01 - Kembali pulang.
Bandar Udara International Soekarno-Hatta.
Dengan langkah tergesa-gesa, Sein keluar dari bandara sambil menggeret 2 kopernya yang berukuran cukup besar.
Sein melangkah menuju tempat parkir, di mana orang yang di utus Ani untuk menjemputnya mungkin sudah lama menunggu, mengingat tadi ia sempat pergi ke toilet.
Sein baru saja mendarat dengan selamat setelah menempuh perjalanan dari London ke Jakarta yang memakan waktu kurang lebih 17 jam lamanya.
Cukup lama berada di dalam burung besi tersebut pesawat membuat tubuh Sein terasa lelah, juga pegal, terutama di bagian kaki dan juga punggungnya.
Begitu sampai di tempat parkir, langkah Sein terhenti. Sein mengedarkan pandangan ke segala penjuru arah, mencari di mana orang yang menjemputnya berada.
Sebelumnya, Ani sama sekali tidak memberi tahu Sein perihal siapa orang yang akan menjemputnya, jadi Sein bingung.
Sein merogoh tas, meraih ponsel yang sudah hampir kehilangan separuh daya baterai. Dengan seksama, Sein kembali membaca pesan yang Ani kirimkan beberapa jam sebelum dirinya lepas landas menuju Indonesia.
Sein meringis, ternyata Ani tidak lagi mengirim pesan atau memberi informasi akurat tentang siapa yang akan menjemputnya.
Sein mendial nomor Ani yang ternyata tidak aktif. Mungkin Ani sedang sibuk, karena itu ponselnya mati.
"Non Sein!"
Panggilan dari arah samping kiri membuat Sein sontak menoleh, lalu berbalik menghadap pria paruh baya yang baru saja memanggilnya.
"Mang Ujang," sambut Sein seraya tersenyum. Sein merasa luar biasa senang, karena ternyata Ani mengirim mang Ujang untuk menjemputnya. Tadinya, Sein pikir Ani akan meminta orang lain untuk menjemputnya.
Mang Ujang menghampiri Sein, antara percaya dan tidak percaya kalau wanita yang berdiri di hadapannya adalah Sein, mengingat penampilannya yang berubah drastis, terutama di bagian rambutnya yang berwarna.
"Non Sein apa?" tanya Mang Ujang begitu sampai di hadapan Sein.
"Seperti yang Mang Ujang lihat, Sein baik-baik aja. Mamang sama Bibi juga sehat-sehatkan?" Sein bertanya sambil menyalami tangan kanan Mang Ujang. Sebagai bentuk sopan santun kepada yang lebih tua darinya.
"Alhamdulillah Non, Mamang sama Bibi sehat-sehat semua," jawab Mang Ujang.
Mang Ujang merasa bahagia menyambut kedatangan Sein yang sudah sejak 3 tahun lalu memilih merantau di negeri orang untuk menimba ilmu. Ternyata Sein yang dulu terlihat kecil, sudah banyak mengalami perubahan, terlihat semakin cantik dan juga dewasa.
"Syukurlah kalau semuanya sehat-sehat," sahut Sein merasa lega.
"Sini Non, biar Mamang yang bawa kopernya."
Sein lalu menyerahkan kedua kopernya, membiarkan Mang Ujang mengambil alih kedua koper yang sejak tadi ia bawa.
"Besar dan berat banget Non kopernya," ungkap Mang Ujang seraya terkekeh yang langsung Sein jawab dengan tawa renyah seraya berujar.
"Kebanyakan isinya oleh-oleh buat orang-orang rumah sama teman juga sahabat Sein, Mang."
"Mamang sama Bibi kebagian gak nih?" canda Mang Ujang disertai tawa.
"Pasti kebagian dong, pokoknya semua orang pasti kebagian," jawab Sein mantap seraya menunjukkan kedua jempolnya.
"Oke lah kalau begitu," kekeh Mang Ujang.
Sebenarnya, tanpa bertanya pun Mang Ujang tahu, pasti Sein akan memberi oleh-oleh pada semua orang rumah tanpa terkecuali, sama seperti yang sering dilakukan oleh majikannya yaitu Ahmad dan Ani.
Meskipun Sein bukan anak kandung Ahmad dan Ani, tapi sifat yang dimiliki Sein tidak jauh berbeda dengan Ahmad dan Ani, terutama majikan perempuannya yang baik dan rendah hati, mungkin karena sejak kecil Sein dirawat dan diasuh oleh keduanya.
"Ayo Non, mobilnya ada di sebelah sana." Mang Ujang menunjuk sebuah mobil berwarna hitam yang terparkir tak jauh dari tempat keduanya berdiri.
Sein mengikuti arah telunjuk Mang Ujang, mendesah lega karena jarak mobilnya sangat dekat. Kedua kaki Sein sudah tidak kuat lagi kalau harus berjalan jauh.
"Itu mobil baru Papah Ahmad?" Sein mulai mengamati mobil tersebut dengan seksama.
"Iya Non, baru datang 1 Minggu lalu."
Sein mengangguk, meskipun sebenarnya ia merasa sedikit aneh, pasalnya mobil yang terparkir tak jauh darinya bukan sekali tipe mobil kesukaan Ahmad, bahkan bisa di kategorikan jauh dari tipe mobil kesukaan Ahmad.
Sejak tinggal bersama Ahmad dan Ani, membuat Sein banyak mengetahui apa yang keduanya sukai dan tidak.
"Ayo Non," ajak Mang Ujang.
"Mamang duluan aja." Sein mempersilahkan mang Ujang berjalan terlebih dahulu.
Mang Ujang mengangguk lalu berjalan terlebih dahulu, diikuti Sein yang lebih memilih untuk mengekor di belakang.
Sein mulai mengamati suasana di sekitarnya yang ternyata banyak sekali mengalami perubahan, Perubahan yang baik tentunya.
Hanya butuh waktu beberapa menit untuk keduanya sampai di mobil. Mang Ujang memasukkan kedua koper Sein ke bagasi, Sein sendiri sudah berada di dalam mobil dan duduk tepat di belakang kursi kemudi. Posisi duduk yang sangat Sein sukai.
"Mang, Papah sama Mamah lagi ada di luar kota ya?" tanya Sein sesaat setelah Mang Ujang duduk di kursi kemudi.
"Bapak sama Ibu lagi ada di luar negeri, Non."
"Pantas tadi Sein telepon, ponsel Mamah gak aktif," gumam Sein yang ternyata masih di dengar mang Ujang.
"Memang Bapak sama Ibu gak bilang sama Non Sein, kalau mereka lagi ada di luar negeri?" tanya mang Ujang penasaran.
Sein menggeleng. "Papah sama Mamah gak bilang tuh kalau mau pergi ke luar negeri," jawabnya lesu.
Mang Ujang tertawa begitu mendengar jawaban Sein. "Soalnya, kalau Bapak sama Ibu bilang lagi di luar negeri, pasti Non gak bakalan mau pulang kan?"
Sein mengangguk, membenarkan perkataan mang Ujang. Ia pasti akan mengurungkan niatnya untuk pulang kalau tahu Ahmad dan Ani tidak berada di rumah. "Mamang tahu aja," jawabnya malu, membuat tawa Mang Ujang berderai.
Sein sontak menoleh ke samping saat pintu mobil tiba-tiba terbuka dan masuklah pria yang sama sekali tidak Sein duga atau Sein harapkan kehadirannya, setidaknya untuk saat ini.
Pria tersebut tersenyum tipis saat melihat betapa terkejutnya Sein ketika melihat kedatangannya.
"Hai Seina Latisya Prasetyo, selamat datang kembali di Indonesia," sapa pria tersebut dengan suara yang mengalun merdu, suara yang sudah lama tidak Sein dengar.
Sein masih diam terpaku, benar-benar terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Sein tidak pernah berpikir kalau hari pertama kedatangannya kembali ke Jakarta, dirinya akan di sambut oleh pria yang sama sekali tidak ia harap dan ia pikir akan menyambutnya.
Sein berpaling, tanpa mau membalas sapaan Anton atau sekedar menyapa pria yang selama kurang lebih 3 tahun ini ia hindari.
Ya, pria yang saat ini duduk bersanding bersama Sein adalah Antonius Putra Syahreza, putra kandung dari pasangan Ahmad Syahreza dan Ani Pandhita yang tak lain tak bukan adalah orang yang sudah merawat dan membesarkan Sein sejak usianya 7 tahun.
Sein menarik dalam nafasnya, lalu menghembuskannya secara perlahan, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
3 tahun sudah berlalu, tapi kenapa rasa sakit di hatinya sama sekali tidak berkurang dan malah semakin bertambah sakit, saat melihat orang yang paling ia hindari malah muncul secara tiba-tiba di hadapannya?
Sein tentu saja belum siap, karena sampai kapan pun ia tidak akan pernah siap untuk kembali bertemu dengan Anton. Pria yang berhasil membuatnya merasakan cinta dan luka di saat yang bersamaan.
Anton hanya bisa ternsenyum kecut, tidak mendapat respons positif dari Sein cukup membuat dirinya merasa sedikit kecewa, bahkan Sein sama sekali tidak menyapa atau sekedar memberinya sebuah senyuman manis yang dulu sering kali Sein tunjukan, bahkan tanpa ia minta sekalipun.
"Jalan, Mang," pinta Anton.
"Langsung pulang ke rumah, Den?" tanya Mang Ujang memastikan.
"Iya Mang, langsung pulang ke rumah aja," jawab Anton.
Mang Ujang mengangguk, lalu mulai menyalakan mobil dan keluar dari area parkir Bandara yang selalu padat oleh lalu lalang kendaraan.
Anton kembali melirik Sein yang kini sedang memasang headseat, saking kerasnya volume yang Sein pakai membuat Anton bisa mendengar lagu apa yang sedang Sein putar di ponselnya. Ok, sepertinya, Sein sama sekali tidak berniat untuk menyapa atau sekedar berucap satu atau 2 patah kata padanya.
Anton menghela nafas panjang, berharap sesak di dadanya dan sakit di hatinya berkurang.
Tapi tak apa, seiring berjalannya waktu, Anton yakin kalau Seinnya akan kembali menjadi Sein yang dulu, Sein yang ceria dan selalu memberinya sebuah senyuman manis nan tulus di setiap hari yang ia lalui.
"Sabar, Anton. Lo harus sabar," gumam Anton pada dirinya sendiri.
Selama menempuh perjalanan pulang, baik Sein dan Anton sama-sama terdiam. Keduanya tidak berniat untuk memulai pembicaraan dan sibuk dengan pikiran masing-masing, terutama Sein yang sibuk memikirkan bagaimana cara agar dirinya tidak sering bertemu dengan Anton.
Bulu kuduk Sein meremang, saat ekor matanya mendapati tatapan tajam Anton yang sejak tadi terus terarah padanya, memperhatikan setiap gerak-geriknya dengan seksama. Bohong kalau Sein tidak merasa gugup, siapa pun pasti akan merasa gugup jika terus di perhatikan dengan intens.
Ingin sekali Sein memaki Anton, meminta agar pria itu berhenti menatapnya. Tapi, mungkin Anton memang sengaja melakukannya agar Sein merasa terganggu dan akhirnya mau berbicara padanya. Karena itu, Sein memilih diam, dan memilih untuk memejamkan matanya.
Tak terasa 1 jam sudah berlalu, dan saat mobil memasuki area pekarangan rumah yang sangat luas, perasaan Sein mulai tidak enak karena tempat ini jelas terasa sangat asing baginya. Sein tahu kalau ini bukanlah rumah yang seharusnya ia tuju, ini bukan rumah Ahmad dan Ani.
Sibuk dengan pikirannya membuat Sein tidak sadar kalau Anton sudah keluar terlebih dahulu dari mobil dan melangkah memasuki rumah yang terbilang sangat megah dan luas.
Melihat Sein terdiam, membuat Mang Ujang bingung. "Non Sein enggak turun? Kita sudah sampai loh," tegur Mang Ujang, membuat semua lamunan Sein buyar.
Sein menoleh, menatap mang Ujang dengan dahi mengkerut. "Kok gak pulang ke rumah Papah sama Mamah, Mang?"
"Permintaan Den Anton, Non," jelas Mang Ujang.
Mendengar jawaban Mang Ujang membuat Sein langsung menoleh ke samping dan begitu menyadari Anton sudah tidak berada di sisinya, dengan cepat Sein turun dari mobil, berlari mengejar Anton yang sudah memasuki rumah.
"Tunggu Om!" Teriakan membaha Sein membuat langkah Anton terhenti.
Anton tersenyum simpul begitu mendengar Sein memanggilnya dengan sebutan Om.
Anton berbalik, menghadap Sein yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatnya berdiri. "Ada apa, Sein?" tanyanya lemah lembut.
Anton kembali menuruni anak tangga, melangkah mendekati Sein yang malah berjalan mundur begitu Anton mendekat. Melihat hal itu membuat Anton mengurungkan niat untuk menghampiri Sein lebih dekat lagi. Sepertinya, Sein benar-benar enggan untuk berdekatan dengannya.
Anton menatap mata intens mata Sein, membuat Sein salah tingkah karenanya.
Ingin sekali Anton memeluk erat tubuh Sein, mengecup kening Sein dan mengucapkan kata-kata yang sejak dulu ingin ia ungkapkan. Tapi, meskipun jarak mereka sangat dekat, Anton justru merasakan hal sebaliknya, ia bisa merasa jaraknya dan Sein sangat jauh, bagai langit dan bumi.
"Jawab Sein, jangan diam saja." Anton memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, dengan mata yang kini menatap tajam Sein, mencoba mengintimidasi Sein.
"Sein mau pulang ke rumah Papah, Mamah," lirih Sein.
Sein terus memilin-milin ujung dressnya, pertanda kalau dirinya sedang merasa gugup. Tatapan tajam Anton membuat nyali Sein menciut.
Helaan nafas kasar keluar dari mulut Anton begitu mendengar jawaban Sein, ternyata Sein masih sama saja, keras kepala. Apa Sein tidak mendengar penjelas Mang Ujang saat di mobil tadi? Anton yakin pasti Mang Ujang sudah memberi tahu Sein perihal Ahmad dan Ani yang sedang berada di luar negeri.
Sein menunduk, sama sekali tidak berani menatap wajah Anton yang Sein yakin pasti sangat menyeramkan. Seperti hantu-hantu di film, mungkin.
"Dengar Sein, Papah sama Mamah lagi gak ada di rumah, mereka berdua lagi liburan di Barcelona. Jadi untuk sementara waktu, kamu tinggal di sini," tegas Anton.
Sein menggeleng begitu mendengar jawaban Anton, tidak masalah baginya kalau harus tinggal sendirian di rumah Ahmad dan Ani. Justru dengan ia berada satu rumah dengan Anton, itulah masalah Sein yang sebenarnya. Sein tidak mau berdekatan dengan Anton, karena itu akan sangat berbahaya bagi kesehatan hati, jantung, dan juga pikirannya.
"Iya Sein tahu, Sein berani kok tinggal di rumah sendirian." Sein tetap kekeh pada pendiriannya, ingin pulang ke rumah Ahmad dan Ani.
Sein masih menunduk, tidak berani menatap Anton yang kini melangkah mendekat.
"Kalau berbicara lihat mata orang yang kamu ajak bicara, Seina," sindir Anton tak mau kalah. Kini kedua tangan Anton bersedekap, dengan aura mengintimidasi yang kuat.
Lagi-lagi Sein menggeleng, dia tidak mau menuruti perintah Anton untuk mengangkat wajah dan saling berpandangan. Sein sama sekali tidak peduli pada sindiran yang Anton lontarkan. Sein takut, karena Sein tahu, tatapan mata Anton akan melemahkan pendiriannya.
Anton menggeram, merasa gemas karena Sein terus menunduk, dan tidak mau menuruti permintaannya. Apa Anton harus mengancam Sein, agar Sein mau menatap wajahnya walau hanya sedetik?
Dengan langkah lebar, Anton mendekati Sein sampai akhirnya pria itu kini sudah berdiri menjulang di hadapan Sein. "Look at me Seina," bisik Anton seraya memegang dagu Sein, membuat wajah Sein terangkat dan kini keduanya saling menatap satu sama lain.
Darah Sein berdesir saat kulitnya dan kulit Anton bersentuhan. Ini adalah kali pertama mereka melakukan kontak fisik setelah 3 tahun tidak bertemu, dan sialnya Sein masih saja merasakan getaran cinta di hatinya. Bahkan mungkin, rasa cinta itu lebih besar dari 3 tahun yang lalu.
"s**t!" umpat Sein dalam hati.
"Sekarang istirahatlah, nanti malam kita makan bersama. Bi Sari ada di lantai atas, naik dan masuklah ke kamar yang pintunya berwarna hitam!" Apa yang baru saja Anton katakan bukanlah sebuah permintaan, melainkan sebuah perintah yang Sein tahu harus Sein patuhi atau ia akan mendapat sebuah hukuman, mungkin.
"Mengerti?" tanya Anton memastikan, menatap manik Sein dengan tatapan lembut, tatapan yang mampu melemahkan, sekaligus menggetarkan jiwa Sein.
"Jawab Sein, jangan diam saja," lirih Anton dengan raut wajah sendu.
"Iya," lirih Sein. Bukankah sudah Sein katakan sebelumnya, kalau tatapan mata Anton akan melemahkan pendiriannya.
Wajah Anton seketika berseri dengan senyum manis yang tersungging begitu mendengar jawaban Sein, senyum yang mampu membuat jantung Sein berdetak tak karuan, senyum yang juga mampu membuat Sein lemah tak berdaya.
"Kalau begitu naik, dan istirahatlah. Masalah barang-barang, biar nanti Mang Ujang yang urus."
Lagi-lagi Sein mengangguk tanpa mau membalas ucapan Anton. Dengan tangan bergetar karena gugup, Sein melepaskan tangan Anton dari dagunya dan tanpa berpamitan, dengan langkah tergesa Sein menaiki anak tangga yang akan membawanya menuju kamar yang mungkin sedang Bi Sari siapkan atau mungkin sudah siap.
Anton mengurungkan niatnya untuk kembali menaiki tangga, dan lebih memilih untuk pergi ke halaman belakang rumah. Tempat di mana ia terbiasa menyendiri dan memikirkan semua masalah yang terjadi dalam kehidupannya dalam kurun 3 tahun belakangan ini, terutama masalahnya dengan Sein.
Begitu sampai di undakan tangga terakhir, Sein lalu berbalik dan mulai mengamati suasana rumah yang ia akui memang sangat luas dan luar biasa mewah. Semua interior rumah yang ia yakini milik Anton sangat classic tapi tak sedikit pun menghilangkan kesan mewah.
"Non Sein?"
Sein menoleh pada asal suara, tersenyum saat melihat wanita paruh baya yang dulu ikut mengasuh dan merawat dirinya saat kecil, sedang berjalan mendekat.
"Bibi." Sein merentangkan tangan, dan wanita yang di panggil Bibi oleh Sein langsung menghambur memeluk Sein dengan sangat erat, bahkan Sein hampir saja terjungkal karenanya.
Sein tertawa, lalu membalas pelukan Bi Sari. Sein sangat merindukan wanita yang kini sedang memeluknya.
Dulu, Bi Sari selalu memarahi dan menasihati Sein agar jangan lupa untuk makan, mengingat dulu Sein sering kali telat makan karena terlalu asyik belajar.
"Bi, Sein sesak nafas loh," ungkap Sein. Sadar dengan maksud ucapan Sein membuat Bi Sari langsung melepaskan pelukannya, lalu mundur satu langkah untuk memberi Sein ruang bernafas.
"Ya ampun, makin ayu aja Non,"puji Bi Sari takjub. Mulai memindai penampilan Sein dari ujung kaki sampai ujung kepala.
"Iya dong Bi, harus makin cantik biar banyak yang naksir," jawab Sein bangga.
"Memang Non masih jomblo? Bibi pikir Non sudah punya pacar bule," tanya Bi Sari yang langsung Sein jawab dengan gelengan kepala.
"Sein mau cari produk lokal aja Bi, atau gak yang setengah lokal setengah bule juga gak papa lah," terang Sein.
"Non ada-ada aja deh," kekeh Bi Sari.
"Bi, warna rambut Sein cocok gak?" Sein menunjukkan rambutnya yang baru beberapa hari lalu ia cat menjadi coklat.
"Jelek Non, bagusan juga item," jawab Bi Sari jujur apa adanya.
"Ah, Bibi mah gak asyik," cibir Sein dengan bibir yang kini maju beberapa cm.
Bi Sari tertawa, mencubit gemas pipi Sein yang tidak lagi chubby. "Cantik dan cocok kok Non, tapi lebih cantikkan kalau rambutnya tetap warna hitam."
"Gitu ya, Bi?"
"Iya, bagusan warna item, Non."
Sein mengangguk, mulai memindai penampilan Bi Sari yang tampak jauh berbeda dengan 3 tahun lalu.
"Bibi makin berisi aja," celetuk Sein tanpa sadar.
"Iya dong, Non, efek bahagia ini."
Sein tertawa terpingkal-pingkal. Ah, Sein sangat merindukan suasana seperti ini, suasana yang tidak bisa setiap hari ia dapatkan ketika dirinya tinggal di London bersama Kakaknya. Tentu saja karena Lucas sibuk bekerja, bahkan tak jarang Lucas memilih menginap di kantor ketimbang pulang ke apartemen menemani dirinya.
"Ayo Non, kita ke kamar."
Keduanya melangkah beriringan menuju kamar yang sudah jauh-jauh hari Anton siapkan untuk menyambut kedatangan Sein.
Begitu pintu kamar terbuka, kesan pertama yang Sein rasakan adalah luas dan mewah.
"Wow, bagus banget kamarnya." Sein benar-benar di buat terpesona dengan isi interior kamar yang sangat mewah, dan modern.
Senyum puas tersungging di wajah Bi Sari begitu mendengar kalimat takjub yang terlontar dari mulut Sein. Ternyata usaha Anton tidak sia-sia.
"Di buat secara spesial untuk orang spesial pastinya." Bi Sari sengaja menggoda Sein, ingin tahu bagaimana reaksi Sein.
Wajah Sein merona, dan hal itu tak luput dari pandangan Bi Sari. "Aden sendiri loh yang mendesain kamarnya, Non."
"Masa sih?" tanya Sein sangsi. Tentu saja Sein tidak akan percaya begitu saja dengan apa yang baru saja Bi Sari katakan, karena Sein tahu betul betapa Anton sangat tidak menyukai desain, apapun itu bentuknya.
"Beneran Non, sampai 1 bulan lebih gak masuk kantor."
"Bangkrut dong kantornya?"
"Kan ada Bapak, Non."
Sein hanya mengangguk, lalu kembali mengamati suasana kamar. "Apa ini gak berlebihan Bi, kamarnya terlalu luas."
"Wah, kalau masalah itu tanya langsung aja sama Den Anton aja, Non," usul Bi Sari yang kini melangkah menuju jendela untuk menutup gorden.
Sein memilih tidak menanggapi usulan Bi Sari. Sein melepas tasnya, lalu menaruhnya di atas nakas dan langsung menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur yang sangat empuk dan menguarkan aroma mawar segar. Aroma yang sejak dulu sangat ia sukai.
"Non Sein mau makan sesuatu, atau mau langsung istirahat?" Bi Sari menghampiri Sein, dan duduk di samping Sein.
"Sein mau istirahat aja Bi, ngantuk banget." Sein menguap, sedikit merubah posisi tidurnya.
"Ya sudah, kalau begitu Non istirahat aja."
"Iya Bi, terima kasih ya."
"Sama-sama Non, kalau begitu Bibi pamit ke bawah lagi ya."
"Ok, Bi."
Setelah mendapat jawaban dari Sein, Bi Sari melangkah keluar, menutup pintu kamar dengan sangat pelan, meninggalkan Sein yang akan beristirahat.