Awal Bertemu

2296 Words
Jakarta, 2001 *** Aku berjalan dengan langkah tergesa. Ohh Tuhan, bagaimana mungkin aku bangun kesingan di hari pertamaku ke sekolah?? Aku yakin setelah ini aku pasti diberi hukuman oleh kakak OSIS. Huh, seharusnya aku mendengarkan perkataan Mama saja, lebih baik tidak sekolah hari ini. "hei kamu! Kamu telat yaa?" Aku segera menghentikan langkah begitu mendengar suara mengelegar dari arah belakang. Ohh, baiklah. Jangan terlalu lebay. Orang itu hanya membentak dengan suara kelas. Mataku menangkap seorang laki-laki dengan seragam yang sama sepertiku, bedanya dia mengenakan jas berwarna merah dengan badge OSIS yang terlihat dengan jelas. Mati! Aku pasti dihukum. "maaf kak, saya tadi kena macet.." Jawabku berbohong. "banyak alasan. Sana cepat kamu lari ke lapangan. Temen kamu udah pada disana" Tanpa berpikir panjang aku segera melangkahkan kakiku. Berlari dengan cepat ke arah lapangan. Masih baik senior tadi tidak menghukumku. Ehh, tunggu. Ngomong-ngomong, dimana lapangannya?? Ohh tidak. Aku membalik tubuhku secepat yang kubisa. Aku segera berlari ke tempat tadi. "kak!" Panggilku. Sipp. Orang itu masih di posisi yang sama. Aku harus segera menanyakan letak lapangan. "lapangannya ada di mana ya, kak??" Aku bertanya sambil berusaha mengatur napas. Lama aku menunggu, tapi orang ini tidak segera menjawab. Tuhan.. Aku butuh jawaban sekarang, jangan sampai aku terlambat. Tanpa dapat dihindari, tiba-tiba senior tadi meraih tanganku. Membawa aku berjalan melewati lorong. Membawa aku ke lapangan tempat orang-orang berkumpul. Menjadikan aku pusat perhatian karena datang terlambat sambil bergandengan tangan dengannya. Ohh tidak. Aku benar-benar sial.. Hukuman apa yang akan aku dapatkan setelah ini?? Lagipula, untuk apa juga senior ini menggandeng tanganku?? "dia adeknya temen gue, telat karena tadi sempet gue hukum di depan gerbang.." Senior di sampingku berbicara ditengah ramainya siswa yang sedang berbaris. Mati aku.. Apa yang akan terjadi setelah ini?? Dan apa dia bilang?? Adik temannya?? Huh, fyi aku tidak punya kakak. Orang ini pasti berbohong. "oke. Suruh langsung baris aja kalo begitu" Jawab senior perempuan yang paling menonjol diantara yang lain. Iyaa, bagaimana tidak, dia mengenakan perona bibir ketika di sekolah. Dan jangan lupakan bedak tebalnya. Ihh, ini orang mau sekolah apa mau kondangan, sih?? "langsung baris. Jangan banyak tanya.." Senior di sampingku berbisik sambil mendorongku untuk berjalan ke arah barisan. Ehh, lagipula siapa yang mau bertanya padanya?? Aku segera melangkahkan kakiku menuju barisan. Sebelumnya aku sempat menengok, aku menemukan dia juga sedang menatapku dengan mata coklatnya yang teduh. Indah. Matanya amat sangat indah. Warnanya coklat terang. Dibawah matahari pagi mata itu terlihat semakin indah. Sedetik kemudian aku menangkap dia tersenyum ke arahku. Ini pertemuan pertama kami. Aku bahkan belum tahu namanya, tapi rasanya aku seperti sudah mengenalnya. Rasanya seperti aku sudah tahu semua hal mengenai dirinya. Aneh. Tapi begitulah yang aku rasakan saat ini. Mungkin dikehidupan sebelumnya kita pernah saling mengenal. Ahh, tapi aku tidak pernah mempercayai cerita semacam itu. *** Hari ini berakhir dengan rasa lelah yang luar biasa. Masa orientasi sekolah yang wajib diikuti oleh setiap murid baru memang terkadang kurang masuk akal. Aku tadi sempat mendapat hukuman jalan jongkok sambil menirukan suara anjing. Jika dipikir-pikir, hukuman seperti itu sama sekali tidak mendidik. Yaa, tapi beginilah adanya. Senioritas masih sering terjadi di beberapa sekolah. Aku menghentakkan kakiku. Sudah hampir 30 menit aku menunggu jemputan di halte ini, tapi Mama tidak juga datang. Tempat ini sudah mulai sepi. Anak-anak lain sudah naik ke angkutan umum yang beberapa kali lewat. Huh, andai saja aku bisa naik angkutan umum seperti mereka. Masalahnya.. Aku tidak tahu harus naik apa jika ingin pulang ke rumah. Sejak kecil aku yaa begini.. Selalu diantar jemput oleh Mama. "hei!" Aku mengangkat pandanganku. Melihat seorang pemuda dengan motor besar berwarna hitam. Aku sepertinya tidak mengenal orang ini.. Dan masalahnya tidak ada orang lagi selain aku yang masih tinggal disini. "ngapain masih disini??" Aku menatap ke sekeliling. Tidak ada orang. Jadi.. Dia bertanya padaku. "iyaa, aku tanya sama kamu.." Orang asing ini berbicara seolah dia mengenalku. Tapi.. Seharian ini aku belum mendapat teman baru. "ini aku.." Katanya lagi sambil membuka helm full face yang dia kenakan. Ohhh.. Aku tahu dia. Itu seniorku yang tadi pagi. Sekedar informasi, ketika mengikuti kegiatan orientasi hari ini, aku diberitahu jika dia menjabat sebagai ketua OSIS. Wahh.. Sungguh luar biasa jika saat ini diam mau berbicara padaku. "hei! Dek?? Kamu bisa mendengar, kan??" Aku mengerjapkan mataku. Baiklah, jika tidak ingin mendapat kesialan besok, sebaiknya aku bersikap sopan dan ramah pada orang ini. Dia bukan orang biasa di sekolah. "ehh, iyaa kak. Bisa kok." "nunggu apa kamu?? Ini sudah mau sore, harusnya semua peserta MOS udah pulang. Kamu cepetan pulang.." "saya masih nunggu jemputan, kak.." Dunia seakan berhenti untuk sejenak. Kali ini, waktu juga terasa membeku. Mata coklatnya menatapku. Mata coklat itu lagi-lagi mengalihkan fokusku. Rasanya seperti berkeliling dunia dalam satu waktu. Tidak bisa dijelaskan begitu saja. "dek! Kamu hobi melamun yaa??" Aku segera menggeleng. Ohh Tuhan, apa dia tadi menangkapku sedang memperhatikan matanya?? Jika iya, mati aku. Ini hal yang memalukan. "ehh, maaf kak.." "rumahmu dimana?? Biar kuantar pulang. Aku penanggung jawab acara MOS, tidak mungkin aku membiarkan kamu tetap disini sendirian.." Aku segera menggelengkan kepalaku. "ehh, saya sudah dijemput kok kak. Cuma tinggal nunggu aja." "yakin?? Ini udah sore, takutnya kamu nggak dijemput" Aku sudah akan menganguk sebenarnya, tapi tiba-tiba aku mendapat SMS dan Mama yang isinya menjelaskan jika dia tidak bisa menjemputku. Hell! Kenapa tidak bilang dari tadi? "eh, saya boleh nebeng kak??" *** Kakiku melangkah pelan memasuki halaman rumah. Setelah aku mengucapkan terimaksih, seniorku tadi langsung pergi melanjutkan perjalanan. Aku tidak menawari dia untuk mampir. Bukan aku tidak tahu terimasih atau apa.. Tapi, kamu belum kenal satu aama lain, rasanya akan aneh jika dia main ke rumahku. Dan juga.. Aku tidak akan sanggup menjawab pertanyaan yang akan diajukan oleh Eyang. Eyang memang sangat ingin tahu dengan kehidupan percintaanku. Padahal.. Sejak dulu aku tidak pernah punya pacar. Baiklah. Ini hari yang lumayan melelahkan. Aku ingin segera masuk kamar lalu tidur hingga waktu makan malam. Huh.. Halaman ini terlalu melelahkan untuk disusuri dengan jalan kaki. Kakiku sudah mulai lelah begitu aku mulai memasuki pintu rumah. Tapi.. Bukan seperti yang aku harapkan, kali ini, untuk yang pertamana kali aku disambut dengan suara nyaring Mama. Aku masih bingung dengan semua yang terjadi hingga tiba-tiba aku merasa ada benda asing yang melayang tepat disampingku. Itu vas bunga, vas kesayangan Mama. Aku melihat vas itu kini terjatuh dan hancur berkeping-keping setelah menghantam dinding. Tidak berhenti disitu, kini suara pecahan lainnya saling bersahutan lengkap dengan teriakan Mama. Aku berjalan mendekat untuk melihat keadaan. Ada apa sebenarnya?? "kamu b*****t!!" Aku melihat dengan mataku sendiri, Mama sedang berusaha melempar vas kecil yang ada di sudut meja ke arah Papa. Aku berlari secepat yang aku bisa. Sekalipun aku belum tahu masalah yang sebenarnya, aku tetap tidak akan membiarkan Mama melakukan hal itu kepada Papa. "Mama!!" Panggilku sambil memeluk Mama. Kutenangkan Mama dalam pelukku. Aku mencoba untuk mengambil alih vas bunga yang masih digenggam erat oleh Mama. Mataku menatap sekeliling. Ada Eyang yang duduk sambil menundukkan kepalanya. terlihat jelas jika dia sedang menangis. Di sudut kursi aku menemukan Papa yang sedang menatap kami dengan mata merahnya. Ada juga perempuan berbaju merah yang sedang menggendong bayinya, dia duduk di samping Papa. Ada apa ini?? "Meera.." Aku mencoba untuk fokus. Semua pikiran buruk yang timbul di pikiranku, aku coba untuk menghilangkannya. Semua akan baik Almeera.. Tenang dulu.. "ada apa??" Tanyaku. Aku mendengar suara tangis Eyang. Dia tidak lagi dapat menahan tangisnya. Sama seperti Mama, Eyang mulai menangis dengan suara keras. Aku mencoba menghentikan laju air mataku, belum ada yang memberi penjelasan, tapi aku sudah menangis duluan.. "ada apa ini??" Tanyaku lagi. Papaku masih bungkam. Satu-satunya laki-laki yang ada di ruangan ini, dia masih tetap bungkam. "Pa, ada apa??" Kali ini Papaku memaksakan diri untuk menatap mataku. Aku melihat ada rasa kecewa yang dia pendam sendirian. Mata itu, mata yang sama seperti milikku. Hanya saja.. Sekarang aku mulai melihat ada rasa lelah yang disembunyikan olehnya. "Papa??" "Papa minta maaf, Meera.. Papa minta maaf.." Aku mencoba mengatur napasku. Semuanya akan semakin buruk ketika aku masih mendengar suara tangis Mama. Kenapa?? Kenapa Mama menangis?? "ada apa?!" "Meera, ayo duduk dulu, nak.." Aku menatap Eyang. Bagaimana aku bisa duduk jika situasi ini semakin membingungkan bagiku?? Siapa orang asing yang datang sambil menggendong anaknya ini?? "aku tanya ada apa?!" Teriakku. "Papamu punya anak lain, Meera.." Kata Mama dengan suara lirih. Hari itu aku rasa duniaku runtuh. Aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkam sejak kecil. Aku tidak biasa menerima luka. Tapi kali ini.. Hatiku terluka dengan amat luar biasa.. Selama ini apa yang kukira baik ternyata tidak sebaik itu. Kukira keluargaku baik-baik saja. Iyaaa.. Kukira seperti itu. Papa menghianati kepercayaan kami. Aku menganggap dia sebagai pahlawan dengan kekuatan terbaik, tapi kekuatan yang dia punya justru berbalik dan melukaiku. Hari itu, untuk yang pertama kalinya aku terjatuh. Untuk yang pertama kalinya aku terombang-ambing dan kehilangan arah. *** Aku mengurung diri di dalam kamar hingga malam. Sejak tadi sudah puluhan kali ada pelayan yang mengetuk pintu kamarku, menyuruh aku untuk makan. Huh, rasanya hanya mereka yang peduli padaku, sekalipun aku tahu mereka melakukan itu semua agar diberi gaji. Aku berhenti menangis. Sepertinya sama sekali tidak ada gunanya jika aku tetap menangis. Keadaan tidak berubah. Papa tetap berhianat dan Mama tetap tersakiti. Apa tidak ada laki-laki yang benar-benar tulus mencintai tanpa memiliki sedikitpun niat untuk berkhianat?? Aku menatap jam dinding, sudah hampir jam 10 malam. Aku memutuskan untuk keluar dari kamar. Langkahku tidak berhenti sekalipun aku melihat ada Papa sedang duduk di teras bersama Eyang. Sungguh, aku ingin mengabaikan mereka untuk sesaat. "Meera, kamu mau kemana malam-malam begini??" Tanya Eyang. Aku menengok sesaat. Eyang tidak salah. Papa yang salah. Harusnya aku tidak berbuat tidak sopan padanya, kan?? "Meera mau keluar.." "ini sudah malam, Meera. Kembali ke kamarmu!" Aku menatap tajam ke arah Papa. Kurasa dia tidak berhak untuk melarangku saat ini. Dia kehilangan hak itu ketika memutuskan untuk berselingkuh. Papa sama sekali tidak bisa mencegah diriku. "bukan urusanmu!" "Meera.." Aku menatap Eyang. Kenapa juga ada Eyang disini?? Jika saja hanya ada Papa, mungkin aku bisa dengan mudah berjalan melewati dirinya tanpa perlu repot terlibat percakapan memuakkan ini. "aku mau keluar, Eyang. Jika diberi izin aku akan keluar, tapi kalaupun tidak, aku juga tetap akan keluar.." "Meera mau kemana malam-malam begini, nak??" Tanya Eyang. "aku lapar. Aku cuma ingin ke ujung jalan, disana ada penjual makanan.." "makanan apapun yang kamu inginkan bisa dimasak oleh pelayan dirumah ini, Meera. Jangan banyak alasan, kamu tidak boleh keluar." "baiklah. Sepertinya aku memang tidak perlu makan sampai besok pagi. Terserah.. Selamat malam, Eyang" Aku melangkahkan kakiku untuk kembali ke dalam rumah. "Meera tunggu! Kamu mau apa, Nak??" Eyang menahan lenganku. Aku mau apa?? Aku mau semua ini tidak terjadi! Aku mau keluargaku baik-baik saja seperti dulu! Jika itu yang aku mau, apa mereka bisa memberikan?? "Meera cuma pengen keluar. Tapi nggak boleh, kan?? Yaa sudah, Eyang. Aku mau tidur saja" Aku mencoba melepaskan cekalan tangan Eyang. Menahan lapar hingga pagi bukanlah hal yang sulit. "pergilah. Kamu mau keluar?? Boleh. Kamu boleh keluar. Apa Meera perlu sopir??" Aku menggeleng. Setelah itu aku segera berlari ke arah gerbang. Rasanya menyenangkan. Aku merasa ada tetesan air yang turun dari langit. Semakin lama intensitasnya semakin sering. Hujan?? Aku berlari semakin cepat.. Tapi, baru kusadari jika hujan bisa terasa sebaik ini. Aku berlari sambil tertawa.. Beberapa saat kemudian aku menangis. Menangis ketika hujan?? Kurasa ini bukan ide yang buruk. Sejak kecil aku mendapat semuanya. Tidak pernah ada yang melukaiku. Tapi hari ini?? Keluargaku sendiri menikamku. Papa yang memberikan luka besar dalam hatiku. Aku menghentikan lariku begitu sampai di tempat tujuan. Ini hanya rumah makan kecil yang berada di depan kompleks, tapi entah kenapa perutku terasa berbunyi ketika menginjakkan kaki di teras warung ini. Kuharap makanannya tidak terlalu buruk. Aku disambut oleh wanita berbaju biru ketika aku mengintip di balik jendela. Kuperkirakan dia seusia Mama. "hai?? Kamu kehujanan?? Sini, masuklah.." Katanya sambil merangkulku. Apa dia tidak takut bajunya menjadi basah?? "kamu mau teh panas?? Sepertinya diluar cukup dingin.." Dia tersenyum dengan ramah. Aku ikut tersenyum. Apa pemilik rumah makan kecil seperti ini memang selalu bersikap ramah?? Jika iya, maka aku telah rugi besar karena tidak pernah mengunjungi rumah makan secaman ini. Aku memang selalu mendapat perlakuan ramah ketika makan di restauran mahal, tapi dari yang kulihat, mereka-para pelayan disana- bersikap ramah karena tuntutan pekerjaan. Tidak ada ketulusan di hati mereka. Amat sangat berbeda dengan perempuan ini. "emm, Bu, apa disini menjual makanan?? Aku kelaparan sehingga berjalan keluar rumah malam-malam begini.." Aku bertanya sambil tersenyum. "ohh, iyaa maaf. Kamu pasti juga lapar. Sayang sekali, semua makanan disini sudah habis. Ini sudah waktunya tutup, tapi jika kamu mau, aku bisa merebus mie instan untuk kamu. Setidaknya kamu tidak pulang dengan sia-sia.." Mie instan?? Mama selalu melarang aku memakan makanan itu. Aku penasaran dengan rasanya. "iyaa. Aku mau" Setelah itu dia meninggalkan aku sendirian. Warung ini cukup besar. Sekalipun dia tidak memakai AC, tempat ini terasa sejuk. Mungkin karena diluar sedang hujan deras. Mataku berkeliling untuk menilai tampilan warung ini. Warna biru muda mendominasi setiap tembok warung. Ada beberapa hiasan sederhana yang ditempel disana. "kukira bukan. Tapi ternyata memang kamu!!" Aku dikagetkan oleh suara laki-laki. Aku mendapati dia sedang berdiri di depan mejaku. Orang ini lagi?? Aku sudah 3 kali bertemu dengan dia, tapi hingga sekarang aku belum tahu namanya. Baiklah. Semua kebetulan ini terasa mengerikan sekarang. "kamu?? Ehh, Kakak, sedang apa disini??" "aku?? Mungkin sama seperti kamu, jadi.. Apa tujuanmu kesini??" Aku mengendikkan bahu. Tujuannya sama sepertiku?? Aku sedang berusaha lari dari keluargaku sendiri, apa dia juga begitu?? *** Jakarta, 2020 Hari itu aku belum tahu apa yang dia maksud. Tapi bertahun-tahun setelah saat itu, aku selalu mengucap syukur kepada Tuhan karena mempertemukan aku dengan dia. Dia yang menjadi alasanku untuk tetap membuka mata ketika pagi hari sekalipun keadaan memaksaku untuk tetap tidur. Dia satu-satunya alasan yang membuatku tetap berjalan menyusuri kehidupan yang kadang terasa tak masuk akal. Padanya.. Kukirimkan banyak cinta..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD