8.Perasaan Bersalah

1168 Words
Fabian Limantara, CEO salah satu perusahaan elektronik terbesar di Indonesia dengan branding GL yang merupakan kepanjangan dari Group Limantara. Sebuah perusahaan berskala International dengan kantor pusat berada di Negeri Gingseng, Korea. Perusahaan penghasil segala macam peralatan rumah tangga seperti Televisi, Mesin cuci, Air conditioner, dan masih banyak lagi produk lainnya yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Lelaki itu kini sudah masuk ke dalam ruang kerjanya dan mendudukkan dirinya di atas kursi kebesarannya. Menjatuhkan kepala pada sandaran kursi membuat Leo yang sejak tadi mengikuti hanya menatap heran pada sikap dan tingkah laku bosnya. "Bos...!" panggil Leo lirih. Fabian menatap Leo dengan padangan sayu. "Katakan padaku, apa bos sakit. Saya akan menghandel semua pekerjaan bos hari ini dan sebaiknya bos pulang saja, istirahat." Ya, meskipun Leo ini sangat cerewet dan suka bicara apa adanya, akan tetapi Leo ini tipe lelaki perhatian dan penyayang. Ia sangat menghormati dan menghargai Fabian sebagai atasannya. Melihat Fabian yang sakit atau bahkan saat Fabian tergolek lemah tak berdaya pasca kecelakaan waktu itu, membuat Leo tidak tega melihatnya. Semua pekerjaan Fabian, Leo ambil alih untuk sementara. Fabian adalah bos yang loyal meski selalu bersikap arogan. Tapi Fabian tidak pernah perhitungan jika menyangkut uang. Apa yang Leo kerjakan sangat sebanding dengan bayaran yang lelaki itu terima dari Fabian. Oleh sebab itulah Leo sangat suka bekerja pada Fabian. "Leo ... aku baru saja menemui dokter saraf," ucap Fabian. Leo begitu saja duduk di kursi yang berada di hadapan Fabian, menatap antusias pada sang atasan karena ia sangat tertarik dengan pembahasan ini. "Bos sakit apa sebenarnya? Kenapa harus ke dokter saraf segala. Apakah saraf bos ada yang konslet?" Sebuah bolpoin meluncur begitu saja dan dengan sigap Leo menangkapnya. Jika Leo gagal menangkap bolpoin tersebut maka bisa dipastikan jika akan mengenai dadanya. "Bos ...." protesnya karena Fabian yang melakukan kekerasan pada karyawannya. "Kau ini jika berbicara bisa disaring dulu, tidak! Sialan, berani mengataiku konslet segala." Leo justru tergelak. Ia merasa lucu dengan ucapannya sendiri barusan. "Ya, maaf. Habisnya bos dari tadi main teka-teki segala. Kenapa tidak bicara jujur saja agar aku tak perlu menerka-nerka." "Aku mendatangi dokter spesialis saraf yang menangani Aruna," ucap Fabian pada akhirnya. "Aruna? Aruna Virginia maksud bos?" "Ia. Siapa lagi memangnya." "Memangnya kenapa bos mendatangi dokternya Aruna." "Aku hanya ingin tahu saja apa yang sedang terjadi dengan Aruna serta bagaimana konsidi Aruna sampai detik ini. Dan kau tahu Leo hasilnya sangat mencengangkan. Gadis itu mengalami kelumpuhan meski bersifat sementara. Ada masalah dengan sarafnya akibat kecelakaan waktu itu." "Saya sudah mengatakan pada bos jika Aruna memang mengalami kelumpuhan." "Tapi informasi darimu kurang akurat. Sekarang aku baru tahu apa yang sedang Aruna hadapi. Gadis itu sedang berjuang demi kesembuhannya." "Apakah nantinya Aruna bisa kembali berjalan, Bos. Atau akan mengalamai kelumpuhan permanen?" tanya Leo yang penasaran dengan cerita Fabian. "Itu juga yang membuatku bertanya-tanya. Sempat aku menanyakan hal itu pada dokter. Aku lega setidaknya kelumpuhan yang Aruna derita bisa sembuh suatu ketika. Tapi dokter juga tidak dapat memastikan kapan kelumpuhan Aruna bisa sembuh. Bisa dalam hitungan bulan atau bahkan tahunan. Tergantung dengan kondisi Aruna. " Fabian terdiam, berpikir dan mencari solusi untuknya agar dapat membantu kesulitan dan penderitaan yang Aruna alami akibat kelalaiannya. "Leo, aku tak dapat membayangkan andai saja Aruna harus menerima kondisnya yang mengalami kelumpuhan dalam jangka waktu yang cukup lama. Pasti gadis itu akan frustasi. Aku lihat tadi bagaimana wajahnya yang pucat dan juga aura yang tak lagi hidup. Sepertinya gadis itu kehilangan semangat hidupnya." "Jadi Bos bertemu dengan Aruna tadi?" Fabian menganguk, "Iya." "Ketemu di rumah sakit, Bos?" "Aku sengaja mendatangi rumahnya, tapi aku tak cukup nyali untuk menemuinya. Pada akhirnya kuputuskan untuk mengikutinya sampai di Rumah Sakit. Aruna melakukan chek up rutin. Dan setelah Aruna pergi, aku menemui dokter dan mencari semua informasi terkait kondisi Aruna." "Leo, menurutmu apa yang harus aku lakukan sekarang?" "Minta maaf," jawab Leo cepat. "Apakah permintaan maaf cukup untuk menebus semuanya?" "Tentu saja tidak. Tapi setidaknya bos sudah ada itikad baik meminta maaf dan menyesali perbuatan bos." "Jika keluarga Aruna tidak terima bagaimana?" "Itu jangan dipikirkan sekarang. Yang pasti fokus pada niat. Lagipula jika bos tidak mendapatkan maaf dari Aruna, aku yakin hidup bos tak akan tenang." "Kau benar sekali, Leo. Sungguh aku tidak bisa tidur nyenyak beberapa malam ini. Kejadian mengerikan itu terngiang dan selalu menghantui tidurku. Dan kau tahu, satu minggu ini aku harus mengkonsumsi obat penenang agar aku bisa tertidur." Leo hanya menggelengkan kepala merasa miris dengan apa yang terjadi pada hidup seorang Fabian Limantara. "Aku akan membantu bos sebisaku. Jika memang Bos menginginkan bantuanku jangan sungan memberitahu." "Itu sudah pasti, Leo. Kau memang harus membantuku. Sekarang katakan padaku, setelah meminta maaf apalagi yang harus aku lakukan?" "Memangnya Bos ingin melakukan apalagi?" "Entahlah, rasanya juga tak bisa hanya sekedar permintaan maaf. Aku ingin bertanggung jawab dengan apa yang sudah aku lakukan. Menghancurkan hidup dan masa depan seseorang dan aku ingin menebus semuanya." "Mungkin bisa dengan cara membantu pengobatan Aruna sampai gadis itu sembuh." Usulan Leo dipertimbangkan juga oleh Fabian. Sepertinya ide yang sangat bagus. "Ide yang bagus, Leo. Aku akan mengusahakannya bahkan aku tidak keberatan membiayai pengobatan Aruna sampai gadis itu kembali sembuh dan dapat berjalan normal." "Ya, itu memang harus bos lakukan." "Terima kasih atas saranmu, Leo." "Sama -sama, Bos." "Tapi, Leo. Aku masih tak habis pikir dengan keluargaku kenapa bisa-bisanya mereka menyembunyika semua ini dariku. Menurutmu apakah perlu aku bertanya pada mereka." "Jika hal itu membuat Bos bertanya-tanya dan penasaran, ada baiknya Bos menanyakan saja pada Papa dan Mamanya Bos, kenapa mereka tidak pernah mengatakan hal yang sebenarnya." "Baiklah, aku akan mencobanya. Nanti malam aku akan menemui meraka dan menanyakan hal ini." Leo manggut-manggut. "Leo, sekali lagi terima kasih karena kau selalu ada bersamaku di saat masa tersulit apapun kondisiku." "Bos jangan lebay. Aku jadi mellow ini, Bos." Lalu Leo terkekeh disusul oleh Fabian yang ikut tergelak dengan sikapnya bersama Leo. Leo memang anak buah yang bisa dia andalkan. Jika tidak ada Leo, entahlah apa yang akan Fabian lakukan. Menjadi seorang CEO di mana pekerjaan tak pernah lepas dari kehidupannya. Dan selama ia sakit dulu, hampir semua pekerjaan Fabian, Leo lah yang menghandel semuanya. Karena Fabian tidak bisa lagi bekerja untuk beberapa waktu lamanya. Terlebi perusahaan yang sedang Fabian pimpin berkembang cukup pesat. Brand GL yang menjadi idola masyarakat karena peralatan eletroniknya yang bagus, harga terjangkau serta kualitas yang diutamakan sehingga berbagai macam produk keluaran GL pasti akan segera diserbu pelanggan. "Bos ... adakah hal lain yang ingin Anda sampaikan lagi padaku?" "Tidak ada." "Baiklah, jika begitu saya permisi dulu." Pamit Leo pada sang atasan yang memiliki usia tak jauh darinya. "Apakah aku tidak ada jadwal meeting hari ini?" "Ada, tapi tadi pagi dan saya sudah menghandel semuanya." Fabian tersenyum lebar. "Terima kasih banyak, Leo." Entah sudah berapa kali Fabian mengucapkan kata terima kasih pada Leo hari ini. "Sama-sama, Bos. Jangan lupa bonus untukku akhir bulan ini juga harus Bos perhitungkan." "Dasar karyawan mata duitan." "Itu harus, Bos. Bukankah orang bekerja untuk mendapatkan duit?" "Ah, terserah kau saja. Yang pasti duit harus bekerja untuk kita." timpal Fabian. Dan keduanya pun sama-sama tergelak dengan kegilaan mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD