“Ini saya orang yang saya Anda antar tadi. kalau sedang berantem dengan ayahmu jangan dibawa-bawa ke orang lain dong!” tegur Anissa dengan kuat.
Refal mengusap wajahnya dengan kasar. “Anda mau apalagi? Loh, kenapa Anda bisa dapat nomor telepon saya? Oh, atau jangan-jangan pas saya nyetir kamu ambil ponsel saya diam-diam ya?”
“Ck, sembarangan! Anda sendiri yang menaruh kartu nama Anda di dalam koper milik saya. Oh, justru Anda sengaja kan biar saya langsung bayar hutang? Tapi, Anda tenang saja saya sudah mentransfer full biaya rumah sakit dan uang ongkosnya. Silakan, Anda bisa cek nomor rekening Anda.”
Kedua mata Refal membulat. Jangan-jangan saat aku periksa koper itu kartu namaku sampai terjatuh? Duh, mana kartu nama itu yang ada nomor rekening. Hancur sudah harapanku untuk menekan dia biar bisa aku manfaatin.
Awalnya, kartu nama itu akan dia serahkan kepada pengusaha yang akan mengajak kerjasama dengannya. Namun, berhubung Refal lupa sampai mengantar Anissa entah mengapa justru jatuh di dalam kopernya saat ia mencari identitas lengkapnya.
“Anda berani sekali ya mentransfer uang tanpa sepengetahuan saya!”
“Oh, tentu saya sangat berterima kasih dengan Anda. Jadi, masalah kita sudah clear dan jangan pernah Anda ganggu hidup saya lagi!” Anissa memencet tombol merah untuk mematikan panggilan itu.
“Heh, dasar perempuan aneh! Anda jang … tut … tut ….”
“Ha-halo?” Hanya ada suara panggilan terputus di ponselnya. Wajahnya terangkat merah merona, tangannya pun hendak melemparkan benda pipih itu. Namun, seketika niatnya terkurung setelah menerima telepon dari Anissa.
Kebiasaan Refal jika sedang marah saat menggenggam telepon dia bisa saja menghancurkannya sampai berkeping-keping.
“Aku gak boleh gegabah merusak handphone ini. Aku masih membutuhkan bantuan perempuan itu untuk menyelesaikan masalahku dengan Papah,” gumam Refal.
Sementara Anissa, dia sudah merasa tenang setelah melunaskan hutangnya pada Refal. Kini, dia harus menata hidupnya sendiri kembali sama seperti sebelum menikah dengan Aris. Dia menghapus semua kenangan dengan Aris baik foto pernikahan, liburan bersama dan masih banyak kenangan lain yang harus Anissa hapus dari memori otaknya.
“Aku harus bisa berdiri sendiri. Dengan followers ini, aku yakin bisa mengais rezeki dari sini.” Anissa mengambil sapu untuk membersihkan kontrakan barunya.
Sebagai selebgram, Anissa sendiri memiliki penghasilan dari jutaan followers yang setia melihat video-video pendeknya. Belum lagi, endorsement yang masuk ke rekeningnya sampai meraup hasil dari sana, hingga tabungan rekeningnya menggemuk.
Anissa pun jarang menggunakan uang dari hasil yang diraih dari sana sebab uang yang diberikan dari Aris pun sudah mencukupi kehidupannya. Biasanya uang dari penghasilannya digunakan untuk bersedekah kepada janda atau orang yang membutuhkannya.
Satu minggu kemudian, Anissa sudah berdandan rapi untuk menghadiri pesta pernikahan mantan suami dan sahabatnya itu. Awalnya Anissa tidak ingin hadir sebab dia masih dalam masa iddah, jadi dia akan keluar dengan keadaan yang darurat atau begitu penting. Namun, Anissa rasa dia harus datang walau hanya memberikan selamat dan bingkisan untuk mereka.
“Ya Allah, izinkan aku untuk mendatangi pesta itu. Aku berjanji Ya Allah, akan segera pulang dan tak akan lama di sana. Semoga, tidak ada hal yang tidak aku inginkan.”
Perempuan itu pun menutup pintu rumahnya lalu menuju ke gang depan untuk menunggu angkutan umum.
Tak lama kemudian, Anissa sudah sampai di gedung tempat Aris dan Emi mengadakan pesta pernikahan. Ekor mata perempuan itu meneliti pesta yang begitu megah, bahkan Aris membuatnya lebih elegan bertema hijau sage warna kesukaannya pada pernikahan dengan sahabatnya.
Apakah aku bisa ikhlas melihat kebahagiaan mereka?
Anissa datang sengaja di tengah-tengah acara, dia takut menangis dan merasa tidak rela saat Aris menyebut nama Emi saat ijab kabulnya. Sebagai perempuan yang masih menaruh perasaan dengan Aris, tentu akan sulit mengontrol emosinya.
Akhirnya, kamu datang juga Anissa. Lihatlah, aku telah berhasil merebut suamimu di tanganku. Walau persahabatan kita putus pun, aku tidak peduli asal Aris berada di dalam pelukanku, batin Emi.
Merasa dipandang Emi dengan tajam, dia pun segera menuju ke kursi pelaminan untuk memberikan ucapan selamat dengan keluarga barunya.
Perempuan berhijab merah itu pun mengulurkan tangannya. “Selamat ya, atas pernikahan kalian. Semoga, keluarga kalian langgeng sampai maut memisahkan,” ucap Anissa dengan senyuman merekah lalu memberikan kado untuk mereka
“Oh, jelas dong. Aku dan Mas Aris akan berbahagia bersamaku, bahkan aku bisa memberikan selusin anak agar Ibu bisa segera menggendong cucu banyak. Ya enggak Bu?”
“Ya dong, gak kayak mantan menantu Ibu minta satu anak aja nunggunya berabad-abad,” ejek Endang membuat Anissa menunduk malu sebab di belakangnya masih ada tamu yang mengantre bersalaman.
“Ya sudah, ini ada sedikit kado dari saya. Semoga, kamu suka dengan kado ini ya.”
Aris pun mengulurkan tangan, akan tetapi Anissa pun tidak menerima hanya mengatupkannya di d**a secara menunduk. Lalu, dia bersalaman dengan Endang si lidah mertua yang begitu pedas sampai memisahkan pernikahannya dengan Aris.
Saat Annisa turun dari panggung pelaminan, tiba-tiba ada seorang bridesmaid berjalan membawa nampan minuman yang hendak dijatuhkan ke arah Annisa, akan tetapi seorang lelaki segera menangkis yang justru mengenai jas hitamnya sendiri.
Byur!
Baju jas lelaki itu pun basah kuyup akibat minuman dingin itu mengguyur badannya oleh bridesmaid itu.
“I-itu bukannya …?” gumam Aris saat melihat lelaki yang pernah dilihatnya. Namun, Aris tidak begitu mengenal lelaki itu sebab entah pertemuan dari kapan. Dia sendiri merasa tidak asing dengan sosok Refal.
“Lho, kenapa Anda ada di sini?” tanya Anissa lalu mengeluarkan tisu dari dalam tasnya.
Tangannya tak segan untuk mengusap jas yang Refal pakai pada saat itu. lelaki itu pun memegang lengan Anissa dengan kuat. “Ngapain pegang tangan saya?”
“Ayo, sekarang kita pergi dari sini!”
“Tap—”
“Ayo!”
Lama menunggu Anissa tidak segera bergerak, akhirnya lelaki itu pun menariknya dengan paksa sampai masuk ke dalam mobilnya.
“Kenapa, Anda bawa saya ke sini? Saya kan belum selesai dengan acara itu,” keluh Anissa, dia seperti dibuat malu oleh Refal yang memaksanya pulang. Terlebih ada beberapa teman kerjanya yang melihat dirinya dengan lelaki lain setelah resmi berpisah dari Aris.
“Apa? Anda mau sampai selesai dengan acara itu sementara harga diri Anda sedang diinjak-injak oleh si pemilik acara?” tekan Refal dengan menatap kedua netra Anissa dengan tajam lalu berlanjut untuk melanjutkan perjalanan.
Perempuan itu pun membalas tatapan itu dengan menahan deru napas yang begitu cepat. “Maksudnya?”
“Sampai sini saja, Anda tidak paham apa maksud saya. Apa, Anda tidak melihat semua mata memandang Anda dengan rendah? Harusnya, sebagai mantan istri Anda membawa pasangan agar mereka tidak memandang remeh Anda yang datang!”
“Anda pikir siapa bisa mengatur saya? Lagi pula, saya direndahkan juga tidak akan mengembalikan momen yang saya harapkan. Oh, atau jangan-jangan Anda ngarep ya kalau saya mengajak Anda?” tuduh Anissa.
“Berarti, memang harga diri Anda itu murah! Perempuan seperti Anda itu seharusnya memiliki harga diri yang tinggi. Apa Anda tidak paham saat seseorang menumpahkan minuman tadi? Itu akal busuk dari istri mantan suami Anda itu!”
Anissa mengangkat kedua alis. “Apa?”
“Iya, saya sudah mendengar semua permintaan dia sebelum Anda datang. Saya sudah berada di sini.”
Anissa menatap lelaki itu kembali. Mungkin, jika tidak ada Refal dia sudah dibuat malu oleh Emi.
“Oh, berarti Anda sudah berniat untuk mengikuti saya?”
“Iya, bukannya saya kemarin sudah bilang kalau seharusnya kamu itu tidak sendirian. Dan, bagaimana jika tadi saya tidak menolongmu?”
“Oke, terima kasih lagi-lagi Anda menolong saya. Tapi, saya harap tidak ada imbalan lagi dari Anda.”
Refal menatap ke depan lalu menghidupkan mobil. “Tentu, ada! Di dunia ini tidak ada yang gratis, Anissa!”
Anissa melotot dengan tajam yang melihat wajah santai lelaki itu. “Anda tahu nama saya?”
“Anissa Humairah Azzari dan nama panggung selebgram Anda Penggerak Semangat?”
“Anda kenapa tahu semua tentang saya? Oh, Anda bongkar koper saya ya kemarin?”
Refal menyunggingkan bibirnya. “Data Anda ada di tangan saya. Jadi, saya bisa hari ini mengumumkan di media massa kalau akun itu resmi milikmu. Seorang istri yang merasa tersakiti karena tidak bisa memiliki keturunan.”
“Saya mohon sama Anda, tolong jangan buka rahasia ini ke media massa mana pun. S-saya janji akan mengikuti semua perintahmu. Tapi, saya tidak akan menjadi pacar pura-puramu!” Mata itu bergerak merasa iba dengan keadaan sebenarnya.
Lelaki itu pun menepikan mobil di pinggir jalan. Dia membalas tatapan iba Anissa. “Oke. Saya tidak akan menjadikan Anda sebagai pacar pura-pura Anda. Tapi ….”
“Tapi apa? Saya juga tidak akan keluar rumah sebelum masa iddah saya selesai. Tolong, jangan buat saya dikerjain dalam masa iddah ini Pak Refal.” Anissa mengatupkan kedua tangan di dadanya.
Dia pikir hanya dia yang mengenal sosok Refal lewat kartu namanya, akan tetapi justru Refal lah yang lebih mengenal sosok Anissa yang bersembunyi sebagai selebgram penyemangat hidup orang lain.
“Tidak, saya tidak akan memberikan pekerjaan untukmu di luar rumah. Jadi, Anda bisa menjalankan misi Anda.”
Anissa mengerutkan dahi, dia semakin bingung dengan kemauan lelaki yang ada di hadapannya. “Lalu, Anda mau apa dari saya?”
“Anda harus mau jadi istri saya,” ucap Refal yang membuat Anissa tersentak kaget.