Sepanjang perjalanan pulang, Evan hanya terdiam membisu. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya. Pikiran Evan terlalu penuh. Ada banyak hal yang membuatnya bertanya-tanya. Sikap Aidil yang menurutnya aneh membuat kepalanya rasa mau pecah.
"Tadi ngapain aja kalian berdua?" tanya Evan tiba-tiba. Suaranya yang datar, persis seperti pertama kali mereka bicara. Tepatnya saat Maira menelpon untuk menanyakan perihal keberadaan ibunya.
"Nggak ngapa-ngapain. Om kenapa? Curiga aku ngapa-ngapain sama Om itu? Om apa ya namanya? Namanya aja aku nggak tau," ucap Maira sambil garuk-garuk kepala karena ia memang tidak tahu sama sekali nama Aidil. "Dil, Dil, Dilraba Dilmurat kali, ya," seloroh Maira pada akhirnya. Sebab yang ia ingat dari nama Aidil hanya kata "Dil". Itupun karena ia mendengar orang tua Evan memanggilnya seperti itu.
"Dilraba Dilmurat? Apa itu? Sejenis makanan?" tanya Evan bingung. Maira seketika menepuk dahinya.
"Astaga, Dilraba Dilmurat aja nggak tau. Pinjam hp-nya Om aja kalau gitu." Maira menengadah telapak tangannya di depan Evan. Evan bingung, tapi tak pelak ia menyodorkan ponselnya pada Maira.
"Jarinya ih, buka. Aku mana bisa buka." Maira menyodorkan lagi ponselnya. Evan menghela nafas kemudian menempelkan jarinya di layar sehingga ponsel pun segera terbuka. "Nah, gitu."
"Mau ngapain?" tanya Evan bingung. Anehnya, ia justru memberikan ponselnya terlebih dahulu baru bertanya.
"Mau cari gambar Dilraba Dilmurat. Dia itu artis China. Cantik banget lho, Om. Tapi cantikan aku sih. Hehehe ...." Evan ingin menyemburkan tawanya karena kata-kata narsis Maira. Padahal ia tadi sedang kesal karena melihat sikap Aidil yang tampak begitu perhatian dan overprotektif pada Maira, tapi sekarang ia justru hendak tertawa karena tingkah Maira yang menggemaskan.
"Cari di hp kamu aja kenapa sih?"
"Kuotanya habis, Om. Belum gajian mau beli kuota," jawab Maira santai. Evan sampai meringis sendiri mendengarnya saat menyadari ia belum memberi Maira uang sama sekali.
Pernikahan mereka mungkin hanya sebuah keterpaksaan, tetapi bagaimanapun Maira adalah tanggung jawabnya sekarang. Statusnya adalah istrinya. Entah sampai kapan pernikahan ini, Evan pun tak tahu. Evan sendiri sebenarnya tidak mau mempermainkan pernikahan, hanya saja ia sadar, pernikahan ini hanya sebuah keterpaksaan. Tak ada cinta di dalamnya. Pernikahan yang hanya yang hanya demi nama baik dan penutup aib.
Meskipun rencana pernikahannya dengan Renita sebelumnya pun tak jauh berbeda. Ia dan Renita terlibat kontrak pernikahan selama satu tahun. Namun, tetap saja, alurnya berbeda. Evan pun merasa kasihan bila harus menyeret Maira ke dalam permasalahannya ini.
"Nah, ini dia Om yang namanya Dilraba Dilmurat, cantikkan? Tapi tetap cantikan aku 'kan? Ayo, Om, komentar dong," seru Maira membuat Evan tersenyum mengejek.
"Iya, cantik," ucap Evan membuat Maira tersenyum lebar. "Tapi dilihat dari lubang sedotan," imbuhnya menambahkan membuat mata Maira seketika terbelalak.
"Om, ish, nggak asik banget deh, masa' diliat dari lubang sedotan." Maira ngomel sambil memasang muka cemberut. Evan terkekeh melihat tingkahnya yang persis anak kecil.
***
Seperti janjinya, setelah berganti pakaian, Evan mengajak Maira ke supermarket. Melihat bandrol harga yang tertempel di setiap barang di sana membuat Maira ngeri sendiri.
"Om, kok mahal banget ya? Kenapa kita nggak ke pasar aja sih? Mahal-mahal banget barang di sini. Entar Om bangkrut gimana? Atau duit Om nggak cukup, gimana?" bisik Maira dengan tubuh memepet-mepet.
"Memangnya pasar jam segini masih buka?" Evan tersenyum mengejek.
"Eh, iya. Apa besok aja belanjanya? Seriusan, di sini mahal-mahal banget. Kalo di pasar tuh harganya nggak semahal ini lho," ucap Maira pelan. Khawatir pegawai supermarket mendengar dan marah padanya.
"Besok 'kan kita sama-sama kerja, Mai. Udah, pilih aja. Namanya juga supermarket. Lagian, kalau di sini barangnya terjamin lebih bersih dan higienis. Ya, meskipun terkadang nggak sesegar yang di pasar, tapi kita bisa efisiensi waktu. Apalagi untuk pekerja kayak kita, supermarket dan minimarket itu solusi terbaik," papar Evan sambil meraih buah-buahan dan memasukkannya ke dalam troli.
"Om, banyak banget itu." Mata Maira melotot saat melihat Evan memasukkan berbagai macam buah ke dalam troli dengan santai.
"Nggak papa. Aku kan memang suka buah. Ayo, ambil aja apa yang kira-kira kamu butuhkan untuk masak selama seminggu. Jangan sampai pas masak eh garam nggak ada, gula nggak ada, nggak ada minyak, ini, itu, di apartemen nggak ada warung. Paling banter ke minimarket, tapi 'kan ribet. Jadi apa pun yang kamu butuhkan, ambil aja. Nggak perlu pikirkan duitnya. Tenang aja, duit aku cukup," ucap Evan. Setelahnya, Maira pun menuruti kata-kata Evan. Maira segera memilih sayuran, bumbu-bumbuan, ikan, dan daging, serta segala hal yang dibutuhkan untuk memasak makan malam dan sarapan mereka.
"Kenapa?" tanya Evan saat melihat Maira melongo di depan etalase s**u uht.
"Nggak kok, Om. Cuma baca-baca aja." Maira sebenarnya ingin sekali minum s**u seperti orang-orang. Sejak kecil, ia tak pernah membeli minuman seperti itu karena faktor keuangan. Bahkan minum asi pun tidak. Maira hanya diberi s**u sampai usianya 6 bulan saja. Itu pun s**u bantuan pemerintah.
Maira menghela nafas mengingat hidupnya yang selalu saja kekurangan. Saat sedang tercenung, Maira tiba-tiba membulatkan matanya saat melihat Evan memasukkan beberapa kotak s**u uht berbagai rasa berukuran besar. Mata Maira sampai mengerjap melihatnya.
"Om, itu ...."
"Kalau mau sesuatu, ambil aja. Nggak perlu sungkan," ucapnya datar, namun sebenarnya ada rasa simpati.
"Seberapa menderitanya dia selama ini? Kepada siapa aku harus mencari tau bagaimana kehidupannya selama ini?" monolog Evan dalam hati. Rasa penasarannya pada Maira semakin membesar saja. Tapi sayang, ia tidak mengenal seorangpun yang bisa ia jadikan tempat bertanya tentang Maira.
Keduanya sudah selesai belanja. Karena belanjaan mereka cukup banyak, Evan meminta pihak supermarket mengantarkan barang belanjaan mereka ke apartemen.
Sembari barang-barang mereka dirapikan, keduanya masuk ke salah satu toko pakaian yang ada di mall itu. Maira yang sungkan untuk mengambil pakaian pun akhirnya dipilihkan oleh Evan.
"Om, apa nggak kebanyakan ini?" cemas Maira. Ia takut kalau Evan nanti tiba-tiba meminta ganti rugi atas setiap barang yang ia belikan.
"Bisa diam tidak! Berisik!" sentaknya pelan. Evan geram sendiri karena Maira terus menerus mengeluh ketakutan karena harga barang yang ia beli.
Maira akhirnya diam. Namun, ia memasang wajah cemberut. Sebelum pulang, Evan berencana mengajak Maira makan ke salah satu kedai ayam goreng. Ia yakin, hanya dengan memberinya makan yang enak, senyumnya akan kembali mengembang.
Maira berjalan di belakang Evan sambil membawa belanjaan baju. Sementara Evan berjalan di depan dengan kedua tangan berada di saku celana. Diam-diam, Maira tersenyum melihat gaya Evan yang ia anggap keren.
"Udah tua aja, masih keren banget. Mungkin ini definisi tua-tua keladi, makin tua makin jadi ... gantengnya." Maira terkikik dalam hati.
Terlalu fokus menatap Evan dengan kekaguman, tanpa sadar Evan berhenti di depannya membuat wajahnya seketika membentur punggung Evan.
"Awh, sakit!" gumam Maira merasa dahinya sakit karena menabrak punggung Evan yang kokoh. "Ini punggung apa tembok sih?" omel Maira. Namun, Evan tidak bergeming. Maira yang heran pun melongo ke depan. Ia terkejut saat melihat seorang wanita cantik sudah berdiri di depan Evan dengan senyum mengembang.