Flasback, 3 Tahun lalu.
Tepuk tangan meriah menggema di seluruh penjuru ballroom salah satu hotel bintang ternama di bilangan Jakarta selatan, tempat di mana sedang berlangsungnya sebuah acara yang sangat sakral, sebuah resepsi pernikahan dari salah satu putra konglomerat yang sangat terkemuka di Indonesia.
Pernikahan dari putra pasangan Ahmad Syahreza dan Ani Pandhita yang bernama Antonius Putra Syahreza, dengan putri tunggal dari pasangan Bambang Nasution dan Alina Gayatri yang bernama Safira Nasution. Anton dan Ara, panggilan akrab Safira memutuskan untuk menikah setelah menjalin hubungan kurang lebih 3 tahun lamanya.
Dari sekian banyak tamu undangan yang hadir dan menyambut dengan gembira pesta pernikahan ini, ada satu orang yang justru merasakan hal sebaliknya dengan apa yang orang lain rasakan kini
Seorang wanita yang sangat cantik dengan balutan dress berwarna hitam gelap itu melangkah, mendekati kedua mempelai yang sedang bersanding di atas pelaminan. Binar bahagia jelas terpancar di wajah keduanya, berbahagia karena baru saja menyandang status sebagai pasangan suami dan istri yang sah secara hukum dan agama.
Ya, wanita itu tak lain dan tak bukan adalah Sein, wanita yang notabenenya adalah salah satu anggota dari keluarga yang sedang berbahagia. Meskipun Sein tidak memiliki hubungan darah dengan Ahmad dan Ani, tapi keduanya adalah orang yang sudah merawat dan membesarkan Sein sejak kedua orang tua Sein meninggal dalam tragedi kecelakaan pesawat yang merenggut nyawa keduanya.
Dengan langkah penuh percaya diri, Sein menaiki mimbar pelaminan. Begitu jaraknya dan kedua mempelai sudah dekat, Sein bisa merasakan dadanya bergemuruh, jantungnya yang tiba-tiba berdenyut nyeri dan hatinya yang seperti di tusuk ribuan jarum. Sakit, rasanya benar-benar sakit.
Sein sendiri memang sengaja memilih dress berwarna hitam, warna yang sangat ia sukai dan warna yang juga bisa menggambarkan suasana hatinya, yang kini sedang berduka. Berduka melihat pria yang sangat ia cintai bersanding dengan wanita lain. Wanita yang sialnya sangat pria itu cintai.
"Hai, Sein," sapa Ara dengan senyum yang terus menghiasi wajah cantiknya yang terpoles make-up.
"Hai, Kak Ara." Sein sudah berdiri berhadapan dengan Ara. Sein mengulurkan tangan kanannya yang langsung di sambut hangat oleh Ara. "Selamat ya Kak, semoga pernikahan Kak Ara sama Om Anton langgeng sampai maut memisahkan." Doa dan harap Sein tulus, tak lupa memberi Ara sebuah senyuman.
Doa dan harapan yang baru saja Sein ucapkan, benar-benar tulus Sein panjatkan. Jika memang bersama Ara Anton akan merasa bahagia, maka apalagi yang bisa Sein berikan untuk menggantikan kebahagian yang kini sedang Anton rasakan, selain doa.
Anton dan Ara langsung mengamini doa yang baru saja Sein ucapkan, keduanya bahkan tak sungkan lagi untuk menunjukan keintiman dan kemesraannya di hadapan Sein, membuat hati Sein semakin tersayat sembilu.
Saat menyebut nama Anton, Sein merasa sakit yang teramat sangat dalam di lubuk hatinya, dulu Sein selalu berharap bahwa pria yang kini telah menyandang status sebagai seorang suami orang lain itu mau membalas rasa cintanya. Tapi impian itu sekarang tinggal khayalan, karena pada kenyataannya Anton memilih untuk menikahi wanita yang sudah sejak semasa kuliah di kencaninya.
Saat ulang tahunnya yang ke 19 tahun, lebih tepatnya beberapa bulan yaing lalu, Sein pernah mengutarakan isi hatinya pada Anton yang hanya Anton tanggapi dengan sebuah tawa dan pelukan hangat. Mungkin Anton hanya menganggap ungkapan cinta yang pernah Sein ucapkan hanya sebagai sebuah lelucon belaka, padahal Sein serius, Sein sangat mencintai Anton.
Setelah menyalami kedua mempelai pengantin dan sedikit bercengkrama baik dengan Ara atau dengan Anton, Sein lalu menuruni mimbar, melangkah menghampiri Ani yang sedang berbincang-bincang dengan para tamu undangan.
"Mah," sapa Sein.
Ani menoleh pada asal suara, tersenyum begitu melihat Sein berada di sampingnya. Tapi senyum di wajah Ani menghilang saat melihat raut wajah Sein yang tidak biasa, wajah Sein terlihat pucat pasi.
"Sayang, kamu sakit wajahnya pucat banget?" Ani memegang kening Sein untuk mengecek suhu tubuh Sein.
Sementara Sein hanya diam, dan menjawab pertanyaan Ani dengan gelengan kepala.
"Panas banget. Sein ke kamar aja ya, istirahat di kamar," ujar Ani lembut.
"Sein baik-baik aja Mah, cuma pusing sedikit doang." Sein mencoba menenangkan Ani yang mulai panik sendiri.
"Sayang, kamu tidak baik-baik saja. Suhu tubuh kamu panas," keluh Ani.
Sein malah tertawa cekikikan begitu mendengar nada kesal Ani, dan hal itu membuat Ani semakin kesal saja.
"Ih, kalau di kasih tahu tuh ya suka ngeyel, kesel Mamah," ujar Ani gemas seraya menjawil hidung mancung Sein membuat Sein meringis kesakitan.
Dari jarak yang tak terlalu jauh dari Sein dan Ani, terdapat Lucas yang juga sedang asik berbincang-bincang dengan para sahabat semasa sekolahnya dulu.
"Guy's gue pamit ya, mau liat adek gue dulu," pamit Lucas, mengakhiri sesi tanya jawab yang di lontarkan sahabat-sahabatnya.
"Ya elah, gak asik lo, Luc," sahut Dika, padahal mereka baru saja memulai sesi tanya jawab dan belum sempat mengorek lebih dalam sisi kehidupan Lucas selama di luar negeri.
"Gue belum ketemu adek gue dari tadi siang," jelas Lucas kesal. Sebenarnya Lucas memang sengaja menghindari sahabat-sahabatnya yang kalau sudah kepo, melebihi tingkat dewa.
"Salam buat adek lo Luc, dari Aa tertampan se Jakarta," ujar Bimo, seraya menepuk-nepuk ringan pundak Lucas.
"Sampai lebaran kuda, gue bakalan enggak setuju kalau adek tersayang gue deket-deket sama cowok kaya lo," sungut Lucas menggebu-gebu.
Sontak saja jawaban Lucas membuat beberapa sahabat-sahabat Lucas yang lain tertawa terpingkal-pingkal.
"Mampus lo Bim! Makannya jadi cowok tuh jangan b******k," ledek Dika penuh semangat.
"Ya elah, gue cowok baik-baik kok, lagian lebih parah Dhana dari pada gue," jawab Bimo sambil menunjuk pada Dhana yang berada tepat di hadapannya.
"Kalian berdua tuh sama aja," sindir Lucas diiringi dengusan kesal.
Semua orang kembali tertawa, tak kecuali kedua orang yang sedari tadi menjadi topik perbincangan.
"Udah ah, gue pamit dulu, bye." Tanpa menunggu jawaban dari sahabat-sahabatnya Lucas berlalu begitu saja. Tujuannya sekarang adalah, menghampiri Ani dan Sein yang sepertinya terlibat adu mulut.
"Kenapa, Mah?" tanya Lucas penasaran saat melihat raut wajah Ani yang tampak panik dan juga khawatir.
"Lucas, tolong bawa Sein ke kamar aja. Badannya panas dan lihat wajahnya, wajahnya pucat."
Lucas menoleh pada Sein, adiknya. Memang benar kalau wajah Sein terlihat sangat pucat pasi. Lucas menghampiri Sein, lalu menempelkan telapak tangannya di kening Sein untuk mengecek suhu tubuh Sein.
"Iya, suhu badan kamu panas banget, Dek," gumam Lucas dengan nada tersirat penuh rasa khawatir.
"Iya, kan. Mending sekarang bawa Sein ke kamar, lagian acaranya juga udah mau selesai kok," perintah Ani.
Suara riuh kembali terdengar, membuat Ani, Lucas, dan Sein ikut mengalihkan perhatian mereka pada asal suara. Lebih tepatnya, pada kedua pasang mempelai yang sepertinya akan berdansa.
Sein tersenyum kecut, begitu mendengar lantunan irama lagu yang sepertinya di mainkan atas request Anton. Lagu yang mungkin menggambarkan perasaan Anton dan Ara saat ini. Bahagia, tentu saja.
"Ya Tuhan, kenapa rasanya sesakit ini!" jerit Sein dalam hati. Sein menggigit bibir bawahnya dengan tangan mengepal, membuat buku tangannya memutih.
Lucas melirik Sein, menghela nafas berat begitu melihat luka yang terpancar dengan jelas di kedua mata hitam legam Sein.
"Dek!"
Sein sama sekali tidak menoleh begitu Lucas memanggilnya.
"Sein!" Sekali lagi Lucas memanggil, tapi tetap tidak ada respon dari Sein.
Fokus Sein saat ini masih tertuju pada kedua pasangan pengantin yang sedang berdansa di iringi lantunan lagu yang yang indah, tapi menyayat dan menggoreskan luka bagi Sein.
"Seina Latisya Prasetyo!" Kali ini Lucas memanggil Sein lengkap dengan nama panjang dan marga keluarga mereka, dan ternyata hal itu berhasil membuat Sein menoleh pada Lucas yang kini menatap Sein dengan raut wajah tak terbaca.
"Ayo, kita ke kamar." Tanpa menunggu jawaban Sein, Lucas menarik lembut pergelangan tangan kanan Sein, bahkan tanpa berpamitan pada Ani yang sedang menyaksikan Anton dan Ara berdansa.
Sepanjang perjalanan menuju lift yang berada tak jauh dari tempat Lucas dan Sein tadi berdiri, Sein dan Lucas terus menjadi pusat perhatian, baik dari kaum Adam yang mengagumi kecantikan Sein atau kaum Hawa yang terpesona dengan ketampanan yang di miliki Lucas. Keduanya benar-bener mirip, bagai pinang di belah dua.
Sein melingkarkan tangannya di pinggang Lucas, menyandarkan kepalanya yang semakin berdenyut nyeri di bahu kokoh Lucas dengan kedua mata yang mulai terpejam. Lucas mengecup puncuk kepala Sein, balas memeluk erat pinggang Sein.
Lucas merunduk untuk melihat Sein yang ternyata memilih untuk memejamkan mata saat lift bergerak naik, menuju lantai di mana kamar keluarga besar mereka berada.
Tak sampai 5 menit kemudian, lift yang Lucas dan Sein naiki sudah sampai di lantai yang mereka tuju.
Sein membuka mata, dan keduanya kembali melangkah menuju kamar milik Sein yang berada tak jauh dari lift.
Sein melepas pelukannya dari pinggang Lucas, melangkah menuju tempat tidur dan langsung berbaring dengan posisi tubuh membelakangi pintu. Lucas menghampiri Sein, lalu duduk di balik punggung Sein yang mulai bergetar.
"Sein." Lucas mengecup lembut puncuk kepala adiknya dengan penuh kasih sayang.
"Hm." Sein hanya menyahut panggilan Lucas dengan gumaman, masih dengan mata yang senantiasa terpejam. Lucas duduk di sisi samping Sein, membelai lembut puncuk kepala adiknya dengan penuh kasih sayang.
"Dek," lirih Lucas sendu.
Lucas menarik tangan kanan Sein membuat Sein sontak terbangun dari posisi tidurnya, Sein langsung membalas pelukan Lucas.
"Menangislah, sayang."
"Sakit, rasanya sa-sakit, Bang," lirih Sein terbata, membalas pelukan Lucas dengan sangat erat dan mulai menumpahkan tangis yang sudah sejak beberapa jam lalu ia tahan.
Sein meremas kuat punggung Lucas, menyalurkan rasa sakit yang saat ini menggerogoti perasaannya. "Sein gak tahu kalau rasanya akan sesakit ini, Bang."
"Maaf, maafin Abang." Lucas merengkuh tubuh bergetar Sein.
Keduanya menangis, Sein yang menangis karena pria yang sejak dulu ia cintai kini sudah menjadi milik orang lain, dan Lucas yang menangis karena merasa bersalah. Seandainya Lucas tahu lebih awal tentang perasaan Sein pada Anton, pasti Lucas akan melakukan sesuatu yang setidaknya bisa mengurangi rasa sakit yang saat ini sedang Sein rasakan.
"Kamu harus ikhlas, Dek. Anton bukan jodoh kamu."
Tangis Sein semakin menjadi begitu mendengar ucapan Lucas.
Tanpa mereka berdua sadari, sejak tadi Ani sudah berdiri di ambang pintu kamar yang masih terbuka sedikit. Tadinya Ani berniat memberi Sein obat pereda nyeri, tapi begitu mendengar pembicaraan Lucas dan Sein membuat Ani langsung mengurungkan niatnya. Tanpa bisa Ani cegah, air matanya jatuh membasahi wajahnya.
Tidak sanggup mendengar tangisan pilu Sein, membuat Ani memilih untuk pergi menuju kamarnya yang berada tak jauh dari kamar milik Sein.
Ahmad yang sedang membuka jasnya, terkejut begitu mendengar suara pintu yang terbuka dengan kasar, lebih terkejut saat melihat dan mendengar istrinya menangis.
Ahmad menghampiri Ani, membawa tubuh bergetar istrinya ke dalam pelukan. Tanpa banyak bertanya, Ahmad menuntun Ani untuk duduk di sofa. Ahmad akan membiarkan Ani menangis sampai puas, baru setelah itu ia akan bertanya alasan apa yang membuat Ani menangis.
Cukup lama Sein menangis, meratapi nasibnya yang malang sampai akhirnya Sein terlelap dalam pelukan Lucas.
Dengan gerakan lembut Lucas membaringkan Sein, menutupi sebagian tubuh Sein dengan selimut lalu menyeka bekas air mata di pipi Sein menggunakan tisu.
"Selamat tidur, Princess." Dengan penuh kasih sayang, Lucas mengecup kening Sein dan setelah memastikan Sein tidak akan terbangun, Lucas beranjak dari tempat tidur, melangkah menuju balkon hotel. Lucas butuh udara segar agar dirinya bisa berpikir dengan jernih. Memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk Sein.
Sama seperti Sein, sekarang Ani juga sudah tidak lagi menangis hebat seperti sebelumnya.
"Mah, minum dulu." Ahmad memberikan 1 gelas air mineral pada Ani, yang langsung Ani tenggak sampai habis.
"Mamah mau cerita sekarang?" tanya Ahmad lembut.
"Se-sein, Sein mencintai Anton, Pah," jawab Ani terbata dan kembali menangis dalam pelukan Ahmad.
Ahmad menghela nafas berat begitu mendengar jawaban Ani, sudah ia duga cepat atau lambat pasti Ani akan mengetahui semuanya. Ahmad adalah orang cukup peka dengan keadaan di sekitarnya, apalagi menyangkut orang-orang yang sangat ia sayang dan cintai. Hanya dengan melihat bagaimana cara Sein menatap dan mengagumi sosok Anton, Ahmad sudah tahu kalau Sein mempunyai rasa yang lebih dari sekedar rasa sayang terhadap Anton.
Ahmad memilih diam, tidak menanggapi jawaban Ani. Ia akan membicarakan masalah ini dengan Ani besok. Sekarang tubuhnya sudah lelah dan mereka juga butuh istirahat agat tidak sakit.
***
Malam semakin larut, tapi mata Lucas masih saja terjaga dan tak kunjung terpejam.
Lucas sibuk memikirkan Sein, adik semata wayangnya. Wanita paling berharga dalam hidupnya, permata hatinya.
Lucas meraih ponsel yang sejak tadi tergeletak tak jauh dari tempat duduknya, lalu mendial nomor Peter, Pilot pribadinya.
"Peter, tolong siapkan penerbangan ke London malam ini juga," pinta Lucas begitu sambungan telpon terhubung.
"Ya, Peter. Terima kasih." Lucas kembali menaruh ponselnya, dan dengan cepat langsung bergegas membereskan beberapa barang Sein.
Lucas sama sekali tidak berniat membangunkan Sein, karena akan lebih baik kalau Sein tetap tertidur pulas.
"Luc, mau ke mana? Kok buru-buru amat." Sebuah tepukan di bahu yang di iringi dengan sapaan membuat fokus Lucas menjadi teralihkan. Belum juga Lucas menjawab sapaan Anton, tapi Anton sudah kembali mengajukan pertanyaan.
"Lo mau pergi ke mana?" Melihat koper di tangan kanan Lucas tentu membuat penasaran Anton, ke mana Lucas akan pergi malam-malam begini.
"Balik ke habitatlah," jawab Lucas seraya terkekeh.
"Lo mau balik ke London? Sekarang?" tanya Anton memastikan.
Lucas mengangguk seraya berujar. "Sorry ya An, gue gak bisa lama-lama di Indonesia. Gue harus segera balik ke London karena ada beberapa masalah di sana," sambung Lucas tak enak hati.
"Tapi ini udah malam Luc, apa gak sebaiknya besok pagi aja lo berangkatnya?" Anton mencoba memberi masukan pada Lucas.
"Justu karena ini malam, jadi gue gak perlu bangunin tuh bocah." Bocah yang Lucas maksud adalah Sein.
"Maksud lo Sein, lo mau bawa Sein ke London?" Anton sedikit terkejut dengan apa yang baru saja Lucas katakan. Jauh di lubuk hatinya Anton merasa sedikit tidak rela kalau Sein harus ikut pergi bersama dengan Lucas.
"Iya. Kemarin pas dia liburan ke London, dia bilang kalau dia mau kuliah di sana," terang Lucas. Lucas sama sekali tidak berbohong dengan apa yang baru saja ia katakan, sebelumnya Lucas pikir kalau ucapan Sein beberapa hari yang lalu hanya canda dan gurauan semata. Tapi, sekarang Lucas yakin kalau Sein tidak bercanda.
"Lo udah bilang sama Papah dan Mamah?" tanya Anton penasaran. Anton berharap Ani bisa mencegah kepergian Sein.
Lucas menggeleng. "Belum sih, karena Papah sama Mamah pasti udah tidur," jawabnya. Lucas tidak tega kalau harus membangunkan keduanya, mengingat hari ini pasti hari yang sangat melelahkan untuk keduanya.
"Apa perlu gue bantu?" Anton berharap Lucas menjawab iya.
"Boleh, tolong lo gendong Sein, dudukin di kursi belakang aja."
Anton mengangguk, lalu mengikuti langkah Lucas menuju kamar milik Sein. Begitu memasuki kamar Sein, Anton melihat Sein sedang tertidur dengan posisi meringkuk, seperti anak kecil.
"Luc!"
Lucas yang sedang merapihkan beberapa barang sontak menoleh, menatap Anton dengan alis bertaut. "Apa?"
"Dia kenapa? Habis nangis ya? Kok matanya bengkak?" Anton menunjuk mata Sein yang membengak.
Tubuh Lucas menengang mendengar pertanyaan beruntun yang Anton ajukan.
"Dan itu semua karena lo, An." Ingin Lucas berkata seperti itu, tapi itu semua hanya mampu ia ucapkan dalam hati.
Lucas menghela nafas, mencoba menahan rasa sesak di dadanya. "Biasalah anak muda, sedikit gak rela pisah sama temen-temen kuliahnya." Lucas menjawab saat merasa berhasil menguasai kendali dirinya.
Tanpa sadar Anton mendesah, merasa lega begitu mendengar jawaban Lucas. Tadinya Anton berpikir kalau ada orang yang sudah menyakiti Sein, sampai membuat Sein menangis.
Dengan perlahan dan hati-hati, Anton meraih tubuh Sein masuk ke dalam gendongannya. Tersenyum saat tangan Sein melingkar di lehernya dengan kepala bersandar di bahunya.
Berkali-kali Anton mengecup puncuk kepala Sein, mendekap erat tubuhnya.
NSemua yang Anton lakukan tak lepas dari perhatian Lucas.
Lucas berpaling, menghapus air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Sial! Lucas membenci sikap manis Anton pada Sein, karena hal itulah yang sepertinya di salah artikan oleh Sein.
Setelah merasa tidak ada lagi barang yang tertinggal, keduanya melangkah menuju lift yang akan mengantar mereka menuju tempat parkir, di mana di sana sudah ada salah satu anak buah Lucas yang menunggu.
Tak berselang lama lift terbuka, dan benar saja kalau beberapa anak buah Lucas sudah menunggu kedatangan mereka.
Lucas menyerahkan koper miliknya dan juga milik Sein pada anak buahnya, lalu memasuki mobil terlebih dahulu di susul Anton yang kini mulai membaringkan Sein.
"Hati-hati ya, Luc. Kalau udah sampai jangan lupa kabarin ya." Anton menepuk ringan bahu Lucas, lalu mengalihkan perhatiannya pada Sein yang kini tertidur dalam pelukan Lucas.
Lucas menganguk, mengerti dengan apa yang baru saja Anton katakan. "Ok, nanti gue kabarin."
Anton menutup pintu mobil, melangkah mundur manjauhi mobil yang Lucas tumpangi.
"Bye." Lucas melambai begitu pun dengan Anton yang membalas lambaian Lucas.
Anton masih terus melambai begitu mobil yang Lucas dan Sein tumpangi hilang di balik tembok pemisah. Anton merasa ada yang hilang dan dadanya terasa sesak, tapi ia tidak tahu apa penyebab semua itu.
Sejak kepergian Lucas dan Sein ke London. Anton dan Sein tidak pernah lagi bertemu, bahkan Sein memilih memutus semua komunikasi dengan Anton.
Sein juga memohon agar Lucas tidak menginzinkan Anton menemuinya kalau seandainya Anton meminta untuk bertemu. Tentu saja hal itu tidak berlaku untuk Ahmad, Ani, dan anggota keluarga yang lainnya. Bahkan Ahmad dan Ani sering menghabiskan waktu bersama dengan Sein, baik tahun baru, saat perayaan ulang tahun Sein, atau saat Sein merayakan hari-hari besar yang terjadi dalam hidupnya.
Itulah saat terakhir Sein dan Anton bertemu, tapi itu bukan saat terakhir Anton melihat Sein, karena pada kenyataannya Anton sering berkunjung ke London dan melihat Sein dari jarak jauh.
Anton sering menghabiskan waktu berhari-hari hanya untuk mengikuti semua kegiatan Sein, dari berangkat kuliah, berbelanja, dan semua kegiatan Sein yang lainnya. Bahkan sampai memastikan kalau Sein sampai dengan selamat di apartemen yang di tempatinya dengan Lucas.
Semua itu Anton lakukan setelah berpisah dengan Ara, dan Anton sadar kalau Sein mencintainya.