Tahun Baru

2339 Words
Jakarta, 2001  *** Tahun 2001 banyak memberi masalah pada hidupku. Aku menghadapi banyak hal di tahun ini, yaa.. sekalipun tidak semuanya buruk, tahun ini tetap akan selalu kuingat karena banyaknya masalah yang menimpaku.   Oh, tidak, aku tidak seharusnya menyesali tahun ini. Setidaknya ada satu hal yang harus aku syukuri, pertemuanku dengan Jovan contohnya.   Kami bertemu dan dia mengubah segalanya. Membuat aku menjadi pribadi yang lebih baik seiring dengan pertambahan usiaku.   Tapi bagaimanapu juga tahun ini tetap akan berakhir, kan??   Kuharap besok menjadi tahun yang menyenangkan bagiku.   Yaa, ini adalah hari terakhir di tahun ini. Besok tahunnya akan berubah.   Aku menghela napas dengan kesal, tidak seperti keluarga normal pada umumnya, tahun ini keluargaku hanya berdiam diri saja ketika pergantian tahun hanya tinggal menghitung jam. Padahal tahun-tahun yang lalu kami selalu melakulan tur keliling dunia untuk menyambut pergantian baru. Memang menyebalkan! Keluarga ini semkain konyal semenjak kehadiran wanita itu!   Tapi sebenarnya ada satu hal yang wajib ku syukuri. Karena aku tidak pergi keluar negeri, Jovan akhirnya juga memutuskan untuk tidak ikut keluarganya yang akan menghabiskan liburan musim dingin di negeri sakura. Kali ini untuk yang pertama kalinya kami akan melewati pergantian tahun di Indonesia dan rencananya kami akan jalan berdua untuk menghabiskan sisa tahun ini.   Sekarang aku sedang memilih pakaian yang cocok kugunakan untuk malam ini.   Mataku melirik jam dinding yang ada di atas televisi besar, 2 jam lagi Jovan akan menjemputku. Tepat pukul 9 malam kami akan berjalan mengelilingi Jakarta dan menghabiskan waktu berdua hingga pagi.   Aku harus segera merias diriku, sekalipun bukan riasan yang tebal, aku tetap ingin tampil cantik dan natural di depan Jovan.   Tepat pukul 9 kurang lima menit aku berjalan keluar dari kamar dan menuruni tangga.   Aku melihat ada Papa, Eyang, dan w************n itu sedang berbincang di ruang tamu. Aku berjalan melewati mereka begitu saja. Bisa-bisanya mereka berkumpul disini tapi membiarkan Mama kesepian di dalam kamar.   “Kamu mau kemana, Meera??” Tanya Papa.   Aku mengehetikan langkah dan berbalik untuk menatap mereka.   “Aku mau jalan bersama teman. Tahun baru dan tidak ada liburan keluar negeri, memangnya apa lagi yang bisa kulakukan selain pergi dari rumah??” Tanyaku balik.   Papa menghela napas.   “Mamamu masih dalam tahap penyembuhan, kita tidak bisa membuat dia terlalu lelah dengan naik pesawat selama berjam-jam, Meera” Kata Papa.   Selalu saja begitu. Kecelakaan Mama yang berlangsung berbulan-bulan kemarin selalu menjadi alasan. Padahal hari itu sudah jelas ketika dokter memberi Mama izin untuk naik pesawat keluar negeri.   “Alasan yang klise. Bilang saja Papa tidak bisa mengajak w************n itu, tapi juga tidak mau meninggalkannya di rumah. Laki-laki busuk seperti Papa, Meera sudah tahu tabiatnya” Jawabku sambil mengangkat dagu tinggi-tinggi.   Papa terlihat marah karena ucapanku.   “Kamu  tidak diberi izin untuk keluar!” kata Papa.   Aku mengernyitkan dahiku. Memangnya dia siapa sehingga bisa melarangku??   “Aku tidak perlu izin Papa untuk keluar dari sini!” Jawabku dengan lantang.   “Meera!!”   “Sudahlah, Mas, biarkan Meera pergi. Dia anak muda, pasti sangat tidak menyenangkan jika harus duduk di rumah ketika pergantian tahun” Kata w************n itu kepada Papa.   Huh, dia pikir dengan membelaku seperti ini dia akan mendapatkan hatiku??   “Pergilah Meera. Eyang mengizinkan kamu pergi. Tapi hati-hati yaa” Kata Eyang sambil bangkit  berdiri dan memberiku bebrapa lembar uang seratus ribuan, kuperkirakan ini lebih dari 15 lembar.   “Ini, uang saku tambahan dari Eyang. Kamu bisa menghabiskan uangmu bulan ini, besok pagi Eyang akan transfer dua kali lipat” Kata Eyang sambil menyerahkan uangnya.   Dua kali lipat??   Uang jajanku setiap bulan saja cukup untuk membeli sebuah motor keluaran terbaru, bagaimana jika ditransfer 2 kali lipat?? Bagaimana caraku menghabiskannya nanti??   “Sudah, cepat berangkat. Uangmu di ATM masih ada bukan??” Tanya Eyang.   Aku mengangguk. Uangku memang masih lebih dari cukup. Aku bahkan tidak mengharapkan akan diberi uang saku tambahan. Sekalipun jumlahnya sedikit, tetap saja uang ini lebih dari cukup.   “Ya, sudah. Kamu cepat keluar. Tadi ada pelayan yang mengabari jika temanmu sudah menunggu di depan”   Itu pasti Jovan. Sekalipun Jovan sudah pernah bertemu dengan keluargaku ketia dia rumah sakit, hingga saat ini aku masih melarang Jovan untuk masuk ke rumah dan bertemu dengan semua orang. Yaa, aku masih belum sanggup untuk bercerita.   Aku baru akan beranjak dari tempatku ketika suara Papa kembali terdengar.   “Jangan pulang terlalu malam, Meera” Kata Papa.   Aku menghela napas sebentar sebelum akhirnya menjawab.   “Tidak. Aku akan pulang pagi” Jawabku smabil terus berjalan menuju ke pintu depan.   *** Jovan membawaku untuk makan di salah satu restoran mahal. Ini tempat makan favoritku, bagaimana Jovan bisa tahu??   “Aku suka tempat ini, bagaimana kamu bisa tahu??” Tanyaku sambil menggenggam tangan Jovan.   “Aku tentu tahu. Coba tanyakan sesuatu yang paling rahasia, aku pasti bisa menjawab” Kata Jovan sambil tersenyum.   Hari ini Jovan luarbiasa tampan dalam balutan kemeja hitam yang sangat cocok dengan kulit putihnya. Dan entah kebetulan atau bagaimana, aku juga menggunakan terusan selutut berwarna hitam.   Pakaian ini membuat kami terlihat seperti pelayat.   “Kamu sudah pesan tempat, kan??” Tanyaku.   “Tentu saja sudah” Jawabnya sambil menuntunku ke salah satu meja yang berada di dekat jendela sehingga membuat kami bisa melihat langit malam yang ditaburi bintang. Aku benar-benar suka tempat ini.   Makan malah ditemani bintang dan cahaya lilin yang remang membuat suasana diantara kami menjadi lebih romantis. Bahkan cahaya mata Jovan ikut menerangi malam kami.   Sekalipun tahun ini banyak masalah, aku benar-benar bersyukur karena di penutupan tahun aku bisa menghabiskan waktu bersama Jovan. Setidaknya ada satu kenangan manis yang bisa kuingat di tahun ini.   Aku menyuapkan makanku dengan penuh semangat. Rasanya tidak sabar untuk menunggu bergantinya tahun bersama Jovan. Orang ini sering membuat aku terbangun di pagi hari untuk bertanya-tanya hal menakjubkan apa yang akan kulakukan hari ini. Yaa, sekalipun hubungan kami baru berjalan beberapa bulan dan aku belum mengenalnya secara keseluruhan, aku tetap selalu bersyukur karena hubungan ini.   “Setelah ini kita mau kemana??” Tanyaku ketika kami berdua sudah menghabiskan makanan kami.   “Aku juga sedikit bingung. Ini kali pertama aku menghabiskan malam tahun baru di Indonesia” Jawab Jovan.   Aku mengangguk mengerti. Karena diriku Jovan jadi tidak ikut acara liburan keluarganya. Baiklah.. kurasa menghabiskan malam tahun baru di dalam apartemnennya juga bukan hal yang buruk. Tidak selama itu bersama dengan Jovan.   “Kita pulang saja ke apartement. Aku ingin berbagi cerita denganmu”   ***   Disinilah kami sekarang, dia atas tempat tidur berukuran besar sambil menikmati secangkir teh hangat. Film yang sejak tadi kutonton sudah selesai. Sepertinya ini adalah saat yang tepat.   “Sudah berbulan-bulan kita seperti ini. Kamu tidak berniat untuk mengenal diriku lebih lagi??” Tanyaku pada Jovan.   Jovan yang berada di sampingku seketika mengalihkan pandangannya untuk fokus menatapku. Aku suka caranya memberiku perhatian seakan dia selalu tertarik pada setiap pembicaraan kami.   “Maksudmu??” Tanyanya sambil mengusap helaian rambut yang menutupi dahiku.   “kamu tidak ingin tahu siapa aku?? Atau keluargaku??”   “Aku tahu kamu bukan orang biasa, Meera. Kamu pasti anak dari salah satu konglomerat di Indonesia. Aku sudah mengetahui itu sejak pertama kita bertemu di acara amal malam itu” Jelas Jovan.   Rupanya dia masih mengingat malam itu. Malam dimana aku merasa bosan karena belum terbiasa mengikuti acara yang di dalamnya hanya diisi dengan pamer kekayaan. Yaa, beberapa bulan terus menerus ikut menghadiri acara semacam itu membuat aku jadi terbiasa.   “Tapi kamu tidak pernah bertanya padaku??” Tanyaku lagi.   “Bukankah aku sudah pernah bilang? Aku tidak perlu bertanya, kamu yang akan menceritakan semuanya sendiri” Jawab Jovan sambil tersenyum.   “Tapi kamu tidak pernah bertanya, kupikir kamu tidak ingin tahu” Kataku.   Jovan tertawa pelan membuat aku harus mendongakkan kepala untuk melihat matanya menyipit karena tawa.   Dari tempatku berbaring aku bisa melihat beberapa bulu halus mulai tumbuh di sekitar dagunya. What a perfect shape!   Tanganku tergerak untuk mengusapnya pelan sehingga Jovan mengerang karena geli. Aku jadi tertawa karenanya.   “Meera, aku tentu ingin tahu mengenai segala hal tentangmu, tapi apa pantas jika kau bertanya di tengah situasi saat itu??” Tanya Jovan sambil menggenggam kedua tanganku dan membawanya ke atas kepala.   “Iya, kamu benar, situasi belakangan ini benar-benar membuat kepalaku hampir pecah” Kataku.   “Tenanglah dan coba ceritakan apa yang ingin kamu ceritakan” Jovan berucap sambil membelai pipiku dengan tangannya.   “Kamu tahu namaku??” Tanyaku.   “Almeera Hernandez, kamu adalah pewaris utama Hernandez Grup karena kamu adalah satu-satunya putri yang dimiliki David Hernandez. Kamu mulai belajar bisnis dan menurut rumor yang kudengar, kamu akan diangkat menjadi secara resmi ketika kamu lulus kuliah” Kata Jovan dalam satu tarikan napas.   Aku tercengang karena perkataannya.   “Hanya itu??” Tanyaku.   “Sisanya baru akan kuketahui ketika kamu bercerita saat ini”   Aku menhela napas.   Kurasa ini memang saat yang tepat. Kami sudah lama bersama tapi sama-sama belum mengetahui keluarga masing-masing. Aku ingin kami saling mengenal lebih lagi.   “Orang yang kupanggi Papa, David Hernandez, beberapa bulan lalu dia baru saja menikahi selingkuhannya tanpa diketahui oleh publik. Mama kecelakaan. Dan aku mulai dipaksa mengikuti acara aneh yang membosankan” Ucapku dengan cepat.   Jovan tersenyum ketika mendengarkan pengakuanku yang cukup singkat. Sesaat kemudian dia membawaku untuk lebih dekan padanya. Memelukku dengan erat hingga aku mulai merasakan ketenangan yang lama tidak kudapat. Aku merasa aman dalam pelukan ini.   “Papa menghancurkan segalanya, Jovan” Kataku.   “Aku akan memperbaiki segalanya, Meera. Kamu tidak perlu khawatir”   Aku mengangguk. Sungguh, kata itu amat sangat aku tunggu dia ucapkan. Aku merasa tenang karena aku menemukan tempatku berpulang saat ini.   Usiaku 15 tahun, beberapa hari lagi aku baru akan berusia 16, tapi aku benar-benar mengerti perasaan apa yang kumiliki terhadap Jovan. Dia menjadi rumah yang selama ini kepertanyakan keberadaannya.   Aku memepercayai satu hal mulai hari ini, aku tidak perlu ketakutan karena merasa sendiri. Jovan akan bersamaku dan aku yakin dia tidak akan pernah membuat aku menangis.   Ini memang sebuah keyakinan yang konyol, tapi inilah keyakinan anak remaja yang baru mengenal kata cinta.   *** Mataku mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang tiba-tiba menggangguku. Aku menemukan jika televisi masih menyela.   Ini pukul berapa??   Kenapa kami bisa tertidur dan melewatkan pergantian tahun begitu saja??   Aku menatap Jovan yang masih memejamkan mata sambil memeluk pinggangku. Sejak kapan kami berdua tertidur?? Seingatku kemarin aku hanya memeluknya setelah menceritakan secara singkat bagaimana kacaunya keluargaku.   “Jovan?” Ucapku sambil menggoyang lengannya.   Jovan bukan orang yang sulit dibangunkan. Aku hanya perlu memanggilnya sambil menggunccang tubuhnya sedikit dan dia pasti segera bangun.   “Ya, Meera??” Jovan bergumam sambil menyingkirkan tangannya dari pinggangku. Bukankah sudah kubilang? Jovan mudah dibangunkan.   “Sekarang yang berapa??” Tanyaku.   Di kamar ini memang tidak terpasang jam dinding sehingga aku sering kebingungan ketika bangun.   “Jam sepuluh pagi” Ucap Jovan ketika dia baru saja meraih jam tangan yang dia letakkan di laci dekat kepalanya.   Tunggu dulu, ini jam 10 pagi?   Astaga, bagaimana bisa aku menginap di tempat ini semalaman?!   “Mati aku?!” Ucapku secara spontan.   Aku segera bangkit berdiri dan mengambil jaketku yang tersampir di ujung tempat tidur.   “Kamu mau kemana, Meera??” Tanya Jovan sambil meraih pergelangan tanganku.   Aku menatpnya dengan cemas.   “Aku menginap disini, Jovan. Tidakkah kamu mengerti maksudku??”   ***   Jovan berakhir mengantarku untuk pulang kerumah. Aku memilin jari karena merasa cemas dengan keadaan.   Ini pertama kalinya aku tidak pulang ke rumah dan menginap di rumah orang lain.   Sekalipun aku bisa melawan perkataan orang rumah dan memberikan berbagai macam alasan, entah kenapa aku tetap saja khawatir.   “Tenanglah, Meera.. aku yang akan menjelaskan pada keluargamu” Kata Jovan sambil menggenggam kedua tanganku. Matanya tetap fokus menatap jalan yang lumayan sepi pagi ini.   Aku melotot ketika mendengar ucapan santainya. Bukannya memperbaiki keadaan, kehadiran Jovan malah akan membuat semuanya lebih.. apa yaa?? Aku belum pernah mengenalkan teman pada orang rumah, apalagi seorang teman laki-laki. Jadi aku merasa sedikit khawatir.   “Apa kamu ingin memperkeruh suasana, Jovan??” Tanyaku sambil menatapnya serius.   “Apa? Tentu tidak” Jawabnya sambil sesekali melirikku.   “Keluarga kuno seperti keluargaku pasti akan menciptakan drama ketika tahu aku menginap dengan teman laki-laki”   Jovan tertawa ketika mendengar penjelasanku.   “Jangan bersikap seperti itu, Meera. Kamu harusnya bersyukur memiliki keluarga kuno macam  mereka. Daripada keluargaku yang memiliki tingkat individualisme yang tinggi” Jelasnya.   Omong-omong tentang keluarga, Jovan belum menceritakan perihal keluarganya padaku.   “Bagaimana jika sekarang ganti dirimu yang mencerikan mengenai keluarga” Ucapku dengan santai.   “Kapan-kapan aku yang akan ganti bercerita. Untuk sementara ini kamu menerka-nerka saja dulu” Katanya sambil mengacak rambutku sekilas.   ***   Jovan menurunkan aku tepat di depan gerbang karena aku melarangnya masuk ke dalam rumah. Jovan hanya tertawa ketika aku mengomel karena dia baru saja akakn menekan tombol di dekat gerbang agar penjaga dari dalam bisa membuka pintu gerbang.   Aku memasuki rumah dengan perasaan was-was. Tujuanku adalah kamar, karena jika nanti ada yang mencariku di kamar mereka bisa menemukanku.   Aku berjalan dengan pelan sambil memperhatikan sekitar. Langkahku sudah hampir mencapai tangga tapi tidak satu orangpun yang menegurku. Hanya da beberapa pelayan yang berlalu lalang untuk mengurusi rumah. Rumah ini masih terkesan ramai dengan pelayan sekalipun beberapa dari mereka sudah pulang karena cuti tahun  baru.   Aku tidak menemukan Eyang ataupun Papa dan Mama di lantai satu. Entah mereka masih tidur atau memang mereka tidak khawatir padaku sedikitpun.   Baiklah, mungkin aku terlalu percaya diri. Hah, tidak ada yang mengkhawatirkan dirimu, Meera. Seharusnya tadi aku mengiyakan saja ajakan Jovan untuk sarapan bersama. Aku menyesal karena tidak menghabiskan waktu lebih banyak dengannya.   Baru saja aku mencapai anak tangga kedua, suara seseorang yang selalu kukutuk keberadaannya menghentikan langkahku secara tiba-tiba.   “Kamu kemana saja?? Papamu mencari sejak malam. Dia bahkan belum pulang hingga saat ini karena terus mencarimu”   Mau tidak aku aku akhirnya membalik badanku.   Kutemukan w************n itu tengah memandangku dengan cemas. Eh, apa aku tidak salah mengartikan tatapannya??   Dasar manusia penuh drama, dia sangant pandai berpura-pura rupanya. Menampilkan tatapan cemas semacam ini tidak akan mengubah pandanganku padanya. Sekali rendahan, sampai kapanpun dia akan tetap menjadi rendah.   “Kamu kemana saja??” Tanyanya lagi ketika aku lama diam dan tidak menghiraukan pertanyaan pertamanya.   “Yang pertama, itu bukan urusanmu. Yang kedua, jangan pernah berpikir kamu bisa berbicara denganku.” Ucapku sambil berjalan meninggalkannya.   ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD