"Hari sudah larut, Mai, pulanglah. Bukannya besok kau akan bekerja," ujar Nek Ida. Sebenarnya ia masih ingin bersama dengan cucunya, tapi melihat kondisi ruangannya yang tidak memiliki tempat tidur tambahan pun udara yang cukup dingin membuat Nek Ida tidak tega dengan Maira. Terlebih besok ia harus bekerja. Maira harus menjaga kesehatannya. Ia tidak ingin cucu kesayangannya itu sampai jatuh sakit.
"Nek, Maira tidur di sini, ya. Semalam aja. Maira masih kangen Nenek," ujar Maira yang memang masih ingin bersama sang nenek. Namun, ada satu hal yang membuatnya tak ingin pulang ke rumah. Evan. Ia takut laki-laki itu masih ada di rumah. Mau diletakkan di mana mukanya kalau bertemu calon ayah tiri yang sudah menjadi suaminya itu? Rasa-rasanya ia sudah tak punya muka. Meskipun sekarang mereka halal karena sudah sah menjadi suami istri, tapi tetap saja semua masih terasa aneh. Maira tak habis pikir, bagaimana ia bisa calon ayah tirinya justru menjadi suaminya saat ini?
"Mai, tempat tidur Nenek sempit. Kamu nggak mungkin 'kan mau semalaman tidur di sini? Nenek belum pikun, kamu itu kalo tidur, nakal. Bisa-bisa Nenek pindah tidur di bawah kalo kamu tidur di sini."
Maira seketika menahan tawa. Hingga kini, ia memang masih tidur nakal. Sebelum tidur kepala di bantal, bangun tidur, bantal sudah mental, kepala menjadi kaki, kaki menjadi kepala. Maira tak bisa membayangkan bagaimana neneknya bisa tidur kalau mereka tidur satu ranjang. Mau tidur di lantai, errr ... cuaca sedang dingin sekali, bisa-bisa ia mati beku keesokan harinya. Apalagi ia tidak memiliki alas apa-apa untuk tidur. Selimut pun tak ada.
Maira pun mendudukkan bokongnya. "Iya, deh." Maira menghela nafasnya. Ia akhirnya terpaksa menuruti perintah sang nenek. Meskipun risikonya ia harus kembali bertemu dengan om suami galaknya itu.
Maira seketika terkekeh saat kembali mengucapkan panggilan itu.
"Hayo, lagi mikirin apa? Cowok, ya?" goda Nek Ida.
"Ih, nggaklah, Nek. Lagian cowok mana? Mana ada cowok yang mau sama Maira."
"Lho, memangnya kenapa nggak mau? Cuma cowok bodoh yang nggak mau sama kamu. Kamu itu cantik, baik, ramah, ceria, memiliki hati yang tulus. Bahkan kalau lanjut kuliah pun kamu pasti pinter," ucap Nek Ida.
"Nenek bisa aja. Itu mah menurut Nenek sebab Nenek itu Neneknya Maira. Belum tentu orang lain berpikiran yang sama," ujar Maira yang tak mau kepedean dengan kata-kata sang nenek.
"Tapi apa yang Nenek katakan itu bener, lho."
"Iya, iya." Maira tersenyum mendengar kata-kata sang nenek. "Ya, udah, Maira pamit pulang dulu ya, Nek. Nenek sehat-sehat, ya. Jangan bandel. Kalo disuruh minum obat, ya minum," tukas Maira membuat sang nenek tersenyum kecut layaknya seorang anak kecil.
"Iya. Dasar cerewet." Makin meledaklah tawa Maira, tapi ia cepat-cepat menutup mulut khawatir mengganggu pasien yang lain. Setelahnya, Maira pun benar-benar pergi. Nek Ida menatap sendu kepergian Maira. Dalam hati ia berdoa, semoga Maira segera dipertemukan seseorang yang mampu menjaga dan melindunginya.
*
*
*
Sampai di rumah, Maira bernafas lega karena tak mendapati mobil Evan.
"Ah, baguslah Om Evan nggak ada." Senyum Maira semakin lebar. Ia pun segera masuk rumah dengan kunci cadangan sebab siang tadi ternyata Evan sudah mengambil kunci yang biasa tergantung di pintu. Tadi ia sempat khawatir rumah tidak dikunci. Meskipun di dalam rumah itu tidak ada barang-barang berharga, tapi tetap saja bisa bahaya kalau ada yang masuk ke rumah itu tanpa izin.
Masuk ke rumah, Maira segera masuk ke kamar dan berganti pakaian. Ia sudah lelah dan hendak tidur di ranjang single miliknya. Sebelum tidur, ia mencuci muka, kaki, dan menggosok gigi terlebih dahulu setelah akhirnya ia merebahkan diri dan dalam hitungan detik ia pun tenggelam dalam tidur lelapnya.
Tengah malam, ia merasakan kakinya ditarik, tubuhnya digeser, dan suara orang mengomel. Pelan, Maira membuka kelopak matanya.
"Aaaa, orang c***l, tolooong ...," pekik Maira saat melihat seorang laki-laki hanya memakai kaos singlet saja sedang mendorong tubuhnya. Karena gerakan yang terlalu kasar, Maira seketika terjerembab.
"Berisik! Bisa diam nggak sih? Lama-lama tetangga pada datang buat demo kalau kamu berisik melulu seperti ini," ketus seseorang itu membuat Maira mengerjap. Tak lama, ruangan yang tadi gelap gulita karena Maira yang mematikan lampu jadi terang benderang setelah ia menekan stopkontak. Maira pun terperangah saat mendapati Evan di kamarnya.
"Om, ngapain Om berada di kamarku?" sentak Maira kesal. Untung saja ia memakai baju tidur yang sopan, pikirnya.
"Mau tidurlah, kau pikir mau apa? Mau nananina?" balas Evan sewot. Ia naik ke atas kasur dan membaringkan tubuhnya sesuka hati membuat Maira semakin kesal.
"Nananina apaan? Gaje banget jadi orang," sahut Maira dongkol. "Om, ngapain tidur di situ? Turun! Ini tempat tidur aku," usir Maira yang sudah berdiri di samping tempat tidur.
"Udah, nggak usah berisik. Tinggal tidur aja kok ribet banget. Toh kita udah nikah. Mau tidur sekamar, udah halal. Malah ngelakuin lebih dari itu pun boleh. Atau kamu mau kita membuat pahala?"
"Ooom, iya, tau, aku belum amnesia kalo kita udah nikah. Tapi kita itu nikah karena terpaksa. Bukan karena cinta. Aku pun terpaksa nikah sama Om yang jelas-jelas udah tua pun karena ancaman Om. Jadi tolonglah, ya, nggak usah bikin aku makin stres. Sekarang aja aku udah stres berat, tau Om. Tiba-tiba nikah. Mana nikahnya sama orang lebih tua. Kita itu lebih cocok jadi bapak dan anak tau nggak sih, Om," omel Maira panjang kali lebar membuat Evan melotot.
"Apa? Jadi maksud kamu aku udah tua, begitu?" sewot Evan tidak terima dengan apa yang Maira katakan.
"Kan emang kenyataannya begitu jadi terima aja fakta sebenarnya."
Kesal terus berdebat dengan Maira, Evan pun menarik selimut dan menutup seluruh tubuhnya. Beginilah kalau melawan cewek, ras terkuat di muka bumi, mau berkilah bagaimana pun tetap saja kalah dan salah.
"Om, kok malah tidur ih? Pindah sana. Tidur di luar sana."
"Ogah."
"Om, ayolah, aku mau tidur. Besok masih mesti kerja. Om kok tega banget sih."
"Kalau mau tidur ya tidur aja. Ribet banget. Udah, diem. Jangan berisik."
"Om pikir aku senang berantem kayak gini? Om, ayolah, gimana aku mau tidur, kalau kasurnya aja muat badan Om semua. Kasur aku itu nggak gede. Sementara badan Om gede, terus aku tidur di mana?"
Evan membuka selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Ditatapnya Maira yang tampak kelelahan. Ia pun menghembuskan nafas kasar.
"Ya sudah, nih tidur." Evan akhirnya mengalah
"Yeay. Makasih, Om."
"Tapi ada syaratnya?"
"Hah, syarat?" Maira mengerjapkan mata.
"Ya. Mulai besok kita akan tinggal di apartemenku. Tak ada penolakan. No debat!" ucap Evan cepat saat Maira hendak membantah. Setelah itu, ia pun keluar dari kamar Maira yang kini sedang mengomel kesal. Evan melangkah ke sofa ruang tamu sambil menyeringai. Namun, seringainya tiba-tiba hilang saat pasukan nyamuk mulai menyerang.
"Nyamuk sialan. Ini rumah apa kandang nyamuk sih?" geram Evan saat nyamuk-nyamuk berdenging di sekitar telinga dan menggigit bagian tubuhnya yang terbuka.