"Hai, Van, apa kabar? Senang bertemu denganmu di sini," sapa seorang wanita yang terlihat cantik dan menawan di mata Maira. Ia menyapa Evan dengan senyum mengembang.
"Kabarku baik," jawab Evan singkat tanpa mau berbasa-basi.
Maira yang melongo dari balik punggung Evan sontak menarik perhatian wanita yang bernama Sora itu.
"Eh, kamu tidak sendiri ternyata," ucap Sora. Maira pun melangkah keluar. Ia berdiri di samping Evan, tapi posisinya sedikit ke belakang. Ia tidak berani berdiri sejajar dengan Evan. Maira jelas insecure dengan penampilannya.
Benar saja, penampilan Maira menjadi perhatian Sora. "Dia pembantumu? Muda sekali. Tumben belanja ngajakin pembantu? Coba kamu telepon aku, aku pasti bersedia temenin kamu belanja," ucap Sora dengan senyum terkembang. Ia memasang ekspresi semanis mungkin berharap bisa membuat Evan tertarik padanya.
Evan dan Maira membeliak. Maira yang merasa malu pun menundukkan wajahnya. Ia pun sadar diri kalau penampilannya bak bumi dan langit dengan Evan maupun dengan wanita itu. Wajar saja jika Sora mengiranya sebagai seorang pembantu, pikir Maira yang merasa miris dengan penampilannya sendiri.
Herannya Evan tidak merasa malu. Maira merasa senang, namun seketika ia teringat sesuatu.
"Ah, iya, pasti Om Evan santai aja karena orang-orang pasti mikirnya aku ini hanya pembantu sama kayak yang Tante itu bilang," batinnya merasa tidak percaya diri.
"Dia bukan pembantuku," tegas Evan membuat Maira seketika mengangkat wajahnya. "Tapi dia istriku," imbuhnya menambahkan. Sontak saja, mata Sora terbelalak. Bagaimana Evan yang seorang direktur keuangan bisa menikah dengan seorang wanita spek pembantu? Oke, wajahnya lumayan cantik, tapi ....
Sora sontak tertawa. Ia tertawa sambil menutup mulutnya. Merasa tak percaya dengan kata-kata Evan barusan.
"Evan, Evan, bercandamu nggak lucu tau. Udah ah, kamu sudah makan belum? Kalau belum, bagaimana kalau kita ...."
Sora yang sibuk berbicara sontak terdiam saat melihat Evan menarik pinggang Maira lembut dan merangkulnya. Tak cukup sampai di situ, Evan juga mencium pipi Maira mesra membuat jantung Sora seketika berdegup dengan kencang sekali. Hatinya merasa panas sekaligus sakit saat melihat bagaimana Evan mencium pipi Maira mesra pun merangkulnya.
Padahal ia sudah menunggu Evan begitu lama, tapi apa yang ia dapatkan selain rasa kecewa dan sakit hati.
Bahkan saat Evan pernah terpuruk karena kekasihnya yang justru hamil dengan laki-laki lain pun Sora selalu berusaha menghibur dan mendukungnya. Tapi lihat kini, Evan justru sedang merangkul wanita lain yang ia sebut sebagai istrinya.
Dada Sora bergemuruh. Marah, benci, kecewa bercampur aduk menjadi satu. Namun, Sora tetap berusaha bersikap tenang.
"Benar begitu, Nona?" tanya Sora memastikan. Maira yang masih syok sontak menoleh saat suara Sora seperti sedang bertanya dengannya.
"Y-ya, ada apa, Tante?" tanya Maira tergagap.
Sudut bibirnya bergerak-gerak. Rahangnya mengeras. Terlihat jelas kalau Sora tidak menyukai panggilan itu. Evan yang menyadari itu hanya menahan tawa. Padahal kalau dipikir-pikir, panggilan itu memang sudah benar. Sebab usia Sora hanya selisih beberapa bulan saja darinya. Jadi wajar bukan bila Maira memanggil Sora tante.
"Apa katamu? Tante? Apa tidak salah?" sentak Sora pelan, tapi terkesan penuh penekanan. Sora yang merupakan pemilik sebuah klinik kecantikan yang sedang viral jelas sudah mengupayakan sebaik mungkin agar tetap terlihat lebih muda dari usianya. Ia rela merogoh kocek yang tidak sedikit demi terlihat lebih muda. Tapi lihatlah, dengan berlagak polos, gadis itu justru memanggilnya Tante?
Dengan ekspresi polos, Maira mengangguk. "Memang Tante 'kan? Kayaknya Tante seumuran dengan Om Evan deh jadi memang seharusnya dipanggil tante 'kan?" ujar Maira apa adanya.
"Kau ...." Jari telunjuk Sora mengacung pada Maira dengan mata melotot dan d**a bergemuruh. Sebagai owner klinik kecantikan yang sedang viral, jelas ia merasa terhina dengan kata-kata Maira barusan.
Melihat itu, Evan pun menepis pelan jari Sora. "Sora, kalau tidak ada yang penting lagi untuk dibicarakan, aku pergi," ucap Evan kemudian ia mengajak Maira segera pergi dari sana dengan tangan tak lepas dari pinggang Maira. Sebagian barang bawaan Naura di pegang oleh Evan. Sora sampai melongo melihatnya. Ia seakan tidak mengenali sosok Evan lagi. Evan yang terkenal datar dan dingin, bisa bersikap lembut dan manis?
Bahkan saat bersama dengan mantan kekasihnya dulu saja, ia tidak pernah bersikap semanis dan seperhatian itu padanya.
"Brengsekkk! Kenapa Sila tidak bilang kalau Evan sudah menikah? Mana istrinya seperti pembantu. Meskipun cantik, tapi tetap saja. Mereka tidak cocok sama sekali. Benar-benar nggak habis pikir. Ah, atau jangan-jangan dia hanya wanita bayarannya saja? Atau mereka sekadar akting? Tapi bagaimana kalau benar mereka sudah menikah? Nggak, itu nggak mungkin. Aku harus menemui Sila sekarang juga," gumam Sora dengan kedua tangan mengepal erat. Ia benar-benar marah. Ia tidak terima kalau sampai Evan benar-benar menikah.
Sampai di mobil, Evan tak henti-hentinya tertawa. Maira sampai bingung sendiri. Kenapa Evan terlihat begitu puas seperti itu?
"Om kenapa ketawa seperti itu sih? Aneh banget liatnya. Biasanya diem, muka datar, kayak plastik laminating, eh tetiba sampai mobil malah ketawa-ketawa persis kayak orang gila."
"Nggak. Aku nggak kenapa-kenapa. Cuma ...."
"Cuma apa?" potong Maira penasaran.
"Cuma lucu aja. Keliatan banget dia tadi mau marah gara-gara dipanggil tante."
"Lah, kan emang seharusnya gitu? Cantik sih, tapi keliatan kok kalo Tante itu udah nggak muda lagi. Sama kayak Om. Udah nyaris kisut. Untung aja kaya, jadi bisa perawatan, bisa ke salon, makan suplemen kesehatan dan kecantikan, sama bisa beli skincare mahal," cerocos Maira membuat Evan geregetan dan mencubit bibirnya.
"Om, sakit tau."
"Tau."
"Kalo tau kenapa dicubit?" sungut Maira.
"Terus harus diapain? Dicium kayak tadi? Boleh kalau mau." Evan yang hendak memasang seat belt pun melepasnya kemudian memajukan wajah. Maira yang terkejut pun reflek menutupkan telapak tangannya di depan mulut. Evan yang sebenarnya hanya ingin menggoda Maira pun lantas dengan sengaja mengecup punggung tangan Maira. Mata Maira membulat. Posisi mereka yang terlalu dekat dan intim membuat keduanya bisa menatap dengan jelas mata masing-masing. Keduanya seolah sedang menyelami tatapan masing-masing.
"Om, kok m***m sih?" Maira melotot kesal.
"m***m dengan istri sendiri itu ibadah. Kecuali m***m sama istri orang, baru dosa." Maira menepuk pundak Evan yang lantas tertawa terbahak-bahak. Saat tertawa, Evan tanpa sengaja melihat siluet seorang wanita di depan mobilnya. Meskipun tidak begitu dekat, ia yakin wanita itu sedang memperhatikan interaksi mereka. Evan menyeringai, kemudian ia dengan sengaja menarik wajah Maira mendekat sehingga posisi mereka seolah-olah sedang berciuman.
Maira jelas saja terkejut. Maira yang ingin protes, tapi dengan cepat Evan cegah.
"Sebentar. Tetap seperti ini."
"Kenapa?"
"Bisa menurut tidak? Atau kamu beneran mau aku cium?" ancam Evan membuat Maira sontak menggeleng pelan. Gerakan itu sontak membuat wanita yang tak lain adalah Sora itu menahan gemuruh di d**a. Ia benar-benar marah. Dengan bara emosi yang menggelora, Sora pun segera pergi dari sana.
Evan melirik ke luar. Ia bernafas lega saat melihat Sora telah berlalu. Ia harap ini terakhir kalinya Sora mengganggu hidupnya sebab apa yang Sora lakukan selama ini bukanlah karena cinta, melainkan obsesi.
Tak peduli ia masih keluarga jauh sang ibu, tetapi baginya Sora tak lebih dari pengganggu dan benalu. Evan benar-benar tak nyaman dengan keberadaannya.
Setelah menarik diri, Evan menoleh pada Maira. Gadis itu tampak memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan rona di pipi.
Evan tersenyum. Ia pun segera menjalankan mobilnya menuju restoran terdekat sebab ia yakin Maira sudah sangat lapar saat ini. Dan benar saja, setibanya di restoran ayam cepat saji, Maira tak henti-hentinya tersenyum karena akhirnya ia bisa menikmati ayam goreng yang sudah lama ingin ia cicipi.
Selesai makan, Evan pun mengajak Maura segera pulang. Apalagi belanjaan mereka tadi di supermarket sudah dalam perjalanan. Saat akan masuk ke dalam mobil, seseorang melihatnya dengan mata terbelalak.
"Astaga, benar-benar p*****r murahan!"