Bab 20. Sepenggal masa lalu

1045 Words
Melihat situasi yang tidak kondusif, Evan pun akhirnya memutuskan untuk pulang. "Dil, aku pulang dulu, ya. Kasian Maira. Dia pun baru pulang bekerja," ujar Evan yang berusaha mengenyahkan pikiran buruknya. Ia tak ingin berpikiran buruk pada Maira.  Meskipun belum mengenal lama, ia bisa melihat kalau Maira merupakan gadis polos yang baik hati. Ia tak mungkin melakukan hal-hal yang mungkin akan merugikan dirinya sendiri. Namun, bila dipikir-pikir, segala sesuatu bisa saja terjadi. Terlebih karena pernikahan mereka yang tak didasari cinta sama sekali. Bisa saja, Maira tiba-tiba tertarik dengan laki-laki lain yang sanggup memberikannya apa yang tidak bisa ia berikan. Aidil tersenyum kecil. "Terima kasih atas bantuannya, ya, Van. Mungkin tanpa kalian, aku sudah nggak ada di dunia ini lagi," ucapnya santai sekali. Namun, berbeda bagi yang mendengarnya. Mereka justru terkejut dengan ucapan asal Aidil itu. "Ish, Om, nggak boleh ngomong gitu. Hidup, mati, rejeki, jodoh itu hak prerogatif Allah, Om nggak boleh ngomong sembarangan. Entar Allah bener-bener kabulkan gimana lho? Udah siap ketemu malaikat Munkar, Nakir, Raqib, dan Atid? Apa Om udah minta maaf sama orang-orang yang mungkin saja pernah Om sakiti?" cetus Maira tiba-tiba membuat Aidil tersentak sebab sedikit banyak apa yang Maira ucapkan itu adalah sebuah kebenaran. "Kamu anak kecil nggak usah banyak bicara. Sok tau banget. Kalo mau ceramah, ke masjid sana, jangan di sini," sentak Naysila membuat Aidil menggeram kesal. "Kenapa kamu marah? Dia hanya menyampaikan sebuah kebenaran. Nggak ada yang salah sama ucapannya. Seenggaknya di usianya yang belia, dia tau mana yang baik dan nggak baik. Kamu itu jauh lebih dewasa dari dia, tapi bisa nggak kamu tuh bicara lebih lembut sekali-kali? Jangan bawaannya emosi mulu," ucap Aidil pelan, tapi penuh penekanan. Evan sendiri kesal dengan sikap Naysila yang selalu saja mengkonfrontasi Maira. Padahal Evan tahu, maksud Maira itu baik. "Sudahlah, Dil, aku pulang ajalah. Semoga lekas sembuh, ya," ucap Evan. Aidil mengangguk. Noah sebenernya ingin sekali bicara dengan Aidil, tetapi melihat kondisi yang sepertinya tidak kondusif membuatnya akhirnya ikut undur diri. "Kalau gitu, aku juga balik, ya, Dil. Lain kali, kalo sempat, aku ke mari atau hubungi kamu lagi," ujar Noah. "Thanks, Bro. Maaf merepotkan." Aidil tahu, Noah-lah yang mengantar Naysila ke sana jadi ia pun berterima kasih. Setelah semua orang keluar, Aidil pun pura-pura memejamkan matanya. Ia malas kalau sampai harus kembali berdebat dengan Naysila. "Mas, kamu tidur?" tanya Naysila lembut. Ia kini sedang duduk di kursi yang ada di samping ranjang pasien. Aidil memilih diam agar Naysila mengira ia benar-benar tidur. "Aku tau kamu nggak tidur. Kenapa sih kamu menghindari aku kayak gini? Oke, aku minta maaf karena udah menemui Mama Sarah dan meminta bantuannya. Itu aku lakukan karena aku sangat ingin memiliki keturunan dari kamu, Mas. Aku subur, kamu subur, semua saluran reproduksiku baik, nggak ada masalah, begitu pula kamu, tapi kenapa hingga sekarang aku nggak kunjung hamil? Mungkin usaha kita belum benar-benar maksimal, makanya aku mau kita mencoba sekali lagi. Kamu mau 'kan, Mas?" bujuk Naysila. Aidil yang awalnya sangat ingin menghindari perdebatan dengan Naysila pun sontak membuka matanya. Ia menatap tajam pada Naysila yang memasang tampang tak berdosa. "Belum maksimal? Memangnya sudah berapa kali kita mencoba? Aku sudah menuruti keinginanmu dan Mama. Semuanya. Kurang maksimal apa lagi, hah?" desis Aidil kesal. "Sila, pernahkah kau berpikir apa alasan kita tak kunjung diberikan keturunan? Pernahkah kau berpikir, pasti ada sesuatu yang menjadi penghalang? Pernahkah kau berpikir, mungkin ini adalah buah dari perbuatanmu di masa lalu? Ah, bukan hanya kau, tapi juga aku. Aku sangat menyadari apa yang menjadi penyebab kita tak kunjung diberikan keturunan, tapi apakah kau pernah memikirkannya?" desis Aidil sedikit menekan setiap kata-katanya. Berharap dengan begitu, Naysila bisa sedikit membuka pikirannya. Sejujurnya ia belum mau membahas masalah ini. Kepalanya masih pusing. Mungkin karena masih efek obat, jadi rasa sakit di kepalanya tidak terlalu. Entah bagaimana kalau efek obat itu sudah habis. Lukanya cukup dalam, tapi beruntung tidak sampai fatal. Naysila mengerutkan keningnya. "Apa? Kesalahan apa? Memangnya apa yang sudah aku lakukan di masa lalu? Nggak ada." Aidil terkrkeh sinis. Ingin rasanya ia terbahak menghadapi wanita yang menjadi istrinya itu. Bertahun-tahun, bahkan belasan tahun, bukan waktu yang sebentar untuk ia memahami sikap sang istri yang cenderung egois dan keras kepala. Ia tak pernah sekalipun menyadari kesalahannya pada orang lain. Sebaliknya, ia ingin menjadi pusat dunia orang-orang. Semua orang harus patuh dan tunduk pada kata-katanya. Jelas Aidil masih ingat, bagaimana Naysila memanfaatkan kedekatannya pada sang ibu untuk menekannya agar bersedia menikah dengannya. Tak hanya itu, ia memanfaatkan kasih sayang orang tuanya agar ia bersedia menikahinya yang kala itu dirawat di rumah sakit karena percobaan bunuh diri. Setelah mengetahui Aidil yang ingin mempertanggungjawabkan perbuatannya pada Nita, Naysila memang sempat frustasi. Alih-alih berusaha mendekati Aidil secara personal, ia justru memilih mencoba bunuh diri dengan melukai pergelangan tangannya. Orang tuanya yang panik pun menanyakan alasannya. Naysila jelas senang. Ia pun melontarkan alasan sekaligus permintaan. "Aku mau nikah sama Kak Aidil." "Tapi sayang, kamu masih sekolah," bujuk Nastiti. "Pokoknya aku nggak mau tau, aku mau nikah sama Kak Aidil. Kalo Mama sama Papa nggak mau nikahin aku sama Kak Aidil , lebih baik aku mati aja," ancam Naysila yang sudah menarik kasar jarum infus sehingga darahnya pun berceceran. Khawatir terjadi sesuatu pada Naysila, orang tuanya pun segera menghubungi orang tua Aidil. Jelas saja orang tua Aidil senang sebab keluarga Naysila itu keluarga kaya raya. Kedua orang tua Aidil pun terus berupaya membujuk Aidil agar bersedia menikahi Naysila. Awalnya Aidil menolak keras apalagi ia harus bertanggung jawab atas kehamilan Nita. Namun, kedua orang tuanya terus memaksa. Alih-alih sebagai balas budi pada keluarga itu. Yang membuat Aidil semakin tak punya pilihan lain adalah penyakit jantung ibunya yang kerap mendadak kambuh bila sedang tertekan. Lagi-lagi penyakit jantung ibunya kambuh sehingga harus menjalani perawatan. Aidil yang tak memiliki pilihan lain pun akhirnya bersedia. Akhirnya, sepulang dari rumah sakit, Aidil dan Naysila pun dinikahkan. Sungguh, Aidil merasa bersalah pada Nita. Karena rasa bersalahnya, Aidil akhirnya tidak menemui Nita sampai beberapa hari. Tanpa ia tahu, Naysila dan Sarah–ibunya sudah menciptakan skenario sehingga Nita pun akhirnya benar-benar pergi menjauh. Menghilang tanpa jejak. Membawa luka, kecewa, dan kebencian yang membara. "Aku tidak mengerti, terbuat dari apa wanita yang aku nikahi ini karena hatinya terlalu hitam untuk mengakui kesalahannya apalagi ingin meminta maaf. Sepertinya benar-benar mustahil," sindir Aidil, namun tak membuat Naysila sadar juga atas segala kesalahannya dahulu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD