Bab 6. Bocah nakal

1021 Words
Akhirnya, Maira pun terpaksa menemani Evan makan. Evan tampak makan dengan sangat lahap membuat perut lapar Maira seketika memberontak. Tapi Maira sedang mode gengsi. Evan tidak sama sekali menawarinya makan. Ia hanya memintanya menemani makan. Maira khawatir, Evan justru mengomelinya saat dia ikut-ikutan makan. "Kamu Kenapa bengong aja dari tadi? Nggak lapar?" tanya Evan sembari menyuapkan sendok berisi nasi ke dalam mulutnya. "Emang aku boleh makan, Om? Bukannya tadi Om cuma minta aku menemani Om makan aja?" tanya Maira polos. Evan sampai tersedak karena pertanyaan Maira. "Astaga, Maira! Kau pikir perutku sebesar apa bisa menghabiskan makanan sebanyak ini? Aku beli ini karena aku nggak tau kamu itu sukanya makan apa. Makanya aku pesan macam-macam gini. Sekalian, kalo nggak habis 'kan bisa disimpan di kulkas. Jadi besok pagi kalau mau sarapan, tinggal panasin aja," omel Evan membuat bibir Maira merekah. "Jadi aku boleh makan, Om?" "Mau kau habiskan pun terserah." "Beneran, Om? Nggak bayar 'kan?" Evan menggelengkan kepalanya. Gadis ini sebenarnya memang polos atau bodoh, pikir Evan? Tapi kenyataannya memang seperti itulah Maira. Ini karena didikan sang nenek yang melarangnya berbuat sembarangan termasuk makan makanan orang tanpa izin. "Kalau kau mau bayar, boleh." Maira yang baru saja memegang centong nasi sontak meletakkan lagi centongnya. Maira menekuk wajahnya. "Maira nggak punya duit, Om. Maira belum gajian," ujar Maira membuat dahi Evan berkerut. "Memangnya kamu kerja?" tanya Evan sambil mengelap mulutnya dengan tisu. Ia sudah lebih dulu selesai makan. Maira mengangguk. "Iya." Evan cukup terkejut. Bukankah usia Maira baru 19 tahun. Bukankah usia segitu seharusnya masih kuliah. "Kamu nggak kuliah?" "Gimana mau kuliah, Om. Nenek dirawat di rumah sakit. Nenek butuh obat. Sementara kuliah butuh duit untuk bayar ini itu. Jadi ya udahlah, mending aku kerja aja. Yang penting nenek bisa sembuh lagi. Yah, meskipun rasanya nggak mungkin, tapi siapa tau 'kan, keajaiban itu tiba-tiba datang." Evan cukup tercengang. Bukankah Maira masih punya ibu, kenapa ia tidak meminta uang pada ibunya untuk pengobatan sang nenek? Mengapa ia justru harus banting tulang sendiri? Namun, Evan tidak menyuarakan isi hatinya. Ia memilih diam sebab jujur saja, ia belum bisa mempercayai kata-kata Maira sepenuhnya. Ia tidak ingin terlarut dalam tipu daya dan kebohongan Maira. Sebab pikirnya, rasa-rasanya tak mungkin seorang ibu meninggalkan anaknya begitu saja. Karena sudah diperbolehkan makan, Maira pun segera mengambil nasi dan lauk seadanya. Ia tak mau berlebihan. Malu. Meskipun status Evan kini adalah suaminya, tapi tetap saja, pernikahan ini bukanlah pernikahan sesungguhnya. Pernikahan ini terjadi atas dasar keterpaksaan. Pernikahan penutup malu dan penutup aib. Ia hanya pengganti sementara. Bisa jadi sewaktu-waktu ia diceraikan terlebih bila ibunya sudah kembali nanti. "Kenapa makanmu sedikit sekali?" "Udah kenyang, Om." "Bukan karena caper dan jaga image?" "Dih, ngapain caper dan jaga image? Memangnya Om siapa sampai-sampai aku mesti caper? Nggak, ya. Aku cuma tau diri. Ini yang beli bukan aku. Dan Om pun bukan siapa-siapa aku. Udah, ah, aku beresin ini dulu. Pasti nenek udah nungguin kedatangan aku dari tadi," ujar Maira yang gegas berdiri dan membereskan piring dan cangkir kotor. Lauk sisa ia simpan di kulkas. Setelah semuanya selesai, ia kembali meraih tasnya dan berjalan keluar. Maira mengeluarkan motor bututnya. Motor yang ia gunakan untuk ke mana-mana. Demi menghemat pengeluaran, Maira pun membeli motor tua itu untuk mempermudah ia bepergian. "Kau mau pergi dengan rongsokan itu?" Evan tak habis pikir, bagaimana Maira bisa menggunakan motor tua dan jadul itu ke mana-mana? Wajah Maira seketika masam. "Rongsokan, Om, bilang? Biarin. rongsokan-rongsokan gini, dia udah temenin aku selama beberapa tahun. Rongsokan begini, aku beli dengan uang hasil keringatku sendiri. Mentang Om kaya, jangan seenak jidat ngatain orang, bisa? Om lama-lama nyebelin banget sih?" omel Maira kesal bukan main. Pikirnya, baru saja sehari menikah, ia sudah bertengkar berkali-kali. Apalagi seminggu, sebulan, setahun? Maira tidak bisa membayangkan betapa harinya akan semakin menyebalkan dari hari ini. Kesal melihat Evan, Maira pun menyalakan motornya membuat Evan terlonjak sebab suaranya yang begitu bising. Lalu Maira menggeber-geber motornya membuat Evan kesal dan segera menarik kuncinya. "Om ... Om apa-apaan sih? Balikin nggak?" teriak Maira kesal. "Nggak. Motor kamu itu berisik banget, tau. Ganggu orang aja." "Nggak usah ikut campur ya, Om. Kalo berisik, pulang aja sono. Lagian ngapain sih di sini? Bikin bete aja. Siniin kunci motornya!" teriak Maira sambil berusaha merebut kunci motor dari tangan Evan. Evan terkekeh melihat Maira yang berusaha merebut kunci dari tangannya. Tunggi Evan yang 183 cm begitu kontras dengan tinggi badan Maira yang bisa ia tebak hanya sekitar 150 cm lebih sedikit. "Nggak sampe ya? Makanya tumbuh itu ke atas, bukan ke samping," ejek Evan. "Kamu beneran gadis 19 tahun apa bocah yang baru puber? Kok kecil amat?" timpalnya membuat Maira kesal sekali. Maira sudah melompat-lompat untuk meraih kunci motornya, tapi tetap saja tak sampai sebab Evan meninggikan kuncinya. "Aku bukan bocah ya? Mana ada bocah yang bisa kasi bocah." "Emang kamu bisa?" "Ya, bisalah. Aku udah gede gini." "Gede mana? Bahkan badan anak SMP lebih gede dari kamu." "Om, dilarang body shaming, tau. Om, buruan sini'in nggak?" "Nggak mau." Evan berdiri santai. Merasa lucu dengan tingkah Maira yang persis anak kecil yang mencoba merebut permen dari tangannya. "Ish, nyebelin banget jadi orang." "Nyebelin-nyebelin kayak gini, suami kamu lho." Evan terkekeh melihat wajah masam Maira. Padahal subuh tadi ia datang dengan perasaan kesal, tapi ternyata menikah dengan bocah ini, menyenangkan juga, pikirnya. "Om, sini'in nggak! Kalau nggak ...." "Kalau nggak kenapa?" tantang Evan. Maira melirik kaki Evan, dia menggunakan pantofel jadi tak mungkin ia menginjaknya. "Tak ada cara lain," gumamnya dalam hati. Maira pun mengikis jarak dengan Evan. Kedua mata mereka saling bertemu. Evan tidak bisa menebak, apa yang hendak Maira lakukan. Namun, sesuatu tak terduga terjadi. Tiba-tiba Maira melompat dan mengecup pipinya. Sontak tangan yang memegang kunci turun ke pipi. Maira pun dengan gesit meraih kunci motor dan segera naik ke atas motor. Dalam sekejap, motor pun menyala. Setelah mengenakan helm bututnya, ia pun terkekeh kemudian menjulurkan lidah ke arah Evan yang masih terbengong-bengong. "Bye, Om Suami. Sampai jumpa." Maira terkikik geli melihat ekspresi cengo Evan. Setelah Maira pergi, barulah Evan tersadar. "s**t! Apa-apaan dia tadi? Berani sekali dia mencium pipiku." Mulut boleh mengumpat, tapi sudut bibir justru terangkat ke atas. Evan mengusap pipinya. "Dasar, bocah nakal!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD