Badai Yang Membawa Cerita

1996 Words
Jakarta, 2001 *** "namaku Jovan, jadi.. Siapa namamu??" Tanyanya sambil mengulurkan tangan. Lama aku terdiam sambil menatap telapak tangannya. Apa aku harus berkenalan dengan dia?? Apa itu perlu?? Mama pernah memberi tahu, katanya aku tidak boleh berkenalan dengan orang asing. Nasehan ini kurasa sedikit aneh. Jika tidak berkenalan, semua orang akan menjadi asing, bukan?? Aku menatap tanganku yang masih terasa kebas karena dingin. Kurasa tidak ada salahnya jika aku berkenalan dengan dia. "namaku Almeera" Jawabku sambil menyambut uluran tangannya. Hangat.. Amat sangat hangat. Kurasa dia juga kehujanan sama seperti diriku, tapi tangannya menyebarkan kehangatan yang luar biasa. Pandanganku terangkat. Mataku menabrak tatapannya. Mata coklat itu semakin indah ketika disinari cahaya remang dari lampu tempat ini. Sedetik kemudian dia tersenyum. Ada sesuatu yang lain, sesuatu yang kurasa tidak pernah aku tahu sebelumnya. Sesuatu yang selalu kuanggap ada tapi tak pernah kumiliki. "Almeera?? Namamu terlalu panjang. Bagaimana jika aku memanggilmu Meera?? Kurasa itu tidak buruk.." Meera?? Meera katanya?? Itu nama pendekku. Hanya orang-orang terdekat saja yang memanggiku seperti itu. Dan dia?? Seseorang yang baru kukenal bernama Jovan, dia akan memanggilku Meera?? Aku baru akan menyuarakan ketidak setujuanku, tapi ibu si pemilik rumah makan tiba-tiba menyela pembicaraan kami. "mie instan untukmu anak manis.." Katanya sambil menyajikan semangkuk mie dengan telur dan sayuran hijau yang kuperkirakan adalah sawi. Di samping mangkuk juga ada segelas teh panas yang uapnya masih mengepul. Tadi aku memang kedinginan, tapi sekarang.. Entahlah, sejak Jovan datang, kurasa hawa disekitar sini menjadi sedikit lebih hangat. "oh, Jovan? Kamu ada disini??" Tanyanya sambil menatap kaget ke arah Jovan. Tunggu dulu, apa mereka saling kenal? "iya, Bu. Aku tiba-tiba kelaparan. Di otakku hanya terlintas tempat ini. Jadi, biasakah ibu membuatkan aku makanan??" Tanya Jovan sambil tersenyum sopan. Ibu pemilik rumah makan menggelengkan kepalanya. "kamu terlambat, Jovan. Makananku sudah habis semua. Hujan membuat banyak pelanggan jadi mampir. Apa kamu mau mie instan juga seperti nona manis ini??" Tanyanya sambil menatap lembut ke arahku. Aku merasa nyaman dengan senyum lembut wanita ini. Dia mengingatkan aku pada Mama. "mie instan?? Aku tidak terlalu suka makanan itu.." Jawab Jovan. Aku menatapnya sambil mengernyitkan dahi. Apa katanya?? Wanita ini sudah dengan sopan menawari Jovan, tidak bisakah dia juga menjawab dengan sopan?? Tidak bisakah dia pura-pura menerima saja?? Sekalipun tidak setuju, aku tetap diam sambil menatap Jovan. Tapi beberapa saat kemudian, aku kembali dikejutkan oleh kalimat Jovan. "tapi karena ibu yang memasak, kurasa aku akan mentukainya.." Kata Jovan. "baiklah.. Tunggu disini sebentar yaa.." *** Aku berakhir pulang dengan diantar oleh Jovan lagi. Entahlah.. Dia hanya sekedar kenal sambil lalu, tapi dia sudah kerumahku 2 kali, sekalipun hanya mengatar sampai gerbang saja. Sebenarnya ini rekor yang cukup mengejutkan untukku. Fyi, aku tidak pernah punya teman. Tidak ada yang pernah main ke rumahku kecuali anak dari rekan bisnis keluarga. Mereka juga tidak bisa kusebut teman karena sebenarnya kami tidak pernah saling kenal dan berbicara layaknya seorang teman. Aku hidup tertutup tanpa pernah mau bergaul dengan lingkungan sekitar. Sejak SD, hanya beberapa orang yang tercatat pernah makan siang bersamaku. Yaa, sejak kecil aku terbiasa sendiri ketika di sekolah. "rumahmu amat sangat besar, Meera. Apa kamu anak orang kaya??" Tanya Jovan. "well, aku hanya anak pelayan disini.." Jawabku asal. Jovan tertawa ringan. Mataku berhenti menatap sekitar, cahaya matanya menghentikan aliran darahku untuk sesaat. "kamu bergurau.." Aku ngendikkan bahuku. "terima kasih sudah mengantarku.." Dia mengangguk. Tepat sebelum kaca helm miliknya ditutup, aku melihat mulutnya bergerak, menyebut satu nama yang membuat aku terdiam. "Meera.." Katanya. *** Aku terbangun dengan keadaan yang amat sangat tidak baik. Tubuhku menggigil, hidungku terasa buntu sehingga aku kesulitan bernapas, kepalaku juga terasa pusing. Ini akibat dari hujan tadi malam. Jujur saja aku tidak pernah terkena air hujan.. Sejak aku kecil, segalanya tentangku selalu aman. Semua orang akan memastikan agar apapun yang kulalukan tidak membuat diriku sakit. Dan hujan kemarin adalah yang pertama. Aku bahkan masih ingat betapa hebohnya eyang dan para pelayan karena melihat aku pulang dalam keadaan basah kuyup. Sudahlah.. Aku mendengar ada yang mengetuk kamarku. Aku selalu mengunci kamar, jadi tidak akan ada yang masuk ke kamar ini tanpa izin dariku. Kubiarkan ketukan itu tetap berbunyi. Aku mencoba bangkit berdiri. Aku harus sekolah. "Meera?" aku mendengar ada yang memanggil namaku. Itu suara Eyang. "aku sudah bangun.." Jawabku. "ada yang harus dibicarakan, Meera bisa keluar sebentar??" Aku menghela napas. Jika ini mengenai masalah kemarin malam, jujur aku malas. "aku mau sekolah.." Jawabku sambil membuka pintu kamar. Terlihat ada beberapa pelayan yang berdiri di belakang Eyang. Aku menatap Eyang yang mengenakan pakaian resmi. Bukan baju yang biasa digunakan di rumah setiap pagi. Ada apa lagi?? "hari ini Meera ikut Eyang sebentar. Tidak perlu sekolah dulu hari ini.." Kata Eyang. "kemana??" Tanyaku. Eyang menyentuh tanganku, aku berusaha melepas genggaman Eyang. Sepertinya ada yang tidak beres. "Meera?? Kamu sakit??" Tanya Eyang sambil menatap cemas ke arahku. Aku menggeleng. Besok mungkin aku akan jatuh sakit, tapi sebelum itu semua terjadi aku akan minum vitamin. Kuharap aku tidak jadi sakit. "Eyang mau kemana??" Tanyaku. Eyang menatap cemas lagi ke arahku. Ini bukan tatapan yang biasa Eyang berikan ketika aku sakit ataupun terluka. Tatapan yang satu ini lebih kepada tatapan kasihan.. Atau tatapan penuh permohonan maaf. "kita harus segera berangkat. Meera harus didandani dulu.." *** Aku tidak menyangka semua ini akan terjadi. Eyang mengajak aku ke.. Entahlah.. Aku tidak tahu ini tempat apa. Aku hanya melihat Papa duduk berdampingan dengan seorang wanita, iyaa.. Itu wanita yang kemarin datang ke rumah. Aku menggeram tidak suka. Disampingku ada Eyang yang duduk sambil menggenggam tanganku. Menahan agar aku tidak bangkit berdiri dan memgacaukan acara mereka disini. Papaku akan menikah lagi di depan mataku sendiri. Tidak pernah aku kira jika orang-orang yang selalu menjaga senyumku, mereka juga yang akan merenggut segala kebahagian dari hidupku. Jika Papa menikah lagi, bagaimana dengan Mama?? "sekarang kita sedang ada di kantor pencatatan sipil. Mereka akan menikah secara hukum.." Kata Eyang tanpa menoleh ke arahku. Aku tersenyum sinis. Jadi ini keluargaku yang sebenarnya? "tentu saja Eyang. Mereka hanya akan menikah secara hukum, agama tidak memperbolehkan Papa menikah untuk yang kedua kalinya, bukan?" Jawabku. "Meera.. Setelah kejadian ini, dirumah bukan hanya ada kita saja, wanita itu dan anaknya juga akan tinggal di rumah.." Kata Eyang. Air mataku menetes begitu saja. Bagaimana aku bisa hidup setelah ini? Dan.. Bagaimana dengan Mama?? "kamu akan punya adik, Meera. Bersikaplah dewasa.." Adik katanya?? Yang benar saja. Anak dari seorang w************n tidak akan pernah menjadi adikku. Aku memang sering bermimpi memiliki seorang adik karena aku selalu kesepian tinggal di rumah sebesar itu tanpa punya satupun saudara. Saat kecil aku mungkin bisa memaksa pelayan untuk menemani aku bermain, bukankah sudah kubilang jika aku tidak pernah memiliki teman? Aku ingin memiliki seorang saudara. Setidaknya agar aku bisa sedikit terbebas dari peraturan keluarga yang terasa mencekik leherku, atau hanya sekedar untuk berbagi keluh kesah karena beberapa kali aku sedikit tertekan dengan keadaan rumah yang selalu terlihat sepi. Fyi, hidup di lingkungan keluarga yang terpandang membuat kami mau tak mau harus mengikuti banyak peraturan tak tertulis. Aku juga tidak tahu siapa yang pertama kali membuat peraturan, tapi sungguh.. Kadang aku merasa jika semua itu terlalu berlebihan. Lalu sekarang.. Papa sedang membuat permainan licik yang menyakitiku. Sejak tadi malam aku sudah memutuskan untuk tidak menangis karena masalah ini. Aku akan melawan.. Bukan menangis dan menyerah. Lalu hari ini, tepat sehari setelah pemberitahuan mengejutkan kemarin, Papa akan menikahi w************n itu. Baiklah, namaku adalah Almeera. Aku bersumpah aku akan mengganti nama jika aku tidak berhasil mengusir dan memusnahkan wanita itu. Aku bersumpah. Akan kubuat kehidupan mereka berdua seperti di dalam neraka. Neraka sama yang saat ini mereka ciptakan untukku. Dan anak bayi itu, akan kuhancurkan dia dan masa depannya. Akan kuserang mental dan hatinya. Karena aku tahu, kehancuran mental jauh lebih mematikan dari kehancuran fisik. Aku bersumpah, akan kubiat mereka menyesal karena berurusan dengan keluarga ini. "Eyang harap kamu bisa bersikap baik pada mereka berdua. Terlebih kepada adikmu.. Dia anak laki-laki, Meera.. Eyang yakin kamu tahu maksudnya.." Aku tertawa pelan. Anak laki-laki?? Jadi ini alasan eyang memperbolehkan Papa menikahi w************n itu?? Kuingat kemarin Eyang juga menentang perbuatan Papa. Tapi karena w************n itu punya anak laki-laki Eyang jadi berubah pikiran?? Huh, memang apa gunanya seorang laki-laki jika dia hanya bisa berbuat b******k?? Kurasa perempuan juga bisa melakukan segala hal bahkan hasilnya akan lebih baik dari pada yang laki-laki bisa. Tolonglah, untuk keluarga modern dan terpandang macam keluargaku, apakah perbedaan gender masih menjadi masalah? *** Papa mengendarai mobil sendiri. Tidak biasanya Papa seperti ini. Kami memiliki banyak uang, Papa lebih suka menggunakan sopir. Aku membuka pintu mobil dengan kasar. Kulihat di kursi depan ada Eyang yang telah duduk. Hanya ada 2 kursi di jok tengah, satu kursi terisi oleh wanita yang keberadaannya paling kukutuk di bumi. Dia dengan tidak tahu malunya sedang duduk sambil memangku anak haram kebanggaannya. Dia adalah balita pertama yang keberadaannya kukutuk karena sebenarnya aku amat sangat menyukai anak kecil. "aku pulang naik taksi saja" Kataku. Di mobil yang memiliku fasilitas fantastis ini, sebenarnya masih ada banyak ruang yang tersisa. Tapi aku tidak ingin berada di mobil yang sama dengan w************n macam wanita itu. Sungguh menjijikkan. "Meera.." Eyang turun dari mobil. Menatap aku dengan pandangan memohon. Memohon? Cih, setelah menghancurkan kebahagiaanku hanya dalam waktu sekejap, dia memohon padaku? Iya, aku tahu Eyang akan tetap membela Papa apapun yang terjadi. Mamaku berasal dari keluarga yang sederhana, sekalipun tidak terlihat secara kentara, Mama jelas tidak terlalu dihargai jika berada di tengah-tengah keluarga ini. "Meera, kita hanya akan pulang.." Papa ikut turun. Dia menatapku dengan tatapan yang sama dengan milik Eyang. Aku tersenyum sinis. Sepertinya tidak ada salahnya jika aku ikut duduk di sana. Mataku melirik sinis ke arah wanita yang masih mengenakan gaun putih sederhana miliknya. Menjijikkan! "namanya Aldebara. Kamu bisa memanggilnya Bara, Meera.." Aku mengangkat sebelah alisku. Wanita ini berbicara padaku? Dan apa katanya?? Aldebara?? "mulai sekarang kita akan tinggal bersama, Meera. Papa harap kamu bisa menerima kehadiran Mama dan adikmu.." Kata Papa. Aku mendengus dengan suara yang kencang. "Meera, kamu sudah besar. Berpikirlah dewasa.." Kata Papa. "jika berpikir dewasa akan membuat aku dengan mudah menjadi w************n, maaf.. Aku tidak mau berpikir dewasa.." Mobil kembali hening. Jadi ini maksud Papa mengendarai mobil sendiri?? Dia ingin membicarakan hal setidak penting ini dengan aku? "kita sesama wanita, tidak bisakah kamu berpikir dengan logis ketika berusaha menggoda Papaku??" Tanyaku sambil menatap wanita itu. Dia terisap. Sepertinya amat sangat kaget dengan perkataanku yang tidak sopan. "Meera.." Papa memperingatkan aku. "Papa juga sama. Apa Papa rela jika nanti aku juga dihianati oleh laki-laki b******k?" Tanyaku. Papa tidak menjawab. "Eyang juga akan membiarkan aku dihianati dengan cara yang sama??" *** Jakarta, 2020 Tidak ada yang tersisa dari hatiku. Semuanya dihancurkan hari itu juga. Keadaan semakin buruk ketika Mama tidak bisa menerima segalanya. Saat itu semuanya terasa sulit untuk dimengerti. Aku tahu Mama tertekan dengan keadaan yang ada. Pernah suatu hari aku mengajak Mama untuk kabur. Saat itu aku sudah memiliki tabungan yang cukup, aku juga sudah lulus dari universitas ternama dengan hasil yang memuaskan. Kurasa akan mudah untuk mencari pekerjaan di luar sana tanpa memiliki akses dari nama keluarga yang sialnya masih saja menjadi nama belakangku. Tapi Mama menolak. Dia memilih untuk tetap bertahan dan terkungkung di rumah itu. Mama tetap bertahan agar aku juga tetap menjadi pewaris utama di keluarga karena hanya aku satu-satunya anak yang diakui secara hukum. Bara?? Iya, dia memang anaknya. Tapi Bara adalah anak yang hidup dalam bayangan keluarga. Huh, aku sungguh kasihan jika mengingat nasibnya. Ibunya berusaha agar dia mendapat akses mudah karena menyandang nama keluarga— yang sesungguhnya aku sering mengutuk nama ini—sayang sekali dia tetap tidak bisa hidup dengan normal. Sungguh anak yang malang. Sudahlah Meera.. Itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Mereka mungkin sudah mempublikasikan keberadaan Bara. Bisa juga dia sekarang diangkat menjadi pewaris utama. Huh, aku benar-benar tidak peduli lagi. Tanganku bergerak untuk meraih frapuccino milikku. Aku menatap sekeliling, orang-orang yang tadi duduk di sekitarku sudah berganti. Mungkin mereka sudah pulang. Hanya aku yang masih betah duduk dengan hanya memesan frapuccino. Cerita ini akan amat sangat panjang.. Berapa gelas frapuccino lagi yang harus kupesan??
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD