7. Bertemu

1102 Words
Pagi ini Aruna sudah siap menunggu Ayah yang akan mengantarkan check-up ke Rumah Sakit. Aruna memang harus rajin pergi check-up rutin demi mengetahui perkembangan cidera kaki yang dia alami. "Runa, kita berangkat sekarang!" Dedi, ayah Aruna mendorong kursi roda putrinya disusul oleh sang istri yang tak lain adalah mamanya Aruna. Hanya Nirmala yang tidak ikut dengan mereka karena gadis itu harus pergi kuliah. Dedi membantu putrinya masuk ke dalam mobil, lalu mereka bertiga meninggalkan rumah menuju Rumah Sakit. Tanpa mereka tahu jika tak jauh dari rumah Aruna, Fabian sengaja menghentikan mobilnya dan memperhatikan mereka. Sebenarnya pagi ini Fabian memang sengaja mendatangi alamat rumah Aruna yang ia dapatkan dari Leo kemarin. Fabian belum cukup nyali untuk menemui Aruna beserta keluarganya. Yang ingin Fabian lakukan hanyalah ingin tahu saja bagaimana kondisi Aruna sehingga di saat dia siap nanti maka Fabian baru akan menampakkan diri. Namun, siapa sangka jika kedatangannya pagi ini sangat tepat. Karena di saat Fabian baru saja menghentikan laju mobilnya, di saat itulah ia memperhatikan seorang pria paruh baya sedang mendorong kursi roda wanita muda dan membantunya masuk ke dalam mobil. Fabian langsung bisa menebak siapa perempuan itu. Ya, pastilah gadis itu adalah Aruna Virginia. Dari keterangan yang ia dapatkan bahwa kondisi Aruna sedang mengalami kelumpuhan. Fabian mengusap wajahnya lalu kembali menjalanakan mobil mengikuti mobil yang membawa Aruna dari jarak beberapa meter. Pada awalnya Fabian sempat bertanya-tanya, akan pergi ke mana mereka? Tapi ketika mobil tersebut memasuki pintu masuk sebuah Rumah Sakit, barulah Fabian lega. Namun, kembali tanya bercokol di benak Fabian. Kenapa mereka harus pergi ke Rumah Sakit? Fabian menggelengkan kepalanya. Sangat berhati-hati agar Aruna beserta keluarganya tidak mengetahui bahwa ia sedang mengikuti mereka. Sengaja Ayah dan Mama Aruna datang ke Rumah Sakit pagi-pagi karena menghindari antri yang biasa terjadi di setiap Rumah Sakit. Hari ini Aruna harus melakukan kontrol rutin yang masih harus dilakukan setiap satu minggu sekali. Semoga ada perubahan yang berarti pada kondisi kaki Aruna. Sebenarnya dokter pernah mengatakan jika masih ada kemungkinan besar Aruna untuk kembali bisa berjalan. Hanya saja semua tidak ada yang instan dan memang memerlukan waktu yang cukup panjang. Aruna juga telah selesai menjalani operasi di kakinya, karena akibat kecelakaan waktu lalu ada tulang Aruna yang retak dan syaraf yang bermasalah hingga menyebabkan kelumpuhan. Harus bersyukur karena kali ini mereka tidak perlu menunggu cukup lama untuk dapat bertemu dengan dokter spesialis yang menangani Aruna. Setelah melakukan pemeriksaan serta rontgen, dokter tampak lega mendapati hasilnya. Kemajuan yang cukup luar biasa. "Aruna, kondisimu semakin stabil. Saya harap Anda dapat mempertahankan. Rajin minum obat, istirahat cukup, dan jangan stres. Itu akan membantu penyembuhan lebih cepat. Dan satu hal lagi, harus rajin chek up. Jangan sampai melewatkan satu kalipun jadwal check up yang sudah saya berikan." Pesan dokter pada Aruna yang diangguki kepala oleh Aruna. "Baik, dokter. Terima kasih." Aruna menjawab dengan binar bahagia. Pasalnya kondisinya semakin membaik saja, Aruna berjanji akan lebih bersemangat menjalani pengobatan. Ia tak akan mengecewakan Ayah dan Mama yang sudah semangat dan selalu mendukungnya. Setelahnya, mereka meninggalkan ruangan dokter dan berencana pulang. Dedi dan Febria ikut berbahagia atas perkembangan kesehatan putri mereka. Luka luar banyak yang sudah mengering dan minggu depan mereka akan melakukan lepas perban pada kaki Aruna. Setelah itu, Aruna bisa mengikuti fisioterapi yang bertujuan untuk mengembalikan kekuatan otot dan fungsi bagian tubuh yang mengalami cedera, mencegah kecacatan dan mengurangi risiko cedera di kemudian hari. **** Fabian, lelaki itu masih saja duduk menyendiri di bangku tunggu pasien yang terletak di paling pojok. Benar-benar kurang kerjaan, tapi lelaki itu sungguh penasaran. Setelah Aruna dan keluarganya tak terlihat lagi, Fabian buru-buru menuju meja informasi yang di sana terdapat dua orang pegawai perempuan dan satu orang pegawai lelaki yang sedang bertugas. "Siang, Mbak. Boleh saya bertanya?" "Silahkan, Pak. Apakah ada yang bisa kami bantu?" "Eum ... barusan ada seorang gadis yang duduk di atas kursi roda setelah melakukan pemeriksaan. Namanya Aruna Virginia. Jika boleh saya tahu, dia tadi mengunjungi dokter siapa?" Perempuan berseragam Rumah Sakit yang di tanya oleh Fabian langsung paham dengan maksud pertanyaan yang Fabian lontarkan, memberikan informasi sesuai dengan data pasien di mana gadis bernama Aruna Virginia mengunjungi doker spesialis saraf. "Baik , Terima kasih." Bergegas Fabian menemui dokter spesialis saraf yang tadi pegawai itu maksudkan. Fabian ingin mengetahui banyak hal mengenai Aruna. Pada awalnya sang dokter yang saat ini Fabian temui menolak memberikan informasi apapun seputar kesehatan pasien, tapi Fabian tak akan pantang menyerah. Mengakui apa yang terjadi antara dia dengan Aruna, dan Fabian mengatakan pada dokter jika ia sangat merasa bersalah dengan kondisi Aruna saat ini. Karena prihatin, dokter pun memberikan informasi seputar kesehatan dan perkembangan cidera yang Aruna alami. Fabian mendengarkannya dengan seksama dan dia semakin merasa bersalah begitu mendengar langsung apa yang dokter sampaikan. "Jadi, apakah kemungkinan untuk sembuh dan kembali bisa berjalan normal itu ada, dokter?" Dokter mengangguk. "Kemungkinan itu masih tetap ada, Pak Fabian. Hanya saja memang butuh proses." "Berapa lama dokter?" "Bisa dalam hitungan beberapa bulan atau beberapa tahun. Tergantung dengan kondisi pasien." Luruh sudah tubuh Fabian. Seberat itukah penderitaan yang Aruna alami dan ia tak tau apa pun juga. Keluarganya bahkan menyembunyikan ini semua. Ya, Fabian memang harus menemui Papi dan Maminya setelah ini. Ia akan menanyakan mengenai kasus kecelakaan yang menimpanya satu bulan lalu. Fabian tak ingin hidupnya selalu diliputi kegelisahan. Keluar dari ruangan dokter berjalan lunglai menuju pintu keluar Rumah Sakit. Pikirannya menerawang jauh ke depan. Rasa bersalah yang tak mampu ia tebus dengan cara apapun juga. Menyesal, tentu saja. Andai dulu ia tak sedang mabuk mungkin kecelakaan tak akan terjadi. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Fabian mengusap wajah berkali-kali. Memasuki mobilnya begitu dia berada di area parkiran Rumah Sakit. Menjalankan mobil dengan cukup hati-hati menuju kantor. Seolah trauma akan masa lalunya, Fabian berusaha untuk tidak ngebut. Biar lambat asal selamat itulah pepatah yang akan ia ingat selalu. Satu jam lebih lamanya barulah Fabian sampai di kantornya. Disambut decakan sebal Leo yang mendapati bosnya baru datang ke kantor di saat hari menjelang siang seperti ini. "Bos ... lupa jalan menuju kantor?" sindir Leo membuat Fabian mendelik sebal pada asistennya itu. Leo ini mamang mulutnya selalu pedas jika berbicara, tak peduli jika sedang berbicara dengannya. "Aku dari Rumah Sakit." "Apa? Bos sakit? Kenapa tidak mengatakan padaku atau setidaknya bos bisa menelepon. Jangan menghilang seperti ini. Coba bos lihat berapa puluh kali saya menelepon dan berapa puluh pesan yang saya kirimkan, tapi tak ditanggapi satupun oleh bos. Saya khawatir dengan kondisi bos." "Leo ... cukup! Berhentilah mengomeliku. Kepalaku sudah sangat pusing, tapi kau jusru membuatnya semakin bertambah pusing." "Maaf, bos. Apa bos perlu minum obat? Apa kata dokter tadi." "Leo!" geram Fabian. "Siap,Bos. Maaf." Dan Leo memilih diam dari pada bosnya kembali mengamuk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD