Seorang Pewaris

1361 Words
Jakarta, 2001 *** "Ma, kenapa kita tidak pergi saja dari tempat ini??" Tanyaku sambil menatap Mama yang masih saja terdiam sejak satu jam yang lalu.  Pandangannya kosong. Mama seperti kehilangan harapan. Seperti aku yang juga mulai kehilangan arah. Sebab, setelah semua yang kulalui, aku tak lagi berani mengharapkan sesuatu yang indah selain kehancuran keluarga ini. "Meera.. Kamu harus kuat. Bukan hanya kamu saja yang merasa tertekan disini.."  Aku menghembuskan napas dengan kasar. Kurasa akan terlalu menyakitkan jika kami memaksakan diri untuk tetap tinggal padahal tempat ini tidak lagi sehangat rumah yang dulu.  Aku memang sudah berjanji untuk menghancurkan wanita itu, tapi kurasa tidak akan semudah yang aku pikir. Aku bisa saja malah terluka jika nekat melakukan sesuatu. Tapi.. Jika kubiarkan semuanya tetap sama, bagaimana aku bisa hidup?? "jika Mama merasa tertekan, kita bisa pergi bersama. Meera akan selalu ikut kemanapun Mama pergi.." Ucapku sambil menyeka air mata.  Ini seperti mimpi buruk yang sering hinggap di tidur lelapku. Kuharap begitu. Kuharap setelah ini aku terbangun dan semuanya kembali normal seperti biasa. Tidak ada kehancuran. Tidak ada air mata. "kamu tahu Meera? Salah satu alasan Mama tetap diam disini adalah kamu.." Aku mengerjapkan mata dengan tidak percaya. Aku??  "Ma??"  Mama menatapku. Dia memejamkan mata sesaat. "perusahaan akan menjadi milikmu ketika kamu lulus kuliah. Meera, tolong bantu Mama. Hancurkan keluarga ini.."  Aku tertawa pelan. Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya.  "tanpa Mama meminta, aku akan melakukan itu. Tapi aku mau pergi, Ma. Aku mau pergi.." Mama menatapku dengan tajam. Aku tahu Mama tersakiti, tapi jika dipaksa untuk tetap tinggal satu atap dengan seorang wanita penghianat, aku tidak sanggup.  Rumah ini memiliki 3 lantai dengan luas yang luar biasa. Aku tentu akan jarang bertemu dengan wanita itu sekalipun kami satu rumah, tapi tetap saja.. Aku tidak mau. Papa menghancurkan segalanya hanya dalam beberapa saat. "tetaplah disini, Meera. Mama sudah menunggu selama lebih dari 15 tahun. Jangan menyerah dengan sia-sia." *** Aku tidak mempercayai takdir. Semuanya hanya kebetulan terjadi. Tidak ada yang benar-benar berjalan seperti sebuah rencana. Selalu ada hal buruk yang merusak suasana hati. Yaa, setidaknya itu yang aku rasakan sepanjang hari ini. Pandanganku diubahkan hanya dalam waktu sekejap. Papa yang biasanya menjadi juara dalam segala hal yang baik, kali ini Papa mengecewakan aku. Membuat aku menanggung beban berat yang belum sanggup untuk kumengerti. Aku bahkan tidak sanggup untuk sekedar keluar dari kamarku. Aku ketakutan sendiri. Tidak ada yang benar-benar peduli.  Kupikir selama ini Papa menyayangiku. Kupikir Eyang tidak pernah membedakan gender dalam masalah pewaris perusahaan. Kupikir selama ini Mama akan selalu menjaga agar hatiku tidak terluka. Iyaa, itu hanya pikiranku. Kenyataannya mereka sama sekali tidak peduli. Aku sering mendengar jika Ayah adalah cinta pertama anak perempuannya. Tidak.. Itu tidak berlaku padaku. Papa sudah mematahkan hatiku jauh sebelum aku belajar untuk jatuh cinta. Aku mengurung diri di dalam kamar. Beberapa pelayan sudah mencoba mengetuk pintu untuk memberi aku makan. Dulu kupikir mereka juga peduli, tapi kurasa tidak. Mereka hanya bekerja. Itu hanya tuntutan pekerjaan. Aku mengusap air mata. Meera, bagaimana kamu bisa menghancurkan orang yang selalu menjadi keluarga?? Papa memberikan aku pelukan yang hangat sekalipun dia menggoreskan luka yang dalam di hatiku. Dia bahkan mengajak aku ketika melakukan pernikahan. Dia menghianati Mama di depan mataku sendiri. Dan aku hanya bisa diam. Sementara Eyang?? Entahlah.. Aku tidak lagi bisa berharap padanya. Eyang tentu ingin memiliki seorang cucu laki-laki. Iyaa, aku tahu hal itu. Tapi tidak pernah sedikitpun terlintas dipikiranku jika Eyang ingin seorang pewaris laki-laki untuk perusahaannya. Huh, bagaimana mungkin Eyangku sendiri berlaku seperti itu? Apa dia sama sekali tidak memikirkan aku?? Sekalipun seorang perempuan, aku juga bisa melakukan segalanya.  Tok.. Tok.. Tok.. "nona?? Saya membawa makanan?? Nona masih tidak mau makan??"  Entah sudah berapa kali suara-suara berisik itu mengganguku. Aku lapar, tentu saja. Sejak pagi aku belum makan sama sekali. Keadaan tubuhku juga terasa kurang enak karena kehujanan kemarin malam. Tapi kurasa aku juga tidak akan bisa makan dengan nyaman di keadaan seperti ini. "Meera?? Ini Eyang. Katanya kamu belum makan sejak tadi. Meera, bisa tolong membuka pintu?? Eyang ingin bicara.." *** "kamu mungkin bertanya-tanya mengapa Eyang dengan tega membiarkan Papamu menikah lagi. Eyang tahu perasaanmu, Meera." Aku tersenyum singkat. "Eyang tidak tahu. Eyang hanya pura-pura mengerti aku.." Jawabku dengan pelan. "Eyang tidak berdaya, Meera. Wanita itu tidak sendirian.. Ada Bara yang juga darah daging Papamu.." Aku tersenyum. "lalu Eyang pikir Mamaku sendirian?? Tidak. Dia bersamaku." Eyang mendekat. Aku tidak sanggup.   Eyang selalu menjadi tempat aku berpulang ketika Mama dan Papa lebih sibuk dengan urusan dunia. Mana mungkin sskarang aku bersikap seperti ini pada Eyang? "Eyang tahu. Meera.. Cobalah mengerti.." Aku menggelengkan kepala. Apa yang harus dimengerti?? Apa setiap orang dewasa akan selalu berpikir curang dan egois?? Jika iya, aku bersumpah aku tidak akan pernah bertumbuh dewasa. "bagian mana yang harus aku mengerti? Apa aku belum cukup untuk Eyang? Kenapa harus ada mereka??" Inilah yang selama ini aku benci dari keluarga terpandang macam keluargaku. Diluar sana, dari sekian banyak keluarga kaya raya yang memiliki banyak bisnis, aku berani bertaruh jika keluarga mereka juga sama bermasalahnya dengan keluargaku. Bahkan mungkin jauh lebih parah. Tapi masalahnya, aku sama sekali tidak pernah berharap ditimpa musibah seperti ini. Aku belajar banyak hal dari setiap pertemuan bisnis yang selama ini aku datangi. Mereka—si keluarga kaya— hanya membicarakan masalah aset dan juga pewaris. Mereka akan saling mengunggulkan kepiawaian sang pemilik tahta masing-masing. Bagaimana kinerja putra pertama, bagaimana keahlian putra kedua.. Dan lain sebagainya.  Masalahnya, disaat mereka membicarakan tentang putra mereka, Papa hanya bisa membalas dengan membanggakan prestasiku yang tidak terlalu banyak. Selama ini aku cukup puas dengan semuanya, kupikir Papa dan Eyang juga begitu. Tapi ternyata aku salah. Mereka ingin pewaris. Mereka ingin seorang putra. Bukan putri bodoh seperti aku. Aku salah. Aku yang terlalu percaya diri. Aku terlalu berharap keluarga ini sudah bisa berpikiran secara luas dengan tidak mempermasalahkan perbedaan gender dalam urusan bisnis. "Meera, Eyang terpaksa. Mana mungkin Eyang bisa membiarkan satu cucu Eyang hidup terluntai-luntai sementara yang satu bisa hidup dengan banyak kemudahan disini?? Bisakah kamu melihat itu, Meera??" "yang aku lihat hanyalah keserakahan kalian untuk tetap berbisnis. Aku salah, ini bukan keluarga. Ini adalah bisnis.." "Meera! Kamu tidak boleh bicara tidak sopan. Tidak ada yang mengajari kamu berbuat semacam itu!" Eyang berkata dengan nada tinggi. Aku tahu aku yang salah. Tidak seharusnya aku berbicara tidak sopan. "memang tidak ada. Disini aku diajari untuk berbuat tidak setia dan egois. Ohh, juga untuk berhianat.. Aku belajar hal itu dari rumah ini" Ucapku sambi tertawa. "Meera!" "bisa Eyang keluar dari kamarku? Aku ingin sendiri.." "kamu hanya perlu melihat dari pandangan Eyang, Meera. Kamu masih terlalu muda, wajar jika kamu seperti ini" "iyaa, nanti jika aku sudah dewasa, adalah hal yang wajar kalau aku berselingkuh hanya demi hal tidak penting semacam ini" *** Jakarta, 2020 Hari itu aku mengacaukan segalanya. Iyaa, hatiku memang sedang kacau. Setelah seharian mengurung diri dikamar, aku mulai berjalan keluar rumah. Tidak jauh, aku hanya pergi ke taman komplek karena hanya itu tempat yang bisa kujangkau dengan berjalan kaki. Ahh, andai saat itu sudah ada ojek online macam saat ini, pasti aku bisa pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli semua hanya aku ingin dengan harapan Papa bisa bangkrut karena tindakanku. Sekalipun aku tahu jika itu mustahil. Mana mungkin Papaku bisa bangkrut hanya karena masalah sepele seperti itu. Sudahlah, masa itu sudah berlalu. Masa dimana aku merasa jika mati adalah jalan terbaik yang bisa kupilih.  Iyaa, aku masih muda. Pemikiranku belum seluas sekarang. Aku juga belum sekuat hari ini. Hari itu aku mulai menyusun banyak rencana busuk di kepalaku. Aku mulai memikirkan hal gila untuk membalas semua rasa sakit yang aku rasakan. Menurut kalian, apakah adil jika aku diperlakukan seperti ini?? Baiklah. Biarlah masa itu menjadi kenangan pahit yang kusimpan. Setidaknya aku mendapatkan kekuatan terbesar ketika melewati badai besar itu. Tuhan menitipkan salah satu karya terindahnya padaku. Iyaa, hanya titipan yang bersifat sementara. Tapi.. Hingga hari ini, aku masih merasakan kekuatan itu. Aku masih merasakan cinta yang terus mengalir dalam diriku. Padanya.. Kukirimkan banyak cinta. Dia yang selalu hadir ketika aku hampir terjatuh. Dia yang selalu muncul dengan ajaib tanpa pernah kurencanakan sebelumnya. Dia yang juga adalah wujud dari sebuah keajaiban. Tanganku meraih gelas frapuccino, kapan aku bisa berhenti minum?? Ngomong-ngomong, cerita ini akan sepanjang apa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD