6. Informasi

1163 Words
Leo kembali ke kantor dengan senyuman merekah. Pasalnya data mengenai korban Fabian telah ia dapatkan. Leo berharap agar data yang Dokter Siska berikan akurat sehingga ia dan Fabian tak akan salah orang nantinya. Begitu sampai di depan ruang kerja Fabian, lelaki itu mengetuk pintunya. "Masuk!" titah sang empunya ruangan. Siapa lagi jika bukan Fabian. Leo membuka pintu dan melongokkan kepala ke dalam. "Sore, Bos!" sapa lelaki itu. Ya, ini memang sudah sore saat Leo kembali ke kantornya. Pasalnya, saat dia berangkat tadi hari sudah siang. Melakukan perjalanan pulang pergi kantor-rumah sakit- kantor, juga memakan banyak waktu, terlebih kondisi jalan macet di mana-mana menyebabkan Leo baru bisa kembali ke kantornya sekitar pukul empat sore. "Kau sudah datang rupanya. Kenapa lama sekali," gerutu Fabian begitu mendapati asistennya yang datang. "Bos, ini sudah waktu tercepat yang bisa aku lakukan," jawab Leo tak mau kalah. Pasalnya Fabian ini tak ada terima kasihnya. Leo sudah bekerja dengan sepenuhnya untuk menjalankan tugas kali ini. "Sorry," ucap Fabian merasa bersalah. Seharusnya ia tidak boleh menggerutu karena Leo adalah orang kepercayaan yang sanggup melakukan apa saja keinginannya. "Bagaimana hasilnya?" tanya Fabian tidak sabar. "Menurut, Bos?" goda Leo. Ia tahu jika Fabian pasti akan kesal dengan jawaban yang ia lontarkan. Bahkan tanpa perasaan Leo sudah duduk begitu saja di atas sofa yang berada di dalam ruang kerja Fabian. Membuat Fabian hanya mendengus tidak suka. Fabian beranjak berdiri dari kursi kebesarannya lalu menghampiri Leo. Duduk di sebelah asistennya itu. "Kau ini selalu menyebalkan sekali." Decak kesal Fabian akan godaan yang selalu Leo berikan. Dalam kondisi darurat pun, Leo tidak langsung to the poin menjawab pertanyaannya. Inilah yang Leo inginkan. Melihat kekesalan Fabian. Bekerja bertahun-tahun dengan Fabian membuat Leo paham betul bagaimana sifat dan karateristik seorang Fabian Limantara. Selalu tidak ingin mendengar atau mendapati kegagalan.Ia memang salah satu orang yang berambisius tapi ambisius Fabian ini bukan yang harus menghalalkan segala cara. Tidak seperti itu. Ambisius seorang Fabian demi menuju kesuksesannya. Dan jika sudah menginginkan sesuatu ia pasti tak akan sabar untuk mendapatkannya. Leo menyerahkan sebuah berkas kepada Fabian. Berbekal secarik kertas yang tadi diberikan oleh Dokter Siska, dijadikan Leo sebagai alat mengorek informasi seputar Aruna Virginia dan Tomy Harsono. Tadi saat menemui Dokter Siska yang tak lain adalah Manager Rumah Sakit, sebenarnya Leo ingin bertanya banyak hal. Tapi ia urungkan karena Leo tidak ingin Dokter Siska curiga kepadanya. Dan pada akhirnya Leo membawa tulisan Dokter Siska tersebut kepada bagian informasi. Leo hanya menanyakan kondisi pasien bernama Aruna Virginia dan Tomy Harsono. Berdasarkan informasi tersebut, didapat Leo jika Aruna mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan tersebut. Leo juga berhasil mendapatkan resume medis hanya berbekal sejumlah uang yang Leo berikan pada salah satu petugas di Rumah Sakit. Ya, seharusnya sikap Leo tidak boleh ditiru. Tapi begitulah jika uang sudah berkuasa. Seseorang bisa mendapatkan segala yang ia minta. Fabian menerima berkas yang Leo berikan dengan mengernyit bingung. Tak ayal lelaki itu membaca juga isi yang tertulis di dalam berkas tersebut. Akan tetapi fokus Fabian adalah pada korban seorang perempuan yang dinyatakan lumpuh akibat kecelakaan tersebut. "Aruna Virginia," gumam Fabian. Masih dengan mata yang meneliti berkas mengenai perempuan yang telah menjadi korban kelalaiannya mengemudi mobil. Hingga menyebabkan gadis itu lumpuh. "Yakin, dia masih virgin?" ucapnya lagi lebih pada dirinya sendiri. "Mungkin bos ingin mencobanya, agar anda tahu jika gadis itu masih virgin atau tidak!" celetuk Leo, asisten pribadi Fabian. Lelaki bernama Fabian Limantara mendongak, menatap tajam pada Leo. "Sialan, kau Leo! Dia hanya gadis caacat yang ingin aku tolong. Tidak lebih!" desis Fabian dengan muka kesal. Pasalnya, hanya Leo saja yang berani melawan atau berkata sesuka hati kepadanya. "Jadi, bos ingin menolong gadis itu?" "Entahlah, aku tidak tahu." "Tadi bos mengatakan ingin menolong gadis caacat?" Leo tak paham kenapa omongan bosnya ini sulit ia mengerti "Leo, apa kau tak ada rasa belas kasihan sedikitpun pada gadis itu?" "Kenapa Bos bertanya seperti itu?" "Aku sungguh tidak tahu jika gadis yang aku tabrak menjadi lumpuh seperti itu." Fabian mengusap wajahnya tampak frustrasi. Rasa bersalahnya semakin menjadi. Bagaimana mungkin ia tak tahu menahu mengenai hal ini. Dan dari sini Fabian semakin yakin jika keluarganya sengaja menyembunyikan ini semua darinya. "Leo!" "Ya, Bos." "Menurutmu kenapa keluargaku harus menyembunyikan kenyataan besar seperti ini dariku?" Leo tampak sedang berpikir. Menjawab pertanyaan Fabian tidak boleh asal karena Fabian akan terus mengejar penjelasannya nanti. Leo menghela napas lalu berkata, "Jika menurut saya pribadi, yang pertama mungkin keluarga bos tidak ingin bos merasa bersedih apalagi merasa bersalah seperti ini. Karena telah mencelakai orang lain." "Leo, seharusnya mereka tidak boleh egois seperti ini. Di saat aku sudah sembuh, sudah membaik seperti ini, tapi orang yang aku celakai harus menderita kelumpuhan. Yang benar saja, ini namanya tidak adil, bukan?" "Ya, memang benar bos. Ini tidak adil, tapi bos juga tidak boleh men-judge keluarga bos sembarangan. Mereka melakukan ini semua juga pasti ada alasannya. Dan mungkin saja memang mereka sengaja melindungi Bos dari jerat hukum yang berlaku. Bos tahu sendiri apa hukuman bagi seorang pengendara mobil yang lalai dalam mengemudikan kendaraannya? Apalagi sampai menyebabkan orang lain celaka. Urusannya pasti berat dan panjang. Menurutku keluarga Bos hanya ingin melindungi Bos. Itu saja." "Ada benarnya juga. Tapi seharusnya mereka tidak menyembunyikan kenyataan itu dariku, Leo." "Lantas setelah mengetahui semua ini apa yang akan bos lakukan selanjutnya?" Fabian tampak terdiam, ia sedang berpikir apa yang akan ia lakukan untuk menebus rasa bersalahnya. Ia merasa sangat berdosa karena telah menelantarkan seseorang yang mengalami musibah akibat ulahnya. "Aku akan bertanggung jawab, mungkin," jawab Fabian sambil menerawang dengan penuh pemikiran. "Dengan cara apa?" sekarang giliran Leo yang penasaran dengan Fabian. Ia jadi ikut merasa kasihan pada gadis yang mengalami kelumpuhan akibat ulah Fabian. "Aku tidak tahu bagaimana caranya, yang jelas aku akan menemui gadis itu terlebih dulu." "Mungkin Bos bisa memberikan sejumlah uang untuk Aruna Virginia. Hitung-hitung sebagai biaya pengobatan sampai gadis itu sembuh nantinya." "Uang tak akan meyelesaikan semuanya, Leo. Ingat itu!" "Lalu?" "Sudah kukatakan aku tidak tahu. Jangan memaksaku menjawab karena aku sendiri juga sedang berpikir. Seharusnya kau ikut memikirkan solusi yang harus aku lakukan seperti apa nantinya." "Mungkin lebih baik memang Bos bisa menemui langsung Aruna. Agar Bos bisa melihat sendiri bagaimana kondisi Aruna sesungguhnya. Apakah benar-benar lumpuh atau tidak." "Dari rekam medisnya sudah jelas jika dia memang mengalami kelumpuhan, Leo!" "Satu lagi Bos. Apa Bos yakin waktu itu memang Aruna yang Bos tabrak?" Fabian menggeram mendengar pertanyaan tak bermutu dati mulut Leo. Bukankah dari data yang sedang ia baca saat ini memang benar wanita itu bernama Aruna. Dan Aruna beserta Tomy masuk Rumah Sakit di saat yang bersamaan dengannya. Hanya saja, lelaki bernama Tomy tidak mengalami luka yang parah. Tomy mengalami luka ringan yang keesokan harinya sudah diperbolehkan pulang untuk rawat jalan. Berbanding terbalik dengan kondisi Aruna yang mengalami luka cukup parah. "Leo, pakai logikamu. Jika wanita itu masuk Rumah Sakit berbarengan denganku masihkah kau akan meragukannya jika wanita itu bukan korban yang aku tabrak?" Leo terdiam lalu menganggukkan kepala. "Iya, Bos. Aku juga berpikiran seperti itu sebenarnya." Begitu saja Fabian memukulkan berkas di tangannya pada lengan Leo. Ia sungguh kesal dengan asistennya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD