida sudah berusaha menasihati, tapi percuma. Hati Renita terlalu batu untuk mendengarkan nasihatnya. Alhasil, Nek Ida hanya bisa pasrah. Nek Ida mengambil alih pengasuhan Maira dari pada Renita menyerahkannya ke panti asuhan.
Mendengar penuturan neneknya, Maira pun menangkup kedua pipinya. Rasa panas kembali menjalar. Entah apa yang Evan pikirkan setelah melihat tingkah konyolnya tadi.
"Om Evan pasti akan mengiraku perempuan genit. Duh, gimana ya? Gimana mau pulang kalo ketemu dia aja rasanya malu banget," monolog Maira dalam hati. Ia benar-benar tidak menyangka bisa bertingkah konyol seperti itu.
***
Sementara itu, di rumah Maira, Evan tampak mondar-mandir tak jelas. Ia kesal karena Maira meninggalkannya begitu saja. Ingin menyusul, tapi ia tidak tahu di rumah sakit mana nenek Maira dirawat.
"Sial! Dasar bocah menyebalkan!" umpat Evan yang kemudian memilih pulang sebab ia belum mandi sedari tadi. Bahkan ia tidak memiliki pakaian ganti di sana.
Pulang ke rumah, Evan berjalan menuju kamar. Saat di tangga, Evan berpapasan dengan sang adik–Naysila.
"Kak Evan pulang? Bocah itu ikut Kakak juga?" tanya Naysila sambil celingukan.
"Maira. Namanya Maira, Sila. Biasakan sopan santun. Bagaimanapun Maira sekarang adalah kakak iparmu. Belajarlah menghormati orang lain," tukas Evan lembut.
Naysila berdecih. "Kakak nemu dia di mana sih? Bisa-bisanya nikah sama bocah. Mana miskin, keliatan nggak berpendidikan, terus ... sepertinya anak haram ya? Soalnya pas ijab kabul, nasabnya malah nama ibunya. Tapi kok aku kayak familiar dengan nama ibunya ya?" Saat mengatakan itu, ia tiba-tiba merasa familiar dengan nama ibu Maira. Namun, ia lupa.
"Naysila! Jaga bicaramu! Kau memang adikku, tapi tolong jaga ucapanmu tentang Maira. Mau dia seperti apa, dia itu pilihan Kakak. Menghina Maira sama saja menghina Kakak, kau paham!" tegas Evan yang tak suka mendengar kata-kata Naysila barusan.
"Kakak marah hanya karena aku mengatakan fakta? Sebenarnya apa lebihnya dia sih? Kenapa Kakak justru memilih perempuan tak jelas seperti dia? Padahal ada Mbak Sora yang sudah sejak lama menunggu Kakak, tapi Kakak malah memilih perempuan seperti itu. Aku yakin, perempuan itu hanya menginginkan uang Kakak saja. Seharusnya Kakak bisa berpikir logis. Beda dengan Mbak Sora yang sudah mapan dan sukses. Ibarat kata, Mbak Sora dan perempuan itu seperti langit dan bumi. Tapi Kakak kenapa justru ...."
"Berhenti ikut campur urusanku, Sila! Kalau mau memang sangat menyukai Sora, kenapa kau tidak menyuruh Aidil menikah dengan dia saja? Jadi kalian bisa selalu bersama," desis Evan yang mulai terpancing emosi karena ucapan Naysila.
Mata Naysila terbelalak. Ia tidak menyangka kakaknya akan mengatakan sesuatu yang menyakitkan seperti ini.
"Jangan gila, Kak! Bagaimana Kakak justru menyarankan Mas Aidil menikah lagi? Kakak keterlaluan," sentak Naysila kesal.
"Kalau kau tidak suka Kakak berkata demikian, seperti itu juga Kakak tidak suka kau ikut campur urusan Kakak. Kakak harap cukup sampai di sini kau ikut campur urusanku. Kakak tidak suka," tegas Evan kemudian segera berlalu dari hadapan Naysila yang akhirnya tak jadi turun ke bawah. Ia kembali ke kamar dengan jalan menghentak.
Aidil yang melihatnya hanya melirik. Ia tidak berniat bertanya sama sekali.
"Kakak benar-benar keterlaluan. Apa lebihnya perempuan sialan itu? Kenapa Kak Evan bodoh sekali mau-maunya menikah dengan perempuan miskin seperti itu? Baru juga satu hari menjadi bagian keluarga ini, ia sudah membuat Kak Evan berubah. Awas saja dia! Aku takkan membiarkan hidupnya tenang," ucap Naysila marah-marah. Aidil hanya mendengarkan, tanpa berniat menimpali sama sekali. Aidil sudah tahu bagaimana sifat Naysila. Dia wanita egois dan keras kepala.
"Mas," panggil Naysila yang sudah duduk di tepi ranjang, di samping Aidil.
"Hmmm," sahut Aidil tanpa minat.
"Mbak Sora bilang, dia berkenalan sama dokter spesialis kandungan. Banyak pasangan yang sudah berhasil program hamil sama dia, Mas mau 'kan ikut?"
Aidil menghela nafas panjang. "Mau berapa kali lagi? Kalau kau mau, pergi saja sendiri. Aku tidak mau," ucap Aidil dingin membuat Naysila kembali kesal. Memang mereka sudah berkali-kali melakukan program kehamilan dan selalu saja gagal. Bahkan mereka pernah pergi ke luar negeri demi mewujudkan keinginan Naysila yang memiliki anak, tapi usaha mereka selalu gagal. Aidil sudah bosan. Ia sudah tak berminat memiliki anak lagi.
"Mas ini gimana sih? Aku 'kan melakukan ini untuk kebaikan keluarga kita. Aku bosan tau, Mas, selalu ditanya-tanya kapan hamil. Padahal sudah nikah belasan tahun, tapi tak kunjung hamil juga."
"Terserah kau saja. Aku sudah tidak berminat lagi memiliki anak," ucapnya dingin. Ia pun segera meletakkan ponselnya ke atas nakas kemudian membaringkan diri membelakangi Naysila membuat istrinya kesal bukan main.