Malam ini Fabian tak mungkin lagi bisa memendam segala macam tanya yang bercokol di dalam hatinya. Sejak di kantor tadi, lelaki itu sangat ingin cepat pulang lalu menemui papa dan juga mamanya. Dan malam ini di saat mereka sedang menikmati makan malam, seluruh anggota keluarganya sedang berkumpul bersama. Saat yang tepat ketika Fabian harus bertanya banyak hal pada mereka.
Baiklah, sebaiknya ia menikmati dulu makan malamnya baru nanti setelahnya ia akan bebas bertanya.
"Fab ...!" panggilan mamanya mengagetkan Fabian yang memang sejak tadi merasa gelisah dan gugup. Lelaki itu mendongak menatap mamanya yang juga sedang menatap dia penuh tanya.
"Ada apa? Sejak tadi Mama lihat kau diam saja. Apakah ada masalah?" tanya Daisy, mamanya Fabian. Seorang ibu memang selalu peka akan setiap hal yang terjadi pada anaknya. Sama seperti Daisy yang merasa ada hal ganjil sedang di alami oleh Fabian.
Putra keduanya yang selalu banyak bicara atau mengkritik segala hal, malam ini tampak berbeda sehingga Daisy mengira pasti ada sesuatu yang sedang Fabian sembunyikan dari keluarga.
Pertanyaan yang dilontarkan Daisy mengalihkan perhatian Papa Fabian. Ikut merasa heran dengan sikap dan perilaku sang putra.
Keduanya manunggu Fabian menjawab. Namun, yang ada justru Fabian hanya menggelengkan kepalanya.
"Nanti saja. Memang ada hal yang ingin aku bicarakan dengan kalian. Tapi sebaiknya kita habiskan saja makan malam ini," ucap Fabian pada kedua orang tuanya.
"Baiklah," jawab Daisy tidak keberatan dengan usul Fabian.
Mereka kembali menikmati makan malam dalam diam. Ketiganya juga tak saling terlibat obrolan. Daisy, merasakan hatinya gelisah. Ia mendadak jadi penasaran dengan hal apa yang ingin Fabian bicarakan.
Selesai dengan makan malam mereka, Fabian menatap papa dan mamanya bergantian.
"Sekarang katakan pada kami, Fab. Hal apa yang menjadi ganjalan di hatimu dan ingin kau pertanyakan pada kami." Daisy membuka obrolan karena wanita itu yang tidak sabar ingin mengetahui dengan hal yang menyangkut tentang Fabian.
"Ini mengenai kecelakaan yang aku alami waktu itu."
Deg. Jantung Daisy tiba-tiba berdetak kencang. Wanita itu melirik sang suami dan ternyata sama halnya dengan dia di mana suaminya juga terlihat tegang hanya dengan mendengar Fabian mengungkit perihal kecelakaan yang menimpa Fabian satu bulan lalu.
"Aku ingin bertanya pada papa dan mama. Tolong jawab dengan jujur apa yang aku tanyakan ini."
"Apa itu?" papa Fabian menyela.
"Pa ... Ma ... apa kabar dengan korban kecelakaan yang aku tabrak sebulan lalu?"
Keduanya saling tatap dengan pertanyaan yang terlontar dari mulut Fabian.
"Apa maksudmu, Fab?" tanya Daisy.
"Ma, jangan lagi menyembunyikan apapun dariku. Aku sudah tahu jika korban kecelakaan itu mengalami kelumpuhan."
Tentu saja Daisy terkesiap. Bagaimana mungkin Fabian telah mengetahui semuanya. Siapa yang memberitahu putranya.
"Dari mana kau tahu akan hal itu, Fab?"
"Ma, jadi benar korban yang aku tabrak itu menjadi lumpuh karena perbuatanku?"
"Fab, dengarkan Papa."
Mendengar instruksi sang papa, Fabian menurut mengalihkan pandangan pada Papanya.
"Kami memang sengaja menyembunyikan tentang kejadian waktu itu karena kami tidak ingin kau akan merasa bersalah. Kecelakaan yang menimpamu itu adalah musibah, Fab. Dan memang benar. Korban yang kamu tabrak mengalami kelumpuhan. Tapi ...."
"Tapi apa, Pa?"
"Kami telah berdamai dengan keluarga korban. Jadi kau tak perlu lagi kepikiran karena kita sudah lepas tanggung jawab."
"Bagaimana bisa begitu, Pa?" protes Fabian tidak mengerti dengan jalan pikiran papa dan mamanya.
"Fab, sudahlah. Kau tak perlu lagi memusingkan hal itu. Lagi pula kita sudah berdamai dan masalah selesai."
Sungguh Fabian tidak berpuas hati dengan jawaban sang papa. Namun, ia tak mungkin membantah jika Papanya sudah mengatakan hal demikian. Selain itu Fabian juga tak bisa mempercayai begitu saja. Ia tetap akan mencari tahu kebenaran yang ada. Ia masih yakin jika ada hal ganjil yang tengah mereka sembunyikan darinya.
***
Keesokan harinya, kembali Fabian mendatangi rumah keluarga Aruna. Lelaki itu ragu dan juga enggan. Namun, mau sampai kapan dia tetap akan memperhatikan Aruna dari jarak jauh seperti ini. Beruntungnya Fabian belum keluar dari dalam mobilnya kala sebuah motor memasuki halaman rumah yang tampak asri karena banyaknya tanaman yang menghiasi pekarangan rumah.
Fabian tak tahu siapa gerangan lelaki yang kini sudah melepas helmnya dan menyalami wanita paruh baya yang Fabian tahu adalah ibunda Aruna. Mereka masuk ke dalam rumah. Membuat Fabian mengurungkan niatnya untuk turun dari dalam mobil dan bertamu ke dalam rumah Aruna. Ia hanya mengawasi saja. Memarkir mobilnya di tempat yang bisa terjangkau oleh penglihatannya.
Cukup lama juga lelaki yang Fabian tidak mengenalnya berada di dalam rumah Aruna. Sampai lelaki tersebut keluar dengan diiringi Aruna yang masih duduk di atas kursi roda dangan didorong oleh ibunya. Fabian sampai memicingkan mata demi bisa melihat wajah sendu Aruna. Kira-kira apa yang terjadi karena perasaan Fabian menjadi tidak enak saja.
Benar sekali sebelum lelaki itu pergi, sempat melemparkan tatapan pada Aruna dan ibu Aruna lalu memakai kembali helmnya dan menjalankan motor keluar dari halaman. Ibu Aruna memeluk kepala putrinya. Jadi, Aruna sedang menangis setelah lelaki itu pergi. Kenapa melihat Aruna sedih, hati Fabian ikut merasa trenyuh. Begitu yang ada dalam benak Fabian.
Fabian menggelengkan kepalanya. Benarkah mereka sedang bersedih? Fabian memastikan karena dari jarak yang tak bisa di bilang dekat, Fabian harus menajamkan penglihatannya demi bisa melihat Aruna.
Selanjutnya Ibu Aruna kembali mendorong kursi roda masuk ke dalam dan menutup pintunya sehingga Fabian tak lagi bisa melihat mereka.
Baiklah, cukup sudah pengintain Fabian hari ini. Ia akan kembali lagi esok hari. Tak apa ia gagal kembali menemui Aruna sekarang. Yang jelas saat ini ia sedang kepikiran dengan apa yang terjadi pada Aruna. Fabian harus mencari tahunya. Siapa lagi yang akan Fabian andalkan jika bukan Leo.
Menjalankan mobil dengan bersemangat agar segera sampai di kantornya. Ia tak sabar ingin menemui Leo dan mebicarakan pasal Aruna pada asistennya itu.
Memasuki area parkiran kantor setelah melewati waktu sekitar satu jam lamanya. Akan tetapi saat Fabian memasuki kantor hingga masuk ke dalam ruang kerjanya, Fabian tidak mendapati keberadaan Leo.
"Ke mana dia?" gerutuan terlontar dari bibir Fabian.
Merogoh saku celana kerjanya dan mengambil ponsel yang tadi ia simpan di dalam sana. Mencari kontak Leo dan segera meneleponnya.
Tiga kali deringan tidak di jawab juga oleh Leo. Mencoba sekali lagi dan akhinya berhasil. Leo mengangkat panggilan teleponnya juga.
"Leo ... kau di mana?"
"Toilet, Bos!"
"Ngapain di toilet."
"Sakit perut."
"Ada-ada saja. Ya, sudah lanjutkan saja aktifitasmu. Jangan lupa begitu selesai kau segera datang ke ruanganku." perintah Fabian.
"Baiklah, Bos."