1 Minggu sudah berlalu sejak Sein ikut pulang ke rumah Ahmad dan Ani. Semenjak saat itu, Anton tidak lagi menunjukan batang hidungnya di hadapan keluarga besarnya, dan hal itu tentu saja membuat Ani khawatir, tak terkecuali Sein yang juga ikut merasa khawatir.
Dengan langkah gontai, Sein menuruni anak tangga, melangkah menuju ruang makan, di mana Ani dan Ahmad sudah menunggu kehadirannya.
Seperti biasa, mereka akan menikmati sarapan bersama.
"Pagi, Pah, Mah." Sein menyapa Ahmad dan Ani secara bergantian.
Ahmad dan Ani membalas sapaan Sein dengan kompak.
Sein duduk tepat di samping Ani, menyandarkan kepalanya di bahu kiri Ani dengan kedua tangan yang kini melingkari pinggang wanita paruh baya tersebut.
Sein itu sangatlah manja, terutama pada Ani.
Ani membelai kepala Sein. "Ada apa Sayang? Kenapa murung?"
Sein mendongak, menatap Ani dengan raut wajah sendu. "Enggak tahu nih Mah, perasaan Sein enggak enak banget," ungkapnya jujur.
Sebenarnya Ani juga merasakan hal yang sama sejak semalam, perasaannya resah juga gelisah. Ani takut terjadi sesuatu yang buruk pada Anton, karena semenjak obrolan mereka terakhir kali, Anton tidak lagi menghubunginya dan sulit untuk di temui. Putranya itu selalu menolak ketika ia akan datang mengunjunginya ke kantor. Ada saja alasan yang Anton buat untuk menghindarinya. Ani jelas tahu kalau Anton marah padanya, dan ia merasa bersalah pada Anton.
"Ya sudah, sekarang kita makan dulu ya, biar sehat dan enggak sakit."
Sein mengangguk, lantas melepas pelukannya dari pinggang Ani.
Ahmad, Ani, dan Sein mulai menyantap sarapan yang sudah terhidang di meja makan. Seperti biasa, tidak ada obrolan yang terjadi jika mereka sedang menikmati sarapan.
Mereka akan memulai obrolan saat makanan yang mereka santap sudah habis, itulah kebiasaan yang selalu Ahmad terapkan pada seluruh anggota keluarganya.
Sementara itu di kediaman Anton.
"Den." Bi memanggil sambil mengetuk pintu kamar Anton, merasa was-was saat Anton tidak kunjung menyahut panggilannya. Tidak biasanya di jam seperti ini Anton belum bangun tidur.
"Masuk, Bi!"
Bi Sari menghela nafas lega begitu mendengar suara teriakan dari Anton yang terdengar parau, bisa di pastikan kalau Anton sedang sakit.
Bi Sari membuka pintu kamar Anton, dan mendapati Anton sedang duduk di pinggir tempat tidur dengan wajah yang terlihat pucat pasi.
Dengan sigap Bi Sari memberi Anton segelas air putih yang berada di nakas. "Den, minum dulu."
"Terima kasih, Bi," lirih Anton sambil menerima air minum pemberian Bi Sari.
"Bi, tolong telpon Tiara. Bilang kalau hari ini saya ijin enggak masuk." Anton kembali memberikan gelasnya yang sudah kosong pada Bi Sari.
"Iya Den, nanti Bibi hubungi Non Tiara." Bi Sari menaruh gelas di nakas, dan memeriksa kening Anton untuk mengecek suhu tubuhnya.
"Bibi panggilkan dokter, ya?" Suhu tubuh Anton panas dan itu membuat Bi Sari khawatir.
Anton memang jarang sekali sakit, tapi kalau sudah sakit itu akan memakan waktu yang cukup lama untuk kembali sehat seperti sedia kala.
"Enggak usah Bi, Anton cuma butuh istirahat kok." Anton kembali berbaring, menutupi tubuhnya dengan selimut, menolak dengan halus usulan Bi Sari yang akan memanggilkan Dokter.
Bi Sari menghela nafas panjang, tidak bisa berbuat lebih. Kalau Anton sudah menolak apa boleh buat.
"Ya sudah, Den Anton istirahat saja. Bibi mau masak bubur dulu." Bi Sari membenarkan letak selimut Anton, dan mulai mengatur suhu AC agar tidak terlalu dingin.
"Terima kasih Bi," ujar Anton parau. Kepalanya benar-benar pusing dan tubuhnya terasa dingin, sepertinya ia terlalu banyak beraktifitas sampai membuat tubuhnya sakit.
"Sama-sama, Den. Sekarang Aden tidur saja nanti kalau buburnya sudah siap, Bibi bangunkan."
Anton mengangguk dengan mata terpejam, dalam hati berdoa agar pusing yang ia rasakan akan hilang saat terbangun nanti.
Setelah memastikan kalau Anton tertidur, Bi Sari lantas keluar kamar, menutup pintu kamar secara perlahan agar tidak mengusik Anton.
***
30 menit sudah berlalu sejak Bi Sari tahu kalau Anton sedang sakit.
Saat ini Bi Sari masih sibuk membuat bubur ayam untuk Anton, tapi kegiatannya terhenti begitu mendengar suara bel rumah berbunyi. Bi Sari lekas mencuci tangan saat bel rumah terus berbunyi, dengan langkah tergesa-gesa, Bi Sari melangkah menuju teras depan.
"Non Sein." Bi Sari tersenyum saat tahu kalau ternyata Sein yang menekan bel. Kalau sudah ada Sein, maka Bi Sari tidak perlu lagi memanggil Dokter, karena obatnya sudah datang dengan sendirinya.
"Silakan masuk, Non." Bi Sari bergeser, memberi Sein jalan untuk masuk.
"Siang Bibi, Bibi apa kabar?" tanya Sein kikuk.
"Bibi baik Non, Non apa kabar?"
"Sein baik kok," jawab Sein seraya mengangguk.
Bi Sari kembali menutup pintu rumah, dan keduanya berjalan beriringan memasuki rumah besar dan megah Anton yang sunyi sepi.
"Non Sein mau ketemu sama Den Anton ya?"
Langkah Sein terhenti begitu mendengar pertanyaan yang Bi Sari ajukan. Sein berbalik menghadap Bi Sari, menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.
"Bibi, it-itu anu." Sein menyahut dengan gugup.
"Kenapa Non?" tanya Bi Sari dengan raut wajah geli.
Bibir Sein mencebik, menatap Bi Sari dengan raut wajah kecut. "Iya, Sein mau ketemu sama Om Anton."
Bi Sari tertawa, merasa puas begitu melihat raut wajah Sein berubah kecut. "Den Anton ada di kamar Non, lagi istirahat," jelas Bi Sari di barengi dengan kekehan geli. Lihatlah bagaimana menggemaskannya wajah malu-malu Sein, membuatnya ingin sekali mencubit pipi merona Sein.
"Kenapa? Om sakit ya?" tanya Sein beruntun. Sein tidak bisa menutupi rasa khawatirnya begitu mendengar penjelasan Bi Sari.
"Iya, dari tadi pagi suhu badannya panas Non. Mau Bibi panggilkan Dokter, tapi Aden menolak."
"Se-sein boleh liat kondisi Om Anton gak?" tanya Sein gugup dan juga ragu.
Bi Sari tersenyum geli begitu mendengar pertanyaan Sein. "Boleh dong. Sekalian kasih obat ya Non, biar cepat sembuh sakitnya."
"Obatnya ada di kamar Bi?" tanya Sein memastikan.
"Iya Non, di laci nakas paling atas."
"Ok, Sein naik ya."
Bi Sari mengangguk. "Sip, Bibi juga mau lanjut buat bubur."
Sein lantas menaiki tangga menuju kamar Anton dengan langkah terburu-buru. Bi Sari menggeleng melihat kelakuan Sein. Bi Sari kembali ke dapur untuk melanjutkan acara masaknya yang sempat tertunda.
Sein sudah berdiri di depan pintu kamar Anton. Berulang kali Sein menghela nafas, mencoba menetralkan jantungnya yang terus berdebar tak karuan.
"Tenang ok, semuanya akan baik-baik saja." Sein terus merapalkan mantra untuk membuat perasaannya tenang.
Secara perlahan, Sein membuka pintu, berusaha agar tidak menimbulkan suara yang mungkin akan mengusik penghuni kamar. Sein kembali menutup pintu dan tak lupa untuk menguncinya.
Sein melangkah mendekati tempat tidur, di mana Anton sedang berbaring dengan posisi membelakangi pintu kamar. Sein duduk di samping Anton, menempelkan telapak tangannya pada kening Anton.
"Panas banget," lirih Sein dengan raut wajah panik.
Sein meraih ponselnya dari tas, lalu mendial nomor Carolyne.
"Halo, Kak," sapa Sein ramah begitu panggilannya tersambung.
"Hai Sein, kenapa?"
"Kak, Om Anton sakit. Suhu badannya panas banget." Sein panik, tapi kepanikan Sein tak bertahan lama karena Carolyne langsung memberikan nasehat agar Sein tetap tenang.
Sein diam, mendengar dengan seksama penjelasan Charoline. "Engh, gak ada cara lain, Kak?" tanya Sein memastikan. Sekilas Sein menatap Anton yang kini mulai meracau tak jelas, bahkan Anton mulai bergerak gelisah dalam tidurnya.
Sein mengangguk paham begitu mendengar intruksi yang Carolyne jabarkan.
"Ok, terima kasih ya Kak."
Begitu sambungan terputus, Sein kembali memasukan ponselnya ke dalam tas dengan mode silent. Tadi sebelum mengunjungi Anton, Sein sudah meminta ijin dari Ahmad dan Ani. Jadi mereka tidak akan khawatir begitu tahu kalau dirinya tidak berada di rumah.
Dengan penuh keberanian, Sein menaiki tempat tidur, secara perlahan menyibak selimut yang menutupi tubuh Anton. Ternyata pergerakan Sein membuat tidur Anton terusik.
Dengan perasaan enggan, Anton mencoba membuka matanya meskipun terasa berat. Rasa sakit dan pusing di kepalanya benar-benar membuatnya tersiksa.
"Sein?"
Apakah ini mimpi? Karena sekarang Anton bisa dengan jelas melihat sosok wanita yang selama hampir 1 minggu ini bercokol dalam pikirannya. Wanita yang sangat ia rindukan, wanita yang berhasil membuat pikirannya kacau balau selama 1 minggu ini.
"Hm." Sein hanya bergumam, enggan berbicara.
Sein mulai melepas satu-persatu pakaian yang menempel dari tubuhnya, lalu melemparnya ke samping. Kini yang tersisa di tubuh Sein hanya bra dan juga cd berenda yang berwarna senada, hitam.
"Bangun dulu." Sein membantu agar Anton bersandar di kepala ranjang, Anton hanya diam dan menurut begitu Sein melepas satu persatu kain yang menutupi tubuhnya.
Anton mengerang saat udara dari AC mulai menerpa tubuhnya yang hanya tertutupi celana boxer. "Dingin," lirihnya sengau.
Sein meraih remot AC, lalu mematikannya.
Fokus Sein kembali tertuju pada Anton yang kini sedang menatapnya intens. Berkali-kali Sein meneguk ludah, entah sadar atau tidak kalau sejak tadi, dirinya terus menggigit bibir bagian bawahnya.
Ugh, otot-otot ditubuh Anton benar-benar terbentuk dan terpahat dengan sempurna, membuat siapapun yang melihatnya akan meneteskan liur.
Sein mendongak, menatap tepat pada netra hitam legam Anton. Sein bisa melihat kilatan gairah dalam mata sayu Anton. Mata Sein terpejam, begitu jemari Anton membelai wajahnya.
Sein kembali membuka mata, dan tanpa Sein duga Anton langsung meraup bibirnya. Membawa serta tubuhnya agar duduk dalam pangkuan pria itu.
Desahan Sein lolos saat lidah Anton menerobos masuk ke dalam rongga mulutnya.
Lenguhan dan desahan yang Sein keluarkan mampu membuat nafsu birahi Anton semakin membara. Anton memeluk erat tubuh Sein, tidak peduli meskipun Sein memberontak dan mencoba menghindari ciumannya.
"Om st-stop." Sein mencoba menghindari ciuman Anton yang menggebu-gebu, tapi tak bisa karena Anton memeluk erat pinggangnya.
Astaga! Anton sedang sakit dan butuh banyak istirahat. Sekarang bukan saat yang tepat untuk berbuat hal-hal yang berbau dewasa.
Dengan sekuat tenaga, Sein mendorong Anton dan itu berhasil. Tapi wajah Anton kembali maju, menggigit gemas bibir Sein sebelum akhirnya melepas pagutan bibirnya.
"Ka-kata Kak Alyne, Om harus istirahat," ujar Sein terbata, mencoba mengatur pernapasannya yang tidak beraturan.
Anton diam, memilih tidak menanggapi ucapan Sein. Anton masih tidak percaya kalau wanita yang kini tampil setengah bugil dan sedang duduk di pangkuannya adalah Sein. Kalau ini mimpi, maka ini adalah mimpi terindah yang pernah hadir dalam tidurnya sejak 3 tahun belakangan ini.
"Kenapa diam?" Sein memberanikan diri merangkum wajah Anton, mengecup sekilas bibir Anton yang membengkak, tapi juga menggoda.
Aish! Ternyata ini semua nyata dan bukan mimpi belaka. Kalau tadi pagi Anton tidak suka saat mendapati tubuhnya sakit, beda lagi dengan sekarang. Sekarang Anton bersyukur, karena sakit Sein jadi berada di sampingnya.
"Om, tidur." Sein mengecup kening Anton, membuat jantung Anton berdetak tak karuan. Darah Anton berdesir, saat dengan penuh kasih sayang Sein menciumnya.
Tanpa berucap sepatah katapun, Anton membawa tubuh Sein berbaring. Anton memeluk erat tubuh Sein, lalu membenamkan wajahnya di ceruk leher Sein yang beraroma vanila.
Sein membalas pelukan Anton, dan mulai memejamkan mata, dalam hati terus berdoa agar Anton segera tertidur.
Beberapa menit berlalu, tapi Sein masih bisa merasakan elusan jemari Anton di kepalanya. Mata Sein kembali terbuka, lalu menunduk agar bisa melihat wajah Anton.
"Kok enggak tidur?" tanya Sein bingung saat melihat mata Anton masih terbuka dan terus menatapnya.
Gagal sudah rencana Sein untuk kabur. Sein memang berniat untuk kabur, jika Anton sudah tertidur. Tapi sampai saat ini Anton belum juga tertidur, membuat rencana Sein untuk kabur kemungkinan besar akan gagal.
Anton menggeleng, dengan mata yang terus menatap intens wajah Sein. Jemari tangan kanan Anton terulur, membelai wajah cantik Sein dengan gerakan lembut. "Cantik," pujinya dengan tulus.
Wajah Sein bersemu merona begitu mendengar pujian yang Anton lontarkan. "Tidur Om. Sein janji, Sein enggak bakalan pergi."
Anton kembali menggeleng, tidak percaya dengan apa yang baru saja Sein katakan. Anton takut, saat nanti ia membuka mata, Sein tidak berada lagi di sampingnya. "Enggak mau!" Tolaknya dengan tegas.
Sein menghela nafas, kesal karena sikap keras kepala Anton. Sein menatap Anton dengan mata menyipit. "Tidur gak! Kalau enggak mau tidur, Sein pulang saja."
Sein akhirnya memberi Anton ancaman dan Sein harap ancaman tersebut berhasil.
"Jangan pergi," ujar Anton dengan nada memelas, menatap Sein dengan raut wajah sendu.
"Iya, Sein enggak akan pergi. Tapi tidur ya, biar cepat sembuh," pinta Sein lemah lembut.
Anton mengangguk, lalu sedikit menggeser tubuhnya ke bawah, kini wajahnya tepat berada di depan perut Sein.
Sein memutar bola matanya malas. "Dasar modus," cibirnya dalam hati.
"Kata Dokter, berpelukan bisa membuat suhu tubuh Om kembali normal." Tanpa menunggu jawaban Sein, Anton langsung membenamkan wajahnya di perut Sein, memeluk Sein dengan erat.
Sein berdecak, kesal ketika mendengar ucapan Anton. Bukankah seharusnya ia yang mengatakan hal itu? Lalu kenapa malah Anton yang mengatakannya?
"Geli ih." Sein mencoba menghindar saat merasakan bulu-bulu halus di dagu Anton mengenai kulit perutnya.
Anton hanya terkekeh, lalu menghentikan aksinya. Anton tidak mau Sein marah padanya atas apa yang baru saja ia lakukan, karena itulah ia berhenti dan memilih untuk memejamkan matanya.
Sama seperti Anton, Sein juga melakukan hal yang sama. Kini kedua mata wanita tersebut sudah terpejam.