Perjodohan

1618 Words
Kedua bola mata perempuan berwajah oval itu pun membulat. Mulutnya ternganga dengan tawaran tergila lebih dari sekadar pacar untuknya. Untuk menjadi pacar saja, Anissa membutuhkan pertimbangan yang banyak ini lagi diminta untuk menjadi istrinya hanya karena dorongan orang tuanya. “Anda, sudah gila Pak Refal! Anda tahu saya sedang masa iddah, dan itu sangat tidak dibolehkan,” tampik Anissa dengan tegas. Lelaki berwajah dingin itu pun menyunggingkan bibirnya. “Kamu menganggapnya serius, Anissa?” “Maksudnya?” Anissa semakin dibuat bingung oleh ceo tampan dan dingin itu. “Saya hanya bercanda. Lagi pula, saya mana mau menikah dengan gadis yang susah diatur. Ups, lupa bukan gadis ya?” Refal seolah-olah meledek perempuan itu, hingga wajahnya bersemu-semu merah. Anissa menghela napas dengan pelan. “Saya memang janda. Tapi, akan saya teguhkan menjadi janda terhormat. Permisi!” Tangan Anissa hendak membuka pintu mobil, akan tetapi dengan cepat lelaki itu menghentikannya. “Lepas! Jangan pegang-pegang saya,” keluh Anissa yang berusaha menampik. “Maaf, saya tidak bermaksud un—” “Sudahlah, saya memang perempuan biasa penggerak semangat. Dan, saat ini memang status saya sebagai janda bukan gadis lagi. Jadi, Anda memang tidak salah.” Anissa pun segera keluar dari mobil itu sebelum dicegah kembali oleh Refal. Lelaki itu pun memukul setir mobil. Refal merasa gagal dengan misi yang belum ia selesaikan dengan perempuan itu. Dia pun akhirnya pulang ke rumah ayahnya yang berharap untuk mendapatkan kenyamanan dari ibunya. Sampai di tempat parkir, semua orang yang sudah menjadi karyawan di rumah mewah milik ayahnya pun tunduk patuh dengan pewaris tunggal dari keluarga Anggara. “Refal, dari mana saja kamu? Sedari tadi, Papah telepon kenapa diangkat?” tanya Andro dengan nada yang dipertegas. Hal yang membuat lelaki itu malas pulang ke rumahnya sendiri selalu mendapat bentakan atau tekanan dari ayahnya, sedangkan dia ingin merasakan kerinduannya dengan seorang Ibu. Itulah sebabnya Refal lebih memilih hidup di apartemen sendiri. “Maaf Pah, Refal tadi sibuk,” kilahnya lalu melangkah kembali ke anak tangga. “Refal, Papah belum selesai bicara! Atau semua harta Papah akan jatuh ke tangan Om kamu?” Langkahnya tercegah saat mendengar ‘harta’. Ada hal tersembunyi dari lelaki itu mengapa sebegitu kuatnya Refal ingin mempertahankan harta bendanya hanya untuk keluarganya sendiri. Refal pun membalikan badan, kakinya turun dari tangga, kedua tangannya membenarkan jasnya yang masih basah. Mau tidak mau untuk saat ini, dia harus mematuhi perintah ayahnya. “Sayang, sudah pulang?” Rosa keluar dari kamarnya menggunakan kursi roda. Sedangkan Refal, dia langsung menyambut Ibu kandungnya lalu memeluk di depan ayahnya. “Sudah, Mah. Mamah gimana kabarnya?” tanya Refal dengan manis. “Alhamdulillah, Mamah baik. Kita duduk yuk sama Papah,” ajak Rosa. Refal mengangguk lalu mendorong kursi roda milik ibunya. Kecelakaan tunggal yang pernah dialami Rosa membuat tulang dan sendi di lututnya mengalami masalah yang masih susah untuk sembuh. “Refal, Papah mohon dengan kamu untuk kali ini saja tolong penuhi permintaan Papah demi keluarga kita,” pinta Andro. Rosa pun mengelus lengan anak semata wayangnya yang begitu dingin. Senyum Rosa begitu merekah indah lalu mengelus dahi anaknya itu lalu turun sampai ke baju jasnya. “Loh, jas kamu kok basah, sih? Kamu habis ngapain?” “Oh, tadi Refal di cafe Mah, ada pelayan yang gak sengaja numpahin minuman,” kilah Refal. “Ya ampun, nanti ganti baju tidur ya. Masa anak Mamah yang ganteng dan dingin juga jutek ini harus basah-basahan sih,” ledek Rosa yang berniat untuk mencairkan suasana tegang dengan suaminya. Dia selalu memanjakan Refal seperti anak bayi sebab Rosa tidak memiliki anak lagi selain Refal. Dia pun pernah kehilangan adiknya Refal saat berusia 1 tahun, itu sebabnya usia berapa pun yang dimiliki Refal, Rosa selalu menganggapnya bayi. “Ya Mah, nanti Refal ganti baju.” “Malam minggu nanti kita akan mengadakan makan malam dengan keluarga teman bisnis Papah. Dan kamu, harus ikut dengan Papah.” “Maaf Pah, Refal punya acara sendiri. Jadi, sebaiknya Papah datang saja sama Mamah,” tolak Refal. “Tidak bisa Refal! Kamu dan anak teman bisnis Papah akan segera dijodohkan. Jadi, Papah harap kamu tidak usah membantah dan terima saja perjodohan ini,” tekan Andro. Kening Refal mengerut. “Apa? dijodohkan? Sudah berapa kali Refal bilang ke Papah kalau Refal tidak mau dijodohkan, apa Papah butuh aku teriak di atas mimbar perusahaan?” “Refal! Sekali ini saja, kamu tidak usah membantah Papah! Kamu sendiri juga tidak bisa mencari calon istri sendiri, apa susahnya sih kamu terima beres?” Lelaki itu menggeleng. “Jelas tidak! Refal tidak ada kepikiran untuk menikah. Apa sih yang kurang dari harta Papah yang banyak dengan kehidupan mewah apa itu kurang?” “Apa kamu akan menjadi bujang lapuk seterusnya? Kamu ini sudah dewasa Refal, apa kamu tidak ingin melihat ibumu menggendong cucu di saat masa tuanya?” Refal melihat ibunya yang tersenyum semringah dengannya. Kepalanya mengangguk dengan matanya yang berkaca-kaca. “Mah?” panggil Refal. “Ibu akan mengharapkan. Tapi, semua keputusan ada di tangan kamu, Sayang.” Refal mencium tangan Rosa lalu tanpa permisi lelaki itu pergi meninggalkan rumah megahnya. “Refal, Papah belum selesai bicara!” Lelaki berwajah dingin itu lari terbirit-b***t menuju ke mobil miliknya lalu berkendara secepat mungkin untuk membakar rasa emosi yang benar-benar sudah naik ke ubun-ubunnya. Apa benar, Mamah ingin memiliki cucu? Tapi, sejak kapan Mamah menginginkan hal itu? Bukankah selama ini Mamah selalu berpihak padaku daripada Papah? Aku tidak pernah membantah perintah Mamah, tapi ini permintaan yang begitu sulit untukku lakukan. Refal pun kembali ke kontrakan perempuan yang sudah ditolongnya. Dia keluar dari pintu mobil lalu segera mengetuk pintu rumah kontrakan tersebut. “Iya, sebent—” Anissa memotongnya sendiri saat melihat lelaki itu bersinggah ke rumahnya. Namun, belum saja Anissa menawarkannya untuk masuk, Refal sudah duduk di kursi sofa di samping pintu rumahnya. “Kamu? Gak sopan langsung masuk ke rumah orang!” bentak Anissa. “Rumah kontrakan ya? Saya bayar 5 tahun sekalian, hanya untuk bersinggah hari ini.” “Jangan Anda harap semua bisa dibayar pakai uang! Sekarang, silakan Anda keluar dari rumah saya. Hari ini, saya sedang tidak ingin diganggu dengan siapa pun!” “Siapa yang mau mengganggu Anda? Saya hanya ingin numpang bersinggah saja. Kalau Anda mau menjalankan aktivitas lain ya silakan.” Anissa menghela napas dengan halus. Berhadapan dengan ceo jutek dan dingin memang harus memiliki ekstra kesabaran yang tinggi. “Saya ini masih masa iddah, apa Anda tidak paham akan hal itu?” “Tapi, Anda tidak bisa menjalankan sesuai dengan hati dan pikiran Anda. Coba, kemarin Anda sendiri datang ke tempat ramai pesta pernikahan. Apakah Anda masih ingin menyalahkan saya di sini?” “Stop! Saya tidak mau berdebat dengan Anda. Saya tidak mau ada fitnah tetangga. Jadi, lebih baik Anda bisa pergi dari sini.” Anissa menunjuk pintu itu dengan tajam. “Buatkan saya kopi, maka saya akan diam dan tidak bikin onar di sini.” “Anda pikir saya pembantu?” Anissa begitu geram dengan tingkah laku Refal yang bergerak dengan semaunya saja. Padahal, sore hari ini Anissa akan mengadakan live di beberapa akun sosial medianya. “Ya sudah, saya akan tetap menunggu di sini sampai ada kopi di atas meja.” Refal membuka ponsel di sana dia berselancar di sosial medianya. Akhirnya, Anissa pun mengalah daripada berdebat yang entah sampai kapan selesainya. Dia berjalan ke arah dapur lalu meracik kopi hitam kesukaan suaminya. Di saat hal genting seperti ini, Anissa tidak dapat berpikir sejernih mungkin hanya mengingat resep terakhir yang dibuat untuk suaminya. “Nih!” Anissa meletakkan secangkir kopi di atas meja itu. Refal menurunkan kakinya, tangannya pun menyambar kopi lalu diarahkan mulutnya yang sedari tadi sudah merasa kehausan. Lidahnya mampu merasakan racikan kopi hitam dengan gula yang pas dengan takarannya. “Aris, bodoh!” “Hah?” “Kopi buatanmu lebih dari restoran bintang 5. Ini pasti resep kesukaan Aris, kan?” Anissa salah tingkah, dia lupa jika kopi yang disuguhkan itu tak seharusnya mirip yang disuguhkan untuk orang lain. Kenapa bisa lupa begini? Apa aku belum move on dari Mas Aris? “Melupakan seorang yang pernah dicintai itu sulit.” Anissa berbalik badan lalu melangkah kembali. “Mau ke mana? Saya mau cemilan yang lain. Masa ada tamu, hanya diberi kopi saja.” Perempuan itu pun berbalik badan kembali. “Anda bisa jajan di luar. Rumah saya bukan warung ya, sudah untung saya kasih kopi. Masih aja nawar!” “Oke, saya mau nge-tag akun Penggerak Semangat dengan akun asli Anda." Matanya kembali fokus melihat ponsel. “Jangan!” Anissa berlari untuk mengambil ponsel lelaki itu. tetapi dengan cepat Refal menangkisnya. “Kenapa? Suka-suka saya dong, kok Anda panik begini?” “Oke, saya akan mengambil cemilan. Tapi, tidak usah mengumumkan ke media kalau itu akun saya.” Anissa melangkah kembali ke dapur untuk mengambil cemilan walau dengan menggerutu di dalam hatinya. Sedangkan Refal, dia merasa puas mengerjai Anissa. Gigi taringnya sampai keluar saat wajahnya tak sengaja terkena pantulan cermin di tembok. Terakhir kapan aku bisa sebahagia ini? Kenapa, aku bisa menertawakan perempuan itu dengan sepuas hati? “Nih!” Anissa menurunkan penampan penuh yang berisi camilan. Dia pun melangkahkan kakinya kembali daripada menemani monster ngemil itu sangat tidak mungkin bagi Anissa. “Duduk, kenapa pergi? Gak sopan, tamu ditinggal pergi.” Dia berbalik badan. “Saya tidak merasa punya tamu.” “Saya ke sini untuk menagih bayaran Anda. Tadi kan, saya sudah menyelamatkan harga diri Anda dan yang kemarin pun baru setengah jadi saya mau min—” “Saya tidak mau!” potong Anissa dengan tegas sebab ia sudah bosan mendengar alasan yang sama. “Kali ini bukan alasan untuk menjadi pacar pura-pura.” Anissa mengerutkan dahi lalu berjalan santai lebih mendekatnya. “Lalu apa? Lelaki model seperti Anda itu tidak jauh dari hal yang licik!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD