Introgasi

1515 Words
Jakarta, 2002 *** “Apa yang kamu lakukan hingga tidak pulang semalaman, Meera??” Tanya Papa sambil menatap tajam ke arahku.   Sebelumnya keadaan tetap tenang hingga pelayan memanggilku untuk turun ke kebawah. Dan.. beginilah keadaannya sekarang, Papa sedang mengintrogasiku bersama Eyang dan Mama. Satu hal yang paling kubenci, w************n itu terus saja menempel di dekat Papa. Apa dia tidak malu?? Seharusnya dia tidak perlu ikut campur dengan urusan ini. Oh, aku pula, bukankah dia yang melihatku tadi siang? Pasti dia juga yang mengadu pada Papa. Benar-benar kelakukan manusia rendahan, ah.. itu cocok dengan karakternya.   “Almeera?!”   Mataku teralih untuk kembali menatap Papa yang baru membentak diriku.   Ah, apa dia tidak memiliki pekerjaan lain sehingga repot-repot mengurus diriku yang tidak pulang semalaman??   “Jangan terlalu keras pada, Meera. Bicara baik-baik” Kata Eyang sambil menarik Papa untuk kembali duduk.   “Kamu dari mana saja, Meera?? Kami mencemaskan kamu sejak kemarin” Kata Eyang dengan lembut.   Inilah yang aku suka dari seorang nenek. Mereka akan tetap berkata dengan tenang kepada cucunya. Entahlah, sekalipun Eyang telah melakukan sesuatu yang menyakiti hatiku, terkadang aku masih lebih menghargai setiap perkataannya.   “Aku hanya akan menjawab ketika wanita itu keluar dari sini” Kataku sambil menunjuk w************n itu.   Papa segera meminta wanita itu untuk keluar. Ah, pasangan yang amat menjijikkan.   “Kamu kemana saja, Meera” Tanya Eyang sekali lagi.   “Aku hanya pergi untuk menikmati tahun baru, apa ada yang salah??”   “kenapa tidak bilang pada Mama??”   Aku menatap Mama dengan penuh penyesalan. Kamarin aku melupakan hal itu.   “Maaf, aku kemarin lupa” Kataku sambil meringis.   “Kamu belum menjawab pertanyaan Papa. Kamu kemana kemarin??” Tanya Papa.   “Aku sudah menjawab. Aku  pergi untuk menikmati tahun baru” kataku dengan santai.   Aku melihat Mama sedang melotot. Apa maksudnya??   Aku tentu tidak akan mengatakan yang sebenarnya jika aku menginap bersama Jovan. Ini akan menimbulkan masalah karena.. sudah kubilang, kan ini keluarga yang luar bisa kuno.   “Kemana?? Papa tanya kemana bukan apa yang kamu lkaukan..”   Aku menghela napas. Aku membuat alasan apa lagi untuk berkelit. Aku jarang berbohong karena aku  memang tidak pernah keluar rumah. Keseharianku hanyalah duduk di rumah. Yaa, itu sebelum aku mengenal Jovan.   Setelah aku mengenalnya, aku sering membohongi sopir dengan mengatakan aku  sedang ada kerja kelompok. Mereka terlalu bodoh dan takut untuk bertanya lebih lanjut.   “di rumah temanku. Aku tidak pernah bersekolah seperti anak normal, ini kali pertama aku memiliki teman.. jadi bukankah hal yang wajar jika aku pergi bersama mereka??” Balasku dengan santai.   “Apa kamu tidak bisa pulang ketika malam hari??” Tanya Papa masih dengan pandangan menyelidik.   “Bagaimana caraku pulang ketika jalanan ramai seperti tadi malam?? Apa Papa benar-benar mencariku?? Jika iya, Papa pasti tahu betapa macetnya jalanan”   Karangan bebas yang tak terencana. Berbohong pada orang tua tentu bukan hal yang baik, tapi Meera yang naif ini tentu akan tetap melakukannya untuk menyelamatkan diri. “Kamu menginap dengan siapa?? Di rumah siapa??” Tanya Papa. “Kami beramai-ramai, dengan banyak teman. Apa kalian masih akan tetap mengintrogasi diriku?? Aku lelah karena kemarin begadang semalaman” Ucapku sambil berpura-pura menguap. Ah, kurasa aku bisa menjadi pemain film sebentar lagi. “Apa kamu tidak bisa menghubungi orang rumah?? Kami khawatir, Meera” Kata Eyang. Wah, ini adalah saat yang tepat. Kurasa aku bisa memanfaatkan keadaan ini karena aku memang sedang membutuhkan sesuatu. “Bagaimana caraku memberi kabar?? Aku tidak punya telepon genggam” Kataku sambil menatap kebawah. “Kenapa kamu belum membelikan dia telepon genggam??” Tanya Eyang kepada Papa. “Dia baru akan diberi telepon ketika berusia 17 tahun. Tahun depan aku akan memberikan telepon” Kata Papa dengan santai. Huh, inilah yang kadang membuat aku kesal. Papa selalu melarangku memiliki  telepon genggam. Sebenarnya aku bisa saja sih membeli telepon genggam memnggunakan uang jajajnku yang sellau tersisa setiap bulan. Uangku itu lebih dari cukup jika hanya untuk membeli ponsel.. tapi, beberapa waktu yang lalu aku sudah pernah melakukannya, aku beli ponsel diam-diam agar aku bisa sering berbincang dengan Jovan lewat telepon.. sayangnya Papa mengetahui hal itu dari beberapa pelayan yang sering membersihkan kamarku. Alhasih Papa menyita ponselku lalu menghancurkannya begitu saja. Dia sama sekali tidak memikirkan jika ponsel itu adalah yang terbaru dan termahal.. sunggu mengesalkan disaat dia berpura-pura peduli semacam itu. “Dia sudah memerlukan benda itu. Belikan saja dia ponsel. Aku tidak mau kejadian ini terulang lagi..” Kata Eyang. Mama hanya diam saja sambil terus menatapku. Jujur saja kejadian ketika Papa menghancurkan ponselku kala itu hanya diketahui oleh kami bertiga. Eyang tidak mengetahui apa-apa sehingga saat ini dia masih mendukungku memiliki ponsel. “Dia belum cukup umur. Lagipula Meera bebasa menggunakan seluruh telepon yang ada di rumah ini..” Kata Papa. Oh, baiklah. Mungkin aku hanya harus membeli ponsel baru tanpa perlu repot-repot meminta pada orang ini. “Alina saja diberika ponsel mahal, kenapa putriku tidak??” Tanya Mama. Aku terisap. Tidak percaya ketika Mama mengatakan hal itu. Selama ini Mama selalu diam dan terkesan menerima segalanya. Tidak seperti kala pertama mengetaui Papa berselingkuh. Beberapa kali aku malah merasa Mama seperti kehilangaan semangat hidup karena tidak pernah membantah sama sekali. Mama seperti mengikuti alur begitu saja. “Bukan seperti itu maksudnya.. Meera masih 15 tahun...” Kata Papa sambil menatap Mama. Semenjak kedatangan w************n itu aku sudah amat sangat jarang melihat interaksi semacam ini diantara Mama dan Papa. Yaa, mungkin ini pertama kalinya.. “Bulan ini putriku berusia 16 tahun” Iya.. aku memang berulang tahun bulan ini. Tepatnya pertengahan bulan nanti. “Maka dari itu tahun depan dia baru akan mendapat ponsel” Kata Papa sambil bangkit berdiri. Entah kenapa emosiku memuncak ketika melihat Papa meninggalkan Mama begitu saja. Tidak bisakah dia bersikap sedikit lebih baik?? “Aku bisa membeli ponsel itu tanpa meminta izin kepada Papa. Lagi pula aku juga bingung kenapa aku malah menurutti perintah Papa setiap saat. Aku sudah besar, kau mau pilih jalanku sendiri” Ucapku tak mau kalah. Aku juga bangkit berdiri lalu berjalan mendahului Papa. Tapi.. sebelum aku sampai di ujung pintu aku mendengar suara Papa kembali. Suara yang sama sekali tidak kukenali karena selama ini aku tidak pernah mendengarnya dari bibir Papa. “Jangan lakukan itu, Meera. Atau kamu akan sangat menyesal setelahnya” *** Hari ini berahir dengan omelan Mama yang terus menanyakan keberadaanku kemarin malam. Yaa, beginilah seorang ibu. Disaat semua orang percaya dengan kebohongan yang kubuat, Mama justru mengintrogasiku di kamar ini. “Katakan pada Mama, Meera..” Aku menghela napas. Jika kau menceritakan yang sebenarnya, Mama bisa semakin marah padaku. Dan kemungkinan aku berbohong pada sopir akan semakin tipis.. kadang Mama selalu bisa mengaturku untuk mengikuti jalannya dengan cara yang tidak terduga. “Aku hanya bermain bersama teman..” Jawabku sesantai mungkin. “Kamu jangan macam-macam, Meera. Semuanya sudah Mama persiapkan sebaik mungkin. Jangan buat Papamu marah dalam waktu dekat.. kamu harus selalu dipuji oleh semua orang” Selalu saja begini. Mama selalu menjadika aku alat untuk mencapai apa yang dia mau. Sekalipun dulu sempat timbul keinginana untuk menghancurkan keluarga ini, rasanya sekarang aku mulai melupakan rencana itu. Yaa.. meskipun rencanaku untuk menghancurkan w************n itu tetap membara di diriku. “Aku selalu unggul Mama. Anak itu masih bayi..” “Kamu jangan bersantai-santai, Meera. Kita tidak tahu apa yang kita hadapi esok hari. Persiapkan semuanya, jangan salah langkah. Strategi kita sudah matang.. keluarga ini akan menyesal karena pernah menyakitiku” *** Jakarta, 2020 Aku tahu saat itu Mama teramat marah dengan keadaan yang ada. Dia masih belum menerima fakta jika suaminya berselingkuh dan malah menikahi selingkuhannya. Lalu tidak lama kemudian dia mengalami kecelakaan yang seperti merenggut separuh nyawanya. Aku tahu itu, Mama hidup hanya untuk dendamnya. Andai saat itu aku bisa mengubah pandangan Mama mengenai dunia. Pasti hari ini kami sedang tertawa bersama sekalipun hanya memiliki satu kaki. Pandanganku memang sedikit diubahkan karena aku mengenal cinta. Yaa, sampai sekarang hanya cinta di masa lalu yang selalu menguatkanku ketika aku merasa hampir tersungkur. Seringkali aku merasa seperti ada tangan yang terus menggenggamku dan mengatakan jika semua akan tetap baik-baik saja. Yang membawa aku untuk terus menjajaki bumi meski hanya dengan satu kaki. 2 memang kuat, tapi terkadang 1 juga tidak kalah hebat. Tanganku terasa kaku karena telah menulis banyak kata. Tapi hatiku berkata jika kisah ini masih panjang. Sesuai dengan ingatanku, kita ini masih panjang. Banyak kenangan manis yang masih harus ditunjukkan pada dunia. Sekalipun dengan hati yang berdarah.. kisah ini mana peduli?? Aku masih tetap harus melanjutkan segalanya bukan?? Konsekuensi dari awal yang selalu kutakutkan, jika mengiangat betapa indahnya masa lalu saja membuat tanganku kaku, lalu bagaimana jika kisah menyakitkan itu sudah dimulai?? Kehilangan seseorang yang kukira akan terus menemaniku hingga aku menutup mata, itu adalah patah hati terhebatku. Aku merindukanmu. Sangan rindu. Kukirimkan banyak cinta menuju ke surga.. Sesuai dengan janjiku, kubuat kita menjadi abadi. Aku dan dirimu. Akan kuceritakan setiap cinta yang kita tanam.. hingga akhirnya, bukan hanya abadi tapi kisah kita akan menjadi sejarah.. Seperti Romeo dan Juliet. Atau Rose dan Jack. Atau yang paling nyata, seperti Habibie dan Ainun. Seperti itulah kita. Aku janji cerita ini tidak akan mengecewakanmu. Sungguh, aku rindu..  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD