06 - Duda.

2249 Words
Beberapa jam kemudian. Anton mengerang, dengan mata yang secara perlahan terbuka. Anton menoleh, segera merubah posisi tidurnya menjadi duduk begitu melihat Sein bergerak gelisah. "Sein." Anton menepuk ringan pipi Sein begitu mendengar Sein mulai meracau dan Anton tentu saja panik. Ini adalah kali pertama Anton melihat Sein seperti ini dan sepetinya Sein sedang bermimpi buruk. "Sein bangun!" Anton kembali memanggil Sein, berharap Sein segera sadar. Mata Sein akhirnya terbuka, diiringi dengan deru nafasnya yang memburu. Sein menoleh ke samping, dan mendapati Anton yang sedang menatapnya dengan raut wajah khawatir, atau mungkin itu hanya perasaannya saja? "Kamu baik-baik saja?" Anton menyeka keringat yang membasahi dahi Sein, menatap Sein dengan raut wajah sendu. "Iya," jawab Sein lirih. Anton membantu Sein untuk bersandar di kepala ranjang. "Kenapa? Mimpi buruk ya?" tanyanya penasaran. "Haus, Om," lirih Sein parau. Sein memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Anton, tidak mungkin Sein memberi tahu Anton mimpi apa yang baru saja ia alami. Mimpi yang menurutnya sangat buruk. Dengan sigap Anton mengambil 1 botol air mineral yang selalu tersedia di dalam nakas, lalu memberikannya pada Sein. Dengan tergesa-gesa, Sein menenggak air pemberian Anton. "Sein, pelan-pelan." Melihat bagaimana cara Sein minum, membuat Anton khawatir, khawatir kalau Sein akan tersedak. Karena terburu-buru minum, membuat beberapa tetes air jatuh. Sein lantas menunduk saat merasa pahanya basah terkena tetesan air. Wajah Sein merona begitu sadar kalau dirinya hanya memakai pakaian dalam, sekilas Sein melirik tubuh Anton, dan semakin menunduk malu begitu mendapati penampilan Anton yang tak jauh berbeda dengan dirinya. Astaga! Sein lupa kalau tadi dirinya nekat membuka seluruh pakaian Anton dan hanya menyisakan boxernya saja. Sekarang Sein benar-benar malu. Ingin sekali membenamkan wajahnya di bantal atau menghilang dari hadapan Anton. "Kenapa, hm?" Anton mengangkat dagu Sein, membuat mata Sein kembali bersiborok dengan matanya. "Eh enggak apa-apa kok." Sein menjawab dengan gugup. Wajah Sein kembali berpaling begitu melihat senyum jahil tersunggging di wajah Anton. "Malu eh." Anton sengaja menggoda Sein, membuat wajah Sein semakin merah padam di buatnya. Sein menggeleng, enggan menatap Anton yang kini sedang terkekeh. "Enggak kok," jawabnya dengan gugup. Dengan sekali gerakan, Anton berhasil mengangkat tubuh Sein, lalu mendudukan Sein dalam pangkuannya. Sein tentu saja terkejut, bahkan air dalam genggamannya tumpah karena pergerakan tiba-tiba Anton "Kaget Om!" Sein memukul bahu Anton, kesal karena Anton selalu saja membuatnya terkejut. "Sorry," cengir Anton tanpa rasa bersalah sedikitpun. Anton mengambil botol minum Sein, lalu menaruhnya di nakas. "Sein mau turun," pinta Sein gugup. Darah Sein berdesir saat kulitnya bersentuhan secara langsung dengan kulit Anton. "Kenapa mau turun?" "Gak nyaman tahu," jawab Sein jujur dengan bibir mengerucut. Masih enggan menatap Anton, yang ternyata senang sekali menatapnya dengan intens. "Cantik." Anton merangkum wajah Sein, membuat mata keduanya saling bersibobrok. "Jangan liatin Sein kaya gitu ih!" Sein memukul bahu Anton. Kesal karena Anton terus menatapnya dengan tatapan yang sulit ia artikan. Alis Anton bertaut, menatap Sein dengan kening berkerut. "Seperti apa?" Sein kembali memukul bahu Anton, kali ini dengan kekuatan penuh. Sein tahu kalau Anton pura-pura tidak tahu dengan apa maksud ucapannya. Anton tertawa, lalu membawa wajah merona Sein agar terbenam di ceruk lehernya. "Nyamankan?" Anton mendekap erat tubuh Sein, mengelus punggung telanjang Sein naik turun dengan gerakan lembut. Sentuhan Anton membuat Sein terbuai. Sein menggigit bibirnya guna menahan lenguhan yang ingin lolos. "Heum," gumam Sein. Sein balas memeluk Anton, membenamkan wajahnya di ceruk leher Anton yang beraroma mint. Sein akui, berada dalam pelukan Anton memang sangat nyaman. Cukup lama keduanya terdiam, tidak ada satupun dari keduanya yang berbicara. Mereka asik menikmati suasana intim yang sedang mereka rasakan. Suara ketukan pintu membuat Sein mau tak mau melepas pelukannya dari leher Anton. Sein mendongak, menatap Anton dengan wajah merona. "Waktunya makan, Om." Tapi berbeda dengan Sein, Anton enggan melepas pelukannya dari pinggang ramping Sein. Malah semakin erat mendekapnya, membuat tubuh Sein menempel erat dengan tubuhnya. Bahkan Anton bisa merasakan tekanan p******a Sein. "Om Belum lapar, Om masih kenyang." Sein mendelik begitu mendengar ucapan Anton. "Terserah!" balasnya ketus. Sein mencoba melepas belitan tangan Anton dari pinggangnya, tapi sia-sia karena Anton memeluknya dengan erat dan tenaga Anton yang jauh lebih kuat darinya. "Lepas ih! Sein laper, mau makan." "Jangan gerak-gerak Sein," geram Anton dengan suara parau. Pergerakan Sein membuat miliknya yang sejak tadi menegang semakin terbangun. "Makanya lepas." Astaga! Sein bisa merasakan milik Anton yang mengganjal tepat di bawah bokongnya. "Enggak!" Tolak tegas Anton. Anton malu, kalau Sein beranjak pasti miliknya yang mengembung akan terlihat dengan jelas. "Tapi Sein laper," rajuk Sein dengan bibir yang mencebik, membuat Anton ingin sekali melumatnya. "Ok. Kita makan, tapi di sini." putus Anton final. "Terserah!" Lagi-lagi jawaban singkat dan ketus yang Sein berikan. Anton terkekeh, lalu mencubit pinggang Sein. Gemas karena jawaban yang Sein berikan singkat, dan terdengar ketus. Jangan lupakan delikan matanya yang menurut Anton sangat lucu dan menggemaskan. "Sakit Om!" Teriak Sein kesal. Sein balas mencubit pinggang Anton, membuat Anton meringis di sela tawanya. "Awas ih! Sein mau turun!" Sein mulai kesal dengan tingkah laku Anton yang menurutnya sangat menjengkelkan sekaligus menyebalkan. "Mau ke mana?" "Ya mau ambil makananlah, Sein laper tahu. Tadi pagi sarapannya s**u doang." Sein tidak berbohong karena memang tadi pagi ia hanya memilih minum s**u tanpa memakan sarapan yang terhidang di meja makan. Sein hanya mengaduk-ngaduk makanannya tanpa minat menyantapnya. "Biar Om saja yang ambil." Anton lalu beranjak turun dari tempat tidur, masih dengan Sein dalam gendongannya. Sein menjerit, terkejut saat Anton menggendongnya seperti anak bayi. "Turunin Om!" Sein memukul bahu Anton. Berharap Anton mau menurunkannya, Sein merasa tidak nyaman dan juga malu saat meraskan sesuatu yang keras dan besar mengganjal di bawah pinggulnya. "Enggak!" Tolak tegas Anton. Sekilas Sein melirik ke mana arah tujuan Anton. "Eh, ngapain kita ke kamar mandi?" tanyanya bingung begitu tahu ke mana Anton membawanya "Ya mandilah, masa makan." Anton menjawab dengan nada sama seperti yang tadi Sein lakukan padanya. "Sein laper, mau makan, bukannya mau mandi!" Lagi-lagi Sein menjerit kesal karena Anton malah membawanya menuju kamar mandi. "Mandi dulu biar badannya enggak lengket." "Makan dulu ih! Sein laper," balas Sein ketus. "Mandi dulu, pasti tadi pagi gak mandi kan?" Anton sama sekali tidak ada niatan untuk mengalah dari Sein. Mata Sein sukses membola begitu pertanyaan itu terlontar dari mulut Anton. "Mandi kok, siapa bilang kalau Sein enggak mandi?" jawabnya gugup. "Bohong. Om tahu kalau kamu sama sekali belum mandi. Kalau udah mandi pasti badannya wangi. Bibir Sein mencebik begitu mendengar penjelasan beruntun Anton. "Emang badan Sein bau ya?" tanya panik seraya membaui tubuhnya. Perasaan ia sudah menyemprotkan banyak parfume ke tubuhnya. "Enggak." "Terus? Om tahu dari mana kalau Sein belum mandi?" tanya Sein ketus. "Nah. Berarti benerkan kalau Sein belum mandi?" tanya Anton telak, sukses membuat Sein tidak bisa mengelak lagi. "Iya-iya. Sein tadi pagi emang gak mandi. Puas?" Tawa Anton berderai saat pada akhirnya Sein mengaku kalau memang dirinya belum mandi. "Gak usah ketawa, jelek!" ketus Sein. Tapi Anton tak peduli dan masih terus tertawa sampai mereka berada sampai di kamar mandi. Anton menurunkan Sien di bathtub, lalu mulai mengatur agar suhu airnya hangat. Anton lantas berjongkok di samping Sein, memegang dagu Sein, membuat wajah Sein tidak bisa berpaling darinya. "Mandi yang bersih ya. Om tunggu di luar." Sein hanya mengangguk, enggan menanggapi ucapan Anton. Sein masih kesal dan tentu saja merasa malu. Anton mengacak rambut Sein, lalu melangkah keluar dari kamar mandi, meninggalkan Sein yang kini mulai menggerutu, kesal karena Anton malah menyuruhnya mandi di saat ia merasa begitu lapar. Beberapa menit kemudian. Secara perlahan, Sein membuka pintu kamar mandi, menengok kiri kanan untuk melihat situasi dalam kamar. Saat di rasa aman, Sein membuka lebar pintu lalu melangkah menuju walk in closet yang berada tak jauh dari posisinya hanya dengan memakai bathrobe. Sein membuka satu persatu lemari, untuk mencari baju mana yang bisa ia pakai, mengingat baju sebelumnya sudah tidak ada lagi di kamar. Kemungkinan sudah Anton taruh di keranjang cucian. "Ini cukup atau enggak ya?" Sein mengambil satu kemeja hitam polos milik Anton yang sepertinya akan muat jika di pakai, mengingat ukurannya yang besar. Sein menoleh ke samping, matanya sukses membola begitu melihat deretan celana dalam dengan merk ternama tertata rapi dalam sebuah laci kaca. "Ih, ini punya siapa?" Sein meraih salah satu cd renda berwarna hitam. "Kayak pernah liat deh, tapi di mana ya?" Kening Sein berkerut dengan otak yang terus berpikir. Mencoba mengingat di mana ia pernah melihat cd ini sebelumnya. "Bodo ah, dari pada enggak pakai cd," gumamnya. Tanpa melihat kembali situasi dan kondisi di sekitarnya, karena Sein pikir ia aman dari segala ancaman bahaya, Sein lantas menanggalkan bathrobenya, membuat tubuhnya polos tanpa sehelai benang pun. Sementara Anton yang berada tepat di belakang Sein masih diam terpaku begitu melihat pemandangan indah di hadapannya. Tubuh putih mulus Sein kini terpangpang jelas di hadapannya. Astaga! Kenapa pula ia harus berada di situasi dan kondisi yang tidak tepat seperti sekarang ini? Secara perlahan Anton mundur, lalu berbalik dengan mata terpejam. Tangan Anton mengepal, membuat buku jarinya memutih. Dalam hati, tak henti-hentinya Anton mengumpat, mencoba meredam gairahnya yang tersulut, bahkan miliknya berhasil terbangun hanya dengan melihat tubuh telanjang Sein. Anton meringis, saat miliknya terasa sakit dan juga linu. Kalau terus seperti ini, ia bisa tersiksa. Anton kembali berbalik menghadap Sein saat mendengar kata selesai terucap dari mulut Sein. Anton terpaku begitu melihat penampilan Sein yang sangat menggoda dan juga seksi. Bagaimana tidak seksi kalau Sein hanya memakai kemeja miliknya yang kebesaran, hampir menelah tubuhnya yang mungil. "Cantik," ujar Anton seraya bersiul menggoda. "Akh!" Sein sontak menjerit, terkejut kala mendengar suara bariton Anton. Sein lalu berbalik dan mendapati Anton yang sedang bersandar di tembok dengan tangan bersedekap. "Sejak kapan Om di situ?" Mata Sein memicing, menatap Anton dengan tatapan penuh selidik. Sein kembali berbalik, mulai mengancingkan satu persatu kancing kemeja Anton yang saat ini sudah menempel di tubuhnya. Dengan gaya santai, Anton melangkah menghampiri Sein. Berdiri tepat di belakang tubuh Sein, meraih pinggang Sein, membuat tubuh Sein menempel dengan tubuhnya. Mata Anton terpejam begitu aroma wangi tubuh Sein masuk ke dalam indera penciumannya. Wangi memabukan yang mampu membuat gairahnya tersulut.. "Om." Bulu kuduk Sein meremang begitu melihat manik hitam legam Anton menatapnya intens dari balik cermin yang terpasang di hadapannya. Dalam hati Sein merutuki sikap teledornya, kenapa dirinya tidak melihat Anton di cermin. "Ayo kita turun, Bibi udah siapin makanan kita," bisik Anton parau, sengaja meniupkan nafas hangatnya di tengkuk Sein, membuat darah Sein berdesir dengan bulu kuduk meremang. Sein berbalik, membuat wajahnya tepat berada di bawah dagu Anton. Ingat! Tinggi tubuh Sein hanya sebatas bahu Anton, membuatnya terlihat kecil jika bersanding dengan Anton. "Kenapa makan di luar? Katanya mau makan di kamar?" tanya Sein kesal. Entah kenapa Sein merasa kesal sekarang. "Nanti kamarnya berantakan," jawab asal Anton. Bibir Sein mencebik begitu mendengar jawaban Anton. Sein berbalik, lalu keluar dari walk in closet dengan kaki di hentakan. "Aish, kenapa dia sangat menggoda dan juga menggemaskan?" Anton mengacak rambutnya, frustasi saat melihat bibir Sein yang menggoda, tapi tak bisa ia sentuh atau lahap. Anton mengikuti langkah Sein, terkekeh begitu mendengar Sein terus bersumpah serapah sepanjang jalan menuju ruang makan. Sebenarnya Anton sengaja tidak jadi makan di kamar, karena takut kalau dirinya hilap dan malah menyantap Sein sebagai hidangan makan siangnya. Karena itu Anton meminta agar Bi Sari menyiapkan makanan mereka di ruang makan saja. Saat ini Anton dan Sein sedang berada di ruang makan, keduanya sedang menikmati bubur ayam buatan Bi Sari dengan jarak yang sangat berjauhan. Lebih tepatnya karena Sein yang tidak mau berdekatan dengan Anton, dan memilih untuk duduk jauh dari Anton. "Om mau jujur." Anton tiba-tiba bersuara, berucap dengan sangat tegas. Sein mendongak, menatap Anton dengan alis bertaut. "Jujur tentang apa?" tanyanya penasaran. Anton meneguk salivanya, merasa gugup dan juga takut yang di saat yang bersamaan. Anton takut dengan respon yang akan Sein berikan nantinya. "Om sudah bercerai dengan Ara," ungkap Anton dengan tegas dan lantang. Sein mengangguk, lalu mengalihkan perhatiannya dari Anton. Tidak ada satu patah kata pun yang Sein ucapkan, membuat raut wajah Anton berubah sendu. Bukan respon seperti itu yang Anton harapkan dari Sein. Anton pikir Sein akan senang begitu tahu kalau dirinya sudah tidak lagi bersama Ara, tapi sepertinya itu hanyalah pikiran Anton saja. "Om sudah selesai." Anton menaruh sendok dan garpunya di piring, lalu menenggak habis air mineralnya. Anton beranjak dari duduknya, melangkah menghampiri Sein yang masih enggan untuk menatapnya. Apa Sein jijik padanya? "Habiskan makanannya, Om mau mandi dulu." Anton mengusap puncuk kepala Sein dan tanpa menunggu jawaban Sein, Anton berlalu begitu saja dari ruang makan. Sein menoleh, menatap punggung Anton yang kini sedang menaiki anak tangga dengan langkah terburu-buru. Begitu sosok Anton menghilang, Sein mendesah, dengan jemari yang kini saling bertaut. Sebenarnya ia sudah tahu perihal perceraian yang terjadi antara Anton dan juga Ara. 2 hari yang lalu, tanpa sengaja, ia mendengar percakapan antara Ahmad dan Ani yang sedang membahas masalah Anton, tak terkecuali masalah perceraian Anton dengan Ara. Meskipun Ahmad dan Ani sama sekali tidak menyinggung apa penyebab rumah tangga Anton dan Ara retak, tapi intinya adalah, Anton dan Ara sudah bercerai. Saat ini status Anton adalah duda tanpa anak. Tentu saja Sein tekejut. Entah harus merasa senang atau sedih dengan fakta yang baru saja ia ketahui beberapa hari yang lalu itu? Sein tidak munafik, karena jauh di lubuk hatinya ada perasaan senang dan lega begitu tahu kalau Anton dan Ara sudah bercerai tanpa adanya anak. Itu menjelaskan semua keanehan yang terjadi di sekitarnya dan rasa penasaran yang selama beberapa hari ini melanda hatinya, sekaligus menjelaskan mengapa sikap Anton berubah sangat manis padanya. Tapi di satu sisi, Sein juga tidak akan berharap banyak, karena ia takut kalau apa yang ia harapkan tidak akan pernah terwujud atau sesuai dengan keinginannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD