Bab 5. Sebuah insiden

1101 Words
Maira bangun saat hari menjelang sore. Dengan mulut sambil menguap, ia membuka kebaya yang ia kenakan. "Kok aku pake kebaya, ya? Apa tadi aku habis kondangan?" gumam Maira mendadak amnesia kalau ia tadi baru saja menikah dengan calon ayah tirinya. Ia melepaskan semua yang menempel di tubuhnya lalu segera meraih handuk dan melilitkan di sekeliling tubuh. Handuk itu tidak begitu lebar alhasil bagian tubuh yang tertutup hanya sebatas d**a hingga pertengahan paha. Dengan handuk kecil di pundak untuk mengelap wajah, Maira pun berjalan gontai keluar kamar. Tidak ada kamar mandi di kamar Maira. Satu-satunya kamar yang memiliki kamar mandi di dalam kamar hanya kamar sang ibu. Sementara kamar ia dan sang nenek, tidak ada. Jadi mereka harus ke kamar mandi yang ada di belakang untuk mandi maupun sekadar buang air kecil. Maira berjalan gontai ke arah dapur. Karena langit sudah mulai gelap, Maira pun segera beranjak menuju stopkontak untuk menyalakan lampu. Setelah semuanya sudah terang benderang, Maira pun berniat melanjutkan langkahnya ke tujuan semula. Namun, betapa terkejutnya Maira saat melihat seorang laki-laki berdiri menjulang dengan kedua tangan bersedekap di depan d**a. Sontak saja, Maira pun berteriak. "Aaargh, kau siapa?" teriak Maira ketakutan. "Kenapa kau ada di rumahki? Keluar! Keluar sana sebelum aku teriak!" sentak Maira yang kini sedang berjongkok sambil memegang handuknya agar tidak melorot. Bukannya keluar, laki-laki itu justru berjalan mendekat ke arah Maira. "Kau, kau siapa, hah? Kenapa kau ada di rumahku? Tolong keluar! Kami tidak memiliki apa-apa di rumah ini. Tak ada harta, uang, apalagi perhiasan. Kau hanya akan sia-sia saja masuk ke mari. Jadi sebelum kau dipukuli massa, lebih baik kau keluar sana!" Maira menunjuk ke arah pintu keluar dengan mata terpejam. Melihat itu, laki-laki yang tak lain adalah Evan itu pun terbahak. "Padahal belum lama kita resmi menjadi suami istri, tapi kau sudah melupakan suamimu ini dan mengusirnya?" ucap Evan. Maira tercenung kemudian mendongak. Matanya mengerjap lucu. Entah mengapa, Evan justru merasa terhibur melihatnya. "Kau lupa pada suamimu ini, hum?" "Suami? Memangnya kita tadi beneran nikah ya, Om? Bukannya aku tadi mimpi ya?" tanya Maira polos. "Mau reka adegan?" delik Evan sambil menyeringai. "Eh ...." "Atau mau langsung ke menu utama?" "Menu utama? Emangnya makanan," cebik Maira. "Memangnya cuma makanan yang ada menu utama. Pernikahan juga ada." "Oh, ya?" "Kau mau mencoba?" Evan mengikis jarak membuat jantung Maira berdetak kencang. Saat jarak keduanya semakin menipis, Maira panik. Ia pun gegas berdiri hendak berlari. Tapi Evan justru memegang ujung handuk bagian bawah membuat handuk yang melilit tubuh Maira seketika melorot. Maira panik, sementara Evan justru ternganga dibuatnya. Maira pun reflek berteriak. "Aaargh, Om m***m!" teriaknya sambil menarik handuk di tangan Evan dan melilitkannya dengan tergesa ke tubuhnya. Lalu, Maira pun segera melesat menuju kamar mandi. Malu. Sudah pasti. Tadi dia sudah tanpa sengaja telanjang di depan Evan. Melihat Maira yang berlalu dengan tergesa, Evan akhirnya mengumpat. "s**t! Apa-apaan tadi?" * * * Maira sudah selesai mandi. Bahkan ia sudah selesai berpakaian. Sejak tadi, Evan masih berada di rumah itu. Tak ada tanda-tanda ia akan pergi. "Mau ke mana kau?" tegur Evan dengan dahi berkerut. "Mau ke mana aku, bukan urusan Om," jawab Maira ketus. Ia sengaja melakukan itu untuk menutupi kegugupannya pun rasa malu yang masih menguasai. Bayang-bayang bagaimana ia tanpa sengaja telanjang tadi benar-benar membuat Maira malu setengah mati. "Kau bilang apa? Apa kau lupa, aku sekarang itu suamimu jadi wajar aku bertanya kau mau ke mana. Jangan karena aku berusaha menahan diri dan bersabar lantas kau semakin seenaknya. Ingat, kau harus bertanggung jawab atas segala yang sudah ibumu lakukan. Kau tidak lupa itu 'kan? Atau kau mau mengganti rugi uang dan perhiasanku yang dibawa kabur ibumu, hah? Atau kalian semua mau aku laporkan ke polisi atas pasal penipuan. Atau jangan-jangan kalian sengaja ingin menjebakku, iya? Kalian ingin memanfaatkan aku agar bisa mendapatkan uang yang lebih banyak, iya?" sentak Evan yang kesabarannya sudah mulai terkikis. Ia lelah. Ia juga lapar. Entah mengapa, padahal ia bisa makan lebih dulu karena sudah membeli makanan untuk makan malam, tapi Evan justru lebih memilih menunggu Maira keluar agar mereka bisa makan bersama. Namun, melihat tingkah Maira yang tak acuh sontak memancing kekesalan Evan. Hari ini benar-benar kacau. Rasanya Evan ingin berteriak dan melampiaskan kekesalannya, tapi ia tahan-tahan. Namun, gadis di depannya ini bukannya berusaha mengerti, ia justru sebaliknya terus menerus membuat Evan kesal. Belum hilang rasa kesalnya karena Renita yang tiba-tiba menghilang membuat ia terpaksa menikahi gadis yang seharusnya menjadi calon anak tirinya itu, kini Maira juga semakin membuatnya kesal karena hendak pergi tanpa pamit. Air mata Maira luruh. Ia menggeleng cepat. Ia tidak ada niat sedikit pun ingin memanfaatkan situasi agar bisa mendapatkan uang. Maira memang menyukai uang, tapi ia tidak segila itu sampai harus memanfaatkan orang lain untuk sesuatu yang bukan haknya. "Kenapa? Kenapa harus aku yang menanggung kesalahan ibuku? Padahal aku sendiri tidak pernah ikut campur urusannya, lantas kenapa aku pun harus ikut menanggung kesalahannya? Apa ini memang takdirku, harus selalu menanggung kesalahan yang bukan salahku?" lirih Maira yang merasa sedih sekaligus tak habis pikir, kenapa harus selalu menjadi target untuk menanggung kesalahan yang bukan salahnya? Tak cukupkah selama ini ia harus menanggung kebencian sang ibu karena terlahir ke dunia? Padahal itu bukan salah dan keinginannya. Tapi kenapa ia yang harus menanggungnya? "Kau tau arti risiko? Inilah risiko menjadi putri Renita. Salahkan ibumu yang sudah pergi begitu saja di hari pernikahannya dan membawa lari uangku. Sekarang siapkan makan. Aku sudah membeli makanan di atas meja. Cepat!" titah Evan. Maira menghela nafas kasar. Ia pun melangkahkan kakinya dengan sedikit menghentak menuju meja makan. Setibanya di meja makan, Maira sedikit terkejut saat melihat berbagai macam box makanan dengan logo sebuah restoran ternama. Maira tidak tahu kapan Evan membelinya. Mau bertanya, Maira gengsi. Jadi ia memilih menyampirkan tasnya terlebih dahulu di sandaran kursi dan gegas mengambil piring dan perlengkapan makan lainnya. Tak lupa ia menyediakan air putih di atas meja. Setelah semuanya terhidang, ia pun segera memanggil Evan yang tampak sibuk dengan ponselnya. "Sudah. Aku boleh pergi 'kan sekarang?" tanya Maira membuat Evan mengangkat wajahnya. "Kau masih mau pergi? Kau sebenarnya mau ke mana, hah? Kau tidak lihat, ini sudah malam!" "Aku ingin ke rumah sakit. Hari ini aku belum ke sana, pasti nenek mencari ku," cicit Maira membuat Evan sedikit terkejut. "Tidak bisakah besok saja?" Maira diam. "Oke. Aku izinkan kau ke rumah sakit, tapi sebelum itu, setidaknya kau temani aku makan dulu. Apa kau mau menjadi istri durhaka, hah? Meninggalkan suami semaunya." Maira mengerucutkan bibirnya. "Bilang aja nggak mau makan sendiri. Suami, suami, pret. Memangnya siapa yang minta aku jadi istri? Menyebalkan." Mulut Maira komat-kamit membuat Evan melotot, tapi Maira masa bodoh. Ia sedang benar-benar kesal saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD